"Assalamulaikum."
Fatih memencet bel yang ada di samping pintu. Ucapan salamnya mungkin tak akan terdengar hingga ke dalam sana.
Entah apa yang dia lamumkan sepanjang perjalanan tadi. Sadar-sadar mobilnya sudah berhenti di depan rumah dengan nuansa tradisional yang aura jawanya lumayan kental.
Jika dilihat-lihat, rumah ini memang tampak lebih sederhana dibandingkan rumah kedua orang tuanya. Tapi halamannya lebih luas dan asri karena banyak tanaman dan pepohonan. Membuat rumah ini terasa teduh dan nyaman.
Ceklek
"Eh, mas ganteng. Cari Mbak Kara ya?? Sini-sini mas masuk. Biasanya Mbak Kara jam segini belum bangun. Apalagi semalam pulangnya rada kemalaman. Kasian saya tu mas kalo liat Mbak Kara. Kayaknya tugas-tugas kuliahnya tuh beraaattt banget!! Tiap pulang rambutnya suka awut-awutan. Mungkin saking pusingnya kali ya??!" cerocos Yum mengajak Fatih masuk. Pandangan Fatih memindai sekeliling rumah. Sepi.
"Bapak sama ibu mana ya mbok??"
"Aduh!! Maap yo mas ganteng. Dari tadi masih berdiri terus. Maapin Mbok Yum ya mas ganteng. Duduk mas ganteng, duduk dulu. Pasti pegel ya?? Kenapa simbok bisa lupa sih nggak nyuruh duduk." Yum, pembokat di rumah keluarga Kara menepuk dahinya yang mulai berkeriput dengan tangan yang tidak memegang serbet. Pakaian yang dikenakan sangat tradisional dan nyentrik. Kebaya model kuno dan kain batik, serta rambut dikonde benar-benar menambah kesan "Jawa banget".
"Nggak papa mbok. Jadi bapak ibu mana?" Fatih tersenyum simpul menanggapi kepanikan Yum.
"Aduh!! Mbok lupa lagikan!!" Yum kembali menepuk dahinya begitu ingat kalo dia belum menjawab pertanyaan Fatih tadi.
"Bapak udah berangkat ke kantor. Kalo ibu ada di dapur. Terus, kalo Mbak Kara masih tidur di kamarnya," jelas Yum satu-satu. Menunjuk arah tiap bagian yang dia sebutkan.
"Mas ganteng mau ke ibu atau Mbak Kara??"
"Mau ketemu ibu aja mbok."
"Njeh mas, hati-hati kesasar." Yum mundur beberapa langkah mempersilahkan, menatap kepergian Fatih sebentar lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.
*(Njeh = Nggih = Iya/silahkan)
Langkah kaki Fatih mengarah ke dapur rumah Pak Jayadi. Pertama kali masuk ke rumah ini, Fatih langsung beranggapan bahwa rumah ini sangat luas. Mungkin bagi orang yang pertama kali masuk ke sini akan kebingungan seperti dirinya dulu. Rumah satu lantai dengan suasana tradisional yang mengingatkannya pada film-film tentang kerajaan. Ukiran-ukiran, kursinya, patung, kendi-kendi dari tanah liat, dan masih banyak lagi.
"Hai Mas Fatih..." bisik seseorang di dekat telinga Fatih.
Tubuh Fatih menegang. Terasa hawa panas dari nafas seseorang yang kini sedang memeluknya dari belakang.
"Mas Fatih..." bisiknya lagi.
Kepala Fatih menoleh, melihat siapa yang sedang memeluk saat ini.
"Hai!" Kara tersenyum lebar memeluk leher Fatih dari belakang. Terlewat ceria berbeda dengan kesan mesterius saat bisik-bisik tadi.
"Astaghfirullah!!!" Kaget. Fatih mencoba melepaskan pelukan Kara.
"Ih.. Mas Fatih jangan dilepas. Aku tu masih kangen tau..." Gigih Kara mempertahankan pelukannya.
"Ka-ka-kara... Lepas du-dulu. Nanti a-ada ya-yang li-li-hat." Fatih panik. Tangannya terus mencoba melepas kedua tangan Kara yang ada di perutnya.
Bukannya terlepas, pelukan Kara malah berpindah ke depan.
Eh-
"Mas Fatih." Kara mendongakkan kepalanya ke atas, menatap Fatih yang tegang. Kemudian pandangannya menoleh ke kanan dan kiri.
"Aman." bisik Kara lirih.
Kini pelukan Kara terlepas. Tapi berpindah memegang tangan dan menarik Fatih ke suatu ruangan.
"Ehhh, Ka-kara, ki-kita mau kemana???" ucap Fatih kaget.
"Shuutttt!!! Diem mas. Nanti mamak lihat." Kara menaruh telunjuknnya di depan bibir. Memberi isyarat diam. Kepalanya sesekali menengok ke kanan dan kiri lagi.
Ditariknya tangan Fatih agar cepat berjalan.
Kara membawa Fatih ke ruangan dibagian ujung. Pintu dari kayu jati dengan ukiran bunga dan nama Kara terpampang di sana.
Begitu masuk, Fatih mendapati ranjang yang ditutupi seprai putih, lemari, meja rias. Rak sepatu dan tas.
Tunggu
Ranjang?
Ini dia dibawa ke kamar Kara???
***
Ceklek cklek
Kara mengunci kamarnya dua kali.
"Aman."
Kara berbalik menghadap Fatih. Dipandangnya sosok pria yang sejak awal tak disukainya itu. Tapi entah kenapa, setelah ciuman yang dilakukan secara tak sengaja minggu lalu, pandangan Kara terhadap Fatih berubah.
"Mas Fatih."
"Mas..." Fatih hanya berdehem menganggapi panggilan Kara. Matanya tetap menatap ke arah lain. Pokoknya dia tidak mau lihat Kara.
"Nggak sopan lho mas dipanggil tapi nyautnya gitu." Kara manyun. Tangannya memainkan ujung kemeja putih yang dikenakannya.
"Ke-kena-pa?" Fatih menatap Kara sekilas, tapi langsung mengalihkan pandangannya kembali.
"Ka-kara mau nga-ngapain???" Fatih tergagap-gagap saat melihat Kara berjalan mendekatinya sambil melepas kancing kemeja yang dipakai.
"Mau ganti baju. Mau ngajak pergikan??"
"E-Eh??" Fatih linglung. Bukan itu tujuan dia ke sini.
"Bu-bukan..." Suara Fatih yang lebih seperti bisikan hanya terdengar samar-samar oleh Kara.
"Apa mas? Mas Fatih bilang apa?"
"Kok pucet sih?? Mas sakit?? Sini, mas baring sini aja." Kara membawa Fatih agar berbaring di ranjangnya. Salah. Tapi memaksa Fatih agar berbaring di ranjangnya. Entah tenaga dari mana dia bisa mendorong tubuh Fatih yang lebih besar darinya.
"Ng-nggak. Nggak U-sah." Fatih mencoba bangkit. Tapi Kara menahannya.
"Nggak papa. Tiduran aja dulu. Bentar ya, Kara panggilin si mbok buat bawain mas teh anget sama obat." Kebiasaan kalo lagi malas teriak atau keluar, nyuruh lewat telephone.
Selesai menyebut keinginananya, Kara meletakkan handphonenya di meja rias. Kembali menuju lemari besar empat pintu. Dibukanya pintu yang paling kanan. Kebanyakan berisi dress selutut. Diambilnya satu dress yang dianggapnya cocok dengan kemeja yang dikenakan Fatih saat ini.
"Gimana?" Fatih yang sudah kembali duduk hanya mengerjapkan matanya. Tak paham maksud Kara.
"Gimana mas? Bagus nggak kalo aku pakai ini?"
"Eh? Emmm...itu..." Fatih tidak tau harus menjawab apa. Dia tidak pernah diberi pertanyaan seperti ini. Dia anak tunggal. Ibunya tak pernah meminta pendapatnya soal pakaian. Dia juga tak terlalu dekat dengan sepupu-sepupu perempuannya.
"Nggak bagus ya? Iya sih emang yang ini rada gimana gitu." Kara kembali menghadap lemari yang pintunya masih terbuka. Kembali memilih.
Kini pilihannya jatuh pada dress model sabrina biru putih yang panjangnya hingga lutut.
"Kalo ini gimana?"
"Ter-terserah ka-mu." Fatih mulai bisa mengontrol diri. Meskipun masih gagap. Setidaknya dia bisa langsung menjawab.
"Oke. Aku pake baju ini."
Kara melepas sisa kancing kemejanya yang belum terbuka. Langsung melepas tanpa bersusah payah ke kamar mandi. Bajunya pernah jatuh dan basah saat dia ganti di kamar mandi. Sekarang dia jadi malas kalo harus ganti di sana. Paling waktu-waktu tertentu saja.
Fatih menunduk. Kara yang kepala batu tidak mengindahkan perintahnya untuk tidak mengganti baju di depannya. Kadang dia kesal karna kalah dengan sosok yang lebih muda darinya ini.
"Massss...ini susah bukanya." Kancing paling bawah terasa sulit dibuka. Sebenarnya bisa saja ditarik paksa, dengan resiko kancingnya bisa terlepas. Tapi Kara malas harus jahit kancing secara manual.
Fatih yang paham langsung membantu. Mencoba melepas kancing yang ternyata tersangkut benang. Tak seberapa sulit jika sabar melepasnya.
Pranggggg!!!!
Kara dan Fatih berjengit kaget. Yum Lebih kaget. Kedua tangannya yang kini bebas dari nampan menutup mulut tak percaya.
Posisi Kara yang berdiri dan Fatih yang duduk di ranjang memang tak membuat salah paham. Tapi kondisi kemeja Kara yang terbuka, menampilkan bra dan hotpants ngepress sepantat membuat pikiran Yum melalang buana. Apalagi tangan Fatih masih memegang kemeja Kara. Potensi Fitnah dan salah paham semakin kuat.
"Kenapa Yum?!!"
Fatih dan Kara kelabakan mendengar suara sang Nyonya rumah. Tergesa mereka membenarkan kemeja Kara agar kembali menutup. Sayangnya si pemilik suara sudah di depan pintu.
"KARAAAAA!!!!!!"