bc

Healer (Let Me Save You)

book_age18+
709
IKUTI
3.0K
BACA
dark
love-triangle
friends to lovers
playboy
badboy
goodgirl
brave
drama
tragedy
enimies to lovers
like
intro-logo
Uraian

Tadinya gue mengira, gue nggak akan pernah tertarik apalagi jatuh cinta pada cewek berwajah datar, bermata dingin, misterius dan sinis itu. Tapi, setelah pertemuan pertama gue dan dia yang tidak disengaja, perlahan sifat playboy gue menghilang dan gue ingin dia menjadi satu-satunya orang yang berada di sisi gue sampai kapan pun.

-Reygan Megantara-

Gue benci dunia. Gue nggak butuh siapa-siapa. Dan gue nggak tau, ke mana hati ini akan berlabuh, ketika kedua cowok itu sama-sama ingin menyelamatkan gue dari kegelapan.

-Shirena Violet-

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1-First Meeting
Reygan Megantara berhenti melangkah di dua undakan tangga terakhir yang akan membawanya menuju ruang keluarga.             Cowok dengan tinggi 175 senti, memiliki rambut dan manik cokelat gelap, hobi bermain basket, juga playboy terkenal di sekolahnya itu kini mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya ke kanan. Di sana, di ruang keluarga, kedua orang tuanya sedang duduk sambil tertawa bersama dengan orang yang tidak dikenalnya.             Yang juga seumuran dengan kedua orang tuanya. Sepertinya.             Melanjutkan langkah, Reygan memasukkan kedua tangannya di saku celana jeans. Dia berbelok, menuju ruang makan dan duduk di sana. Matanya menatap penuh minat semua makanan penutup di meja makan dan jatuh pada puding berwarna hijau segar. Puding pandan kesukaannya. Dia memotong dua bagian, menaruhnya ke piring kecil, lalu menuangkan saus vla di atasnya.             “Bang, nggak nyapa temannya Papa sama Mama?”             Itu suara adiknya, Reyna Megantara. Cewek berambut panjang sepinggang yang kini dikuncir kuda itu menghampiri Reygan dan duduk di samping cowok tersebut. Merampas sendok Reygan, Reyna memotong kecil puding pandan tersebut, lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Reygan sendiri hanya mendengus geli dan menggeleng. Sudah tidak asing dengan kelakuan Reyna.             Reygan dan Reyna memang seperti itu. Tidak bersikap terlalu formal hanya karena mereka kakak-adik. Mereka bersikap seolah teman sepermainan. Mungkin karena umur yang hanya berbeda satu tahun saja. Meskipun Reygan seorang playboy, gemar gonta-ganti pasangan, tapi, dia tidak akan membiarkan adik satu-satunya itu menjadi mainan bagi cowok b******k seperti dirinya yang berkeliaran di luar sana.             Sejak kecil, Reyna sudah dia jaga dan lindungi sekuat tenaga. Tidak akan dia biarkan siapa pun yang menyakiti dan membuat adiknya menangis.             “Males, ah,” jawab Reygan acuh. “Paling teman bisnis, iya, kan?”             “Mungkin.” Reyna mengedikkan bahu. Cewek itu mencubit hidung kakaknya gemas sampai Reygan meringis menahan sakit dan segera menepis tangan mungil adiknya tersebut. “Aku dengar Bang Reygan nolak sahabatku, ya?”             Reygan mengusap hidungnya dan mengerutkan kening. Cowok itu mengerjap dan menjentikkan jari. “Cewek kacamata yang namanya Sisil, ya? Yang tadi pagi nembak aku?”             “Yup!” tandas Reyna seraya bersedekap. “Sahabat dekat aku yang udah naksir lama sama playboy nggak mutu tahun 2016, yang sialnya adalah Abangku sendiri.”             Reygan tertawa dan mengacak rambut Reyna. Mereka memang satu sekolah. Minggu lalu, keduanya memasuki tahun ajaran baru di sekolah. Reygan resmi menjadi anak kelas tiga, alias senior tertua di SMA Alvendia, sementara Reyna menjadi siswi kelas dua.             “Dia terlalu polos, Na,” kata Reygan seraya mengusap dagu. “Aku nggak tega mainin anak sepolos dia. Jadi, daripada aku bikin sahabat kamu rusak, mendingan aku tolak, kan? Rasa malu ditolak dengan rasa malu akibat jadi cewek rusak itu perbandingannya besar, loh.”             Reyna melirik Reygan bete. Mau tidak mau harus setuju dengan kalimat kakaknya barusan. Dia juga ogah kalau harus melihat sahabat yang sangat dia sayangi, yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri, harus jatuh ke tangan cowok b******k macam kakaknya.             Reyna memang mengakui kalau Reygan adalah cowok b******k yang setiap harinya dikutuk atau dimaki oleh para korbannya. Tapi, walau begitu, Reygan adalah sosok kakak yang terbaik baginya. Reygan mungkin b******k bagi semua cewek di luar sana, yang menjadi korbannya, yang merelakan diri jatuh pada pesona iblisnya, tapi untuk menjadi seorang kakak, Reyna harus mengakui kalau Reygan sempurna.             Reygan penyayang, melindunginya sekuat tenaga, memberikan nasihat-nasihat baik untuknya. Di saat kedua orang tuanya sibuk bekerja, Reygan lah yang selalu ada di sisinya. Menemani dan melenyapkan semua rasa sepi yang datang.             “Tapi, kenapa Bang Reygan nggak sadar kalau Sisil itu sahabatku? Dia kan kadang-kadang main ke rumah, Bang,” komentar Reyna, saat dirasanya ada yang janggal. Ditatapnya Reygan yang kini mengedikkan bahu.             “Kamu tau aku nggak suka ke luar kamar kalau ada orang bertamu,” sahut Reygan kalem. “Tamu itu menyusahkan, Na. Kamu sendiri juga tau kalau aku nggak pernah ajak teman-teman aku ke sini.”             “Iya juga, sih.”             “Jadi, bisa kita cari topik lain untuk diobrolin?” tanya Reygan dengan senyuman menawannya. Senyuman yang selalu berhasil membuat cewek-cewek di luar sana jatuh dalam pelukannya, dan berakhir dengan dicampakkan seminggu kemudian. Rekor terlamanya berpacaran adalah sebulan. Tercepat? Mungkin dua hari. Entahlah, Reyna juga malas mengurusi hal aneh tersebut.             Yang Reyna yakini, suatu hari nanti, Reygan pasti bisa berubah. Menemukan seseorang yang bisa merubahnya, membuatnya berhenti bermain-main dan hanya fokus pada seseorang itu saja. Seseorang yang akan merubah seluruh hidup Reygan.             “Abang udah punya pacar lagi?”             “Belum.” Reygan mengunyah puding pandannya sambil mengedipkan sebelah mata ke arah adik tercintanya itu. “Lagi taubat.”             “Cih!” ### Bahkan baru sampai di parkiran sekolah pun, Reygan sudah mampu menciptakan kehebohan.             Pagi ini, Reygan sengaja datang mendekati bel masuk. Dia memarkir motor Kawasaki merah menyalanya dan melepas helm. Rambut cokelat lebat itu berkibar tertiup angin pagi. Matahari sepertinya sedang malas memunculkan diri, sehingga awan gelap tebal menggantikan tugasnya pagi itu. Mungkin karena bulan ini mulai memasuki musim hujan.             Suara jeritan tertahan, bisik-bisik penuh kekaguman, semuanya ditanggapi Reygan sambil tersenyum. Dia melambaikan tangan kepada semua siswi yang ditemuinya, kemudian mengedipkan sebelah mata. Jika Reyna melihatnya, adiknya tersebut pasti akan langsung memukulinya.             “Pangeran SMA Alvendia lagi menjalankan tugas paginya, ya?”             Sindiran disertai kekehan geli itu membuat Reygan menoleh dan berdecak. Dia meninju lengan Gabriel, sahabatnya sejak kelas satu. Bisa dibilang sahabatnya dalam bidang kenakalan. Reygan dan Gabriel sebelas dua belas dalam hal bergonta-ganti pasangan di setiap minggu.             “Susah kalau udah dilahirin jadi cowok ganteng mah, El,” sahut Reygan. Keduanya tertawa bersama dan berangkulan menuju kelas. Tidak memedulikan decak kagum dan kehebohan di sekitar mereka. Sudah terbiasa.             Saat itulah, Reygan berpapasan dengan seseorang.             Memang hanya hal biasa. Reygan dengan fokusnya menuju kelas, dan orang yang berlawanan arah dengannya itu sepertinya hendak menuju perpustakaan atau tempat lainnya. Namun, Reygan langsung menolehkan kepalanya sedikit untuk menatap orang itu, saat dirinya dan orang tersebut saling melewati.             Ekspresi orang tersebut tidak bisa dibaca oleh Reygan. Langkah kakinya terhenti dan dia memutar tubuhnya. Menatap punggung yang terlihat rapuh itu. Kemudian, orang tersebut juga berhenti melangkah. Dia memutar tubuh, menatap Reygan yang diam di tempatnya. Reygan yang menatap wajah datar serta tatapan dingin dan tajam dari orang tersebut.             Cewek berambut pendek sebahu dengan poni menyampir kanan. Mata itu... tatapan mata cewek itu benar-benar dingin menusuk, membuat Reygan diserang perasaan aneh. Perasaan yang, entahlah... sedikit kasihan dan penasaran dalam waktu bersamaan mungkin?             Kemudian, cewek itu memutar tubuhnya lagi dan melanjutkan langkah. Seolah-olah, dia hanya ingin memastikan apakah ada orang asing yang mengawasinya dari kejauhan. Seakan-akan, cewek itu tidak terpengaruh dengan ketampanan dan kepopuleran Reygan.             “Kenapa lo, bro?” tanya Gabriel, menyadari keanehan sahabatnya. Reygan tersentak dan menoleh. Wajah bloonnya sanggup membuat Gabriel tertawa. “Rey, muka lo aneh banget, sumpah! Lo kenapa, deh? Kesurupan?”             “Hah? Oh, bukan. Itu, cewek tadi....” Reygan menoleh ke tempat cewek berambut pendek sebahu tadi berdiri dan tertegun karena sang pemilik wajah datar serta tatapan dinginnya tersebut sudah tidak ada di sana. “Lupain aja.”             “Beneran kesambet kayaknya lo, man!” Gabriel menggelengkan kepala, menepuk pundak Reygan dan kembali melangkah untuk menuju kelasnya. Meninggalkan Reygan yang masih sibuk memikirkan cewek tadi. Dia populer, dikenal hampir semua orang di sekolah ini, dan cewek tadi bersikap seolah dia bukan siapa-siapa?             Menyebalkan sekali!             Mengacak rambutnya kesal, Reygan segera menyusul Gabriel. Jelas saja dia kesal, karena baru kali ini dia bertemu dengan orang yang tidak terpengaruh sama sekali akan kehadirannya.             “Apa dia penyuka sesama jenis?” gumam Reygan sambil mengerutkan kening. Setelah menggeleng karena merasa pikirannya mulai melantur tidak jelas, Reygan menarik napas panjang. “Buat apa juga gue pusing-pusing mikirin cewek tadi, coba? Nggak ada untungnya banget!”             Tapi....             Reygan menyerah pada rasa penasarannya. Entah kenapa, dia seperti diseret oleh kehadiran cewek bermata dingin tadi. Mengikuti instingnya, Reygan menyusul cewek tadi ke arah perpustakaan. Tidak ada. Reygan tidak menemukannya di sana. Lalu, dia mengikuti instingnya lagi. Kali ini menuju ruang guru. Reygan mengintip dari jendela dan...             Dia melihatnya!             Cewek itu bahkan tidak tersenyum sedikit pun kepada guru yang sedang berbicara dengannya tersebut. Reygan mengangkat satu alisnya dan bersedekap. Agak jengkel dengan sikap si cewek. Cewek itu terlihat angkuh dan sombong di matanya. Jenis cewek yang tidak disukainya.             Reygan tetap berdiri di tempatnya sampai pintu ruang guru terbuka dan cewek itu ke luar. Dia terdiam, mendongak dan bertemu mata dengan Reygan yang menampakkan wajah bete.             “Apa?” tanya Reygan bete.             Cewek itu hanya diam. Memasang wajah datarnya, menatap Reygan dengan tatapan dingin dan tajamnya. Kemudian, mengabaikan kehadiran Reygan, dia melangkah begitu saja. Meninggalkan Reygan yang melongo di tempatnya.             “Woi!” seru Reygan kesal. Dikejarnya cewek tadi, lantas dicekalnya lengan kecil dan putihnya. Mata Reygan menyorot marah, tapi cewek itu menanggapinya dalam diam. “Lo nyolot banget sih jadi cewek?!”             “Ada yang salah sama gue?” tanya cewek itu dengan nada dingin, sedingin tatapannya. Sesaat, Reygan terpaku. Cewek di depannya itu seperti tidak punya kehidupan. Seperti bongkahan salju yang siap menggiling semua orang di hadapannya.             “Sikap lo yang salah! Lo pikir, lo siapa? Anak presiden, sampai-sampai sifat lo sombong dan angkuh begitu? Lo bahkan nggak tersenyum sama guru! Lo menatap orang lain dengan tatapan merendahkan, seolah-olah lo manusia, sementara orang lain cuma kecoak!”             Cewek itu menunduk dan Reygan jadi merasa bersalah. Dia takut sudah kelewatan barusan. Urusannya akan panjang jika cewek ini menangis atau semacamnya. Terlebih lagi, mereka berdua ada di dekat ruang guru dan bel pelajaran pertama baru saja berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Reygan yakin, guru-guru yang akan mengajar di jam pertama pasti akan keluar sebentar lagi.             “Eh, lo nangis?” tanya Reygan panik. Cowok itu berdecak dan berusaha menunduk untuk menatap wajah cewek di hadapannya tersebut. Tangannya sendiri masih mencekal lengan si cewek bermata dingin itu. “Baru diomongin begitu lo udah nangis? Ck!”             Tanpa disangka, kepala cewek itu terangkat. Reygan tertegun di tempatnya kala melihat senyuman sinis dan dingin juga misterius milik cewek tersebut. Reygan mendapati diri tidak bisa memalingkan wajah. Meskipun senyuman itu begitu dingin, sedingin tatapan matanya, tapi, ada sesuatu yang membuat Reygan betah menatap senyuman tersebut.             Lalu, dengan satu gerakan cepat, cewek itu mendorong tubuh Reygan, mendesaknya ke dinding. Reygan terkesiap dan matanya membulat maksimal tatkala cewek di hadapannya itu memisahkan jarak di antara mereka. Tubuh mereka bersentuhan. Ujung sepatu bertemu ujung sepatu, d**a bertemu d**a. Cewek itu sedikit berjinjit agar wajah mereka sejajar, yang mana jaraknya hanya sekitar satu senti saja, hingga mereka bisa merasakan hela napas masing-masing dari lawan bicara.             Mata dingin cewek itu rupanya bermanik cokelat terang. Hidungnya mancung dengan bibir tipis berwarna merah ranum. Bukan lipstik, tetapi memang warna aslinya. Meskipun memasang wajah datar dan senyuman dingin, Reygan harus mengakui kalau cewek itu sangat cantik. Elegan dan memesona. Jenis cewek yang sudah memasuki fase dewasa. Bukan lagi cewek kemarin sore yang bisa dikerjai oleh cowok-cowok zaman sekarang.             Cewek ini berbeda. Cewek ini berbahaya.             “Nangis? Sori, gue bukan cewek cengeng, Reygan Megantara,” katanya dengan nada berbahaya. Reygan menelan ludah. Aroma bayi dari tubuh cewek di hadapannya ini mulai menghambat kinerja otaknya. Riwayat mereka berdua akan habis jika guru memergoki posisi keduanya saat ini, juga kalau dia kehilangan kontrol dirinya dan berakhir dengan mencium ganas bibir merah ranum tersebut.             “Lo kenal gue rupanya,” komentar Reygan berusaha tenang. Belum pernah dia dibuat segugup ini oleh seorang cewek. Dialah yang memegang kendali atas cewek-cewek yang akan menjadi targetnya, dan bukannya menjadi korban seperti ini! Astaga! Ada apa dengannya?!             Siapa cewek ini sebenarnya?!             Cewek itu mendengus dan mengusap pipi Reygan lembut. Memajukan wajahnya lagi hingga bibirnya nyaris menyentuh bibir Reygan, dia berbisik, “Semua orang pasti mengenal playboy unggulan di sekolah ini, Reygan. Termasuk cewek tak kasat mata seperti gue.”             Selesai berkata demikian, cewek itu memundurkan tubuhnya. Dia tidak tahu bagaimana kerasnya usaha Reygan untuk tidak menyerang bibir mungilnya secara membabi-buta. Atau bisa saja, jika akal sehatnya mulai mandet dan buntu, dia akan menyeret cewek itu langsung ke gudang, menyumpal bibir cewek itu dengan bibirnya, menggerilyakan kedua tangannya di tubuh mungil dan putih cewek itu, dan... oke, stop! Dia mulai sinting!             “Jangan muncul di hadapan gue lagi dan jangan pernah campuri urusan gue lagi, Reygan. Gue nggak butuh nasihat dari orang b******k kayak lo, paham? Urus urusan lo sendiri. Anggap aja, kita nggak pernah ketemu hari ini.”             Cewek itu lantas pergi. Meninggalkan Reygan yang mendesis dan meninju dinding di belakangnya. Menatap cewek tersebut dengan tatapan emosi sampai punggungnya menghilang dari balik koridor.             Kemudian, suara itu menembus dunianya.             “Korban Abang kali ini Kak Shirena?”             Reygan menoleh dan menatap Reyna yang entah muncul darimana sambil memeluk dua buah buku tebal. Cowok itu menatap ke tempat cewek berambut pendek tadi menghilang, kemudian menghampiri adiknya. Dipegangnya lengan sang adik, membuat Reyna mengerutkan kening karena merasakan kulit kakaknya yang dingin.             “Kamu kenal cewek tadi?” tanya Reygan gusar.             Reyna mengangguk. “Kak Shirena. Ketua ekskul panahan.”             “Ekskul kamu?!”             “Iya.” Lagi, Reyna mengangguk. “Abang kenapa kaget gitu? Dia calon korban Abang selanjutnya?”             Reygan berdecak bete dan melepaskan lengan adiknya. “Kamu kalau ngomong disaring dulu, Na. Cewek dingin dan menyebalkan kayak gitu nggak mungkin aku dekati, terus dijadiin pacar!”             “Tapi, tadi kalian—“             “Tadi itu nggak sengaja. Ada salah paham. Dan kamu juga salah menginterpretasikannya,” potong Reygan cepat seraya mengibaskan sebelah tangan. “Masuk kelas, sana.”             Reyna mengedikkan bahu dan berjalan melewati kakaknya. Belum terlalu jauh dia melangkah, Reyna berhenti dan menoleh. Kakaknya masih di sana, berkacak pinggang sambil menatap lantai.             “Bang....”             Reygan tersentak dan mendongak. “Kenapa?”             “Jangan Kak Shirena.”             Apa?             “Maksud kamu?” tanya Reygan tidak paham. “Kamu takut kalau aku bakalan dekati dia?”             “Aku suka Kak Shirena. Dia baik, meskipun pendiam, penyendiri, selalu memasang wajah datar dan menatap semua orang dengan tatapan dinginnya. Kak Shirena adalah orang yang aku hormati setelah Bang Reygan. Jadi, aku mohon jangan sakitin Kak Shirena, seperti Abang nyakitin semua korban-korban Abang itu.”             Reygan menarik napas panjang. ### “Shirena?”             Reygan mengangguk. Saat ini jam istirahat sedang berlangsung. Reygan mengajak Gabriel untuk pergi ke halaman belakang dan memakan makanan mereka di bawah pohon rindang di sana. Mendung masih betah menaungi kota Jakarta, tapi hujan belum juga melaksanakan tugasnya. Barusan, Reygan menceritakan pertemuannya dengan Shirena kepada Gabriel, juga kalimat Reyna yang mengganggu pikirannya sejak pagi.             “Anak 3 IPS 2 itu, ya?”             Reygan serta-merta menoleh. “Lo kenal?!”             Gabriel meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengangguk. Dia menggigit roti isi telur kejunya dan mengeluarkan ponsel. Reygan nampak tidak sabar menunggu kalimat Gabriel selanjutnya, tapi cowok itu masih sibuk dengan mencari sesuatu entah apa di ponselnya itu. Tak lama, Gabriel menyerahkan ponselnya kepada Reygan dan menunjuk seseorang di dalam foto tersebut.             “Yang ini, kan?”             “Iya! Kenapa lo bisa punya fotonya si Shirena segala? Lo stalker nya dia, ya?!”             “Sembarangan!” Gabriel mengambil lagi ponselnya dan menatap foto dirinya bersama teman-teman sekelasnya di kelas tiga sekolah menengah pertama, tiga tahun silam. “Gue sama dia sekelas dulu, pas kelas tiga SMP. Ini foto perpisahan waktu itu.”             “Dia emang dari dulu begitu orangnya?” tanya Reygan ingin tahu.             “Gitu gimana?”             “Dingin, sinis dan misterius?”             “Seingat gue, dia emang pendiam. Penyendiri. Nggak akan ngomong kalau nggak diajak ngomong. Dingin? Yup! Matanya itu loh, Rey... seram menurut gue. Teman-teman gue yang lain aja kalau bisa, nggak mau ngeliat matanya Shirena. Makanya, gue sama yang lain nggak mau gangguin dia. Tapi....”             “Tapi?”             “Ada gosip, sih.” Gabriel mengusap dagu. “Teman sekelas gue Lili, dia itu sepupu Shirena. Lili bilang, Shirena waktu kecil nggak begitu. Kira-kira pas SD, kalau nggak salah. Shirena punya teman akrab. Ke mana-mana, Shirena sama temannya itu selalu bareng. Udah kayak kembar siam. Duduk semeja, makan bekal bareng, main bareng, pulang sekolah bahkan bareng, meskipun mereka beda jurusan. Tapi, temannya Shirena selalu nganterin Shirena pulang dulu.”             Reygan mengangkat satu alisnya.             “Shirena juga waktu kecil periang. Lembut, hangat, cerewet, banyak temannya. Terus, Lili bilang, orang tua Shirena mulai sering ribut. Ujung-ujungnya cerai. Sejak itu, Shirena berubah. Dia jadi pendiam, guru-guru pun kasihan. Mereka berusaha supaya Shirena balik kayak dulu lagi, tapi gagal. Hal itu ditambah juga dengan... kepergian teman akrabnya.”             “Meninggal?” bisik Reygan tidak percaya. Gabriel menatapnya bete.             “Pergi, bukan meninggal! Pindah! Bego, lo!”             “Yee, mana gue tau. Lo yang jelas makanya kalau cerita, sialan!” Reygan menoyor kepala Gabriel.             Gabriel memutar bola matanya. Kesal. Waktu itu, dia tidak sengaja menyuarakan unek-uneknya soal Shirena kepada beberapa teman sekelasnya dan ternyata, didengar oleh Lili, saudara sepupu Shirena. Sambil tersenyum dan meminta maaf soal sifat Shirena, Lili membeberkan semuanya. Toh pada saat itu, mereka sedang merayakan kelulusan. Gabriel yang mengajak Shirena untuk foto bersama dan kesal akan respon dingin dari Shirena, walau cewek itu akhirnya mengikuti usulnya tersebut. Jadi, Gabriel mengira dia tidak akan pernah bertemu Shirena lagi.             Tapi, tidak tahunya dia justru satu SMA dengan Shirena. Untungnya, dia tidak pernah sekelas dengan cewek dingin itu.             “Kira-kira, kejadiannya pas kelas tiga SD.” Reygan tersentak saat Gabriel kembali bersuara. Gabriel sendiri sedang mengingat-ingat tentang penjelasan Lili waktu itu. Lili yang pindah ke luar kota saat lulus SMP, karena tugas ayahnya dipindahkan ke sana. “Masih kecil banget kan, si Shirena? Kelas tiga SD, orang tuanya udah cerai, jadi broken home, ditinggal sama teman akrabnya entah ke mana. Yah, gue sih bisa ngebayangin. Nggak bisa disalahin juga, kalau akhirnya tuh cewek jadi cewek salju begitu.”             Reygan melirik Gabriel yang sedang menyantap roti telur kejunya lagi. Otaknya mengarah pada Shirena. Dia merasa kasihan, tapi juga emosi dalam waktu bersamaan. Emosi karena Shirena tidak mengagumi ketampanannya, tidak terpengaruh dengan kehadirannya, dan berani mengintimidasinya.             What a pain!             “Terus, yah, si Lili bilang kalau Shirena sering disiksa.”             “WHAT?!”             Gabriel mengangguk. Dia sering mengolok Mamanya karena suka menonton acara gosip, tapi ternyata, menggosip sebenarnya enak juga menurutnya. “Bokapnya nikah lagi waktu resmi cerai. Nyokap tirinya penggila harta. Kalau bokapnya Shirena lagi dinas ke luar kota, Shirena diperlakukan kayak pembantu. Dipukul, ditendang atau ditampar sih, udah jadi makanan sehari-hari Shirena. Tuh cewek anehnya nggak nangis. Mungkin, karena hatinya udah berubah jadi batu, kali, ya?”             “Si Lili itu nggak malu apa ngomongin sepupunya sendiri?”             “Cewek itu sebenarnya culas, Rey. Dia iri sama kepintaran Shirena. Jadi, dia berusaha untuk menjelma menjadi cewek super baik, yang mengasihani saudara sepupunya, menceritakan aib keluarga Shirena dengan maksud orang lain menganggapnya sebagai saudara yang baik hati. Gitu lah pokoknya, susah gue jelasinnya. Lo paham kan, maksud gue?”             Reygan mengangguk. “Kok lo bisa tau Lili tipe orang kayak gitu?”             Gabriel nyengir. “Pacarnya teman gue soalnya waktu itu.” Cowok itu meminum air jeruknya sejenak. “Dan, lo mau tau apa yang lebih heboh lagi?”             Reygan diam, tapi dia yakin Gabriel tanpa malu akan membeberkan aib Shirena kepadanya.             “Shirena pernah jadian. Waktu kelas dua SMP. Pas pacaran itu, dia jadi lebih ‘hidup’.” Gabriel membentuk tanda kutip pada akhir kalimatnya. “Dia jadi senyum, meski cuma sedikit. Berbaur sama anak-anak yang lain. Tapi, pas kelas tiga, dia putus. Putusnya karena apa, gue juga nggak tau. Yah, namanya juga dengar gosip dari si Lili. Setelah putus, balik lagi jadi putri es tuh orang.”             Reygan memijat pelipisnya. Kenapa dia jadi mendengar cerita kehidupan orang lain, coba?             “Lo tau nggak kalau minggu depan bakalan ada anak baru di kelas kita?” tanya Gabriel.             “Hah? Serius?”             “Yup. Cowok. Susah emang kalau jadi keponakan wali kelas sendiri, haha.” Gabriel bangkit dan membersihkan celana abu-abunya. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya dan berteriak nyaring. Udara yang dingin membuatnya mengantuk. Gabriel mendongak dan mendesah. “Mendung terus kerjaannya, kapan hujan—“             Saat itulah, Gabriel berhenti berbicara dan membeku.             Reygan yang menyadari keanehan Gabriel, langsung berdecak. Dia berdiri, menoyor kepala sahabatnya itu. “Jangan aneh-aneh di bawah pohon yang gosipnya angker ini, deh, El. Nggak lucu!”             Tapi, Gabriel tetap diam.             “Iel! Gue tinggal, ya?!”             Karena Gabriel masih juga tidak bersuara dan fokus menatap ke atas pohon—pohon itu memang tidak terlalu tinggi—Reygan ikut menatap ke sana. Dia menyipitkan mata dan terpaku.             Reygan disambut dengan wajah datar dan mata dingin itu lagi.             “Puas menggosipi gue?”             Shirena Violet ada di sana. Duduk manis di batang pohon, menyandarkan sebelah bahunya ke batang pohon yang kasar, tidak peduli kalau kasarnya batang pohon itu menimbulkan rasa perih di bahunya, kemudian bersedekap. Matanya yang dingin menyorot langsung ke manik mata Reygan.             “Shirena....” Reygan menyebut nama cewek itu dengan nada tidak percaya.             Shirena kemudian melompat begitu saja dari batang pohon tersebut. Tubuh mungilnya meluncur tanpa keraguan ke tanah dan berhasil mendarat sempurna dengan kedua kakinya. Lalu, cewek itu berjalan mendekati Reygan, mendongak untuk menatap cowok itu.             “Puas menggosipi gue, Reygan Megantara?” tanya Shirena lagi, dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya. Kemudian, cewek itu menabrakkan bahunya ke bahu Reygan.             Meninggalkan Reygan yang entah kenapa, dihantam perasaan menyesal yang teramat besar. ###  

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

FINDING THE ONE

read
34.5K
bc

Saklawase (Selamanya)

read
69.7K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
58.9K
bc

Daddy Next Door

read
232.4K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
484.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook