Chapter 9

2666 Kata
Mahesa berhenti melangkah.             Cowok berkacamata itu menatap Shirena yang sedang duduk bersandar pada batang pohon rindang di halaman belakang sekolah mereka. Saat ini, jam istirahat sedang berlangsung. Tadinya, Mahesa ingin pergi ke kantin untuk membeli makanan, tapi kemudian dia mengurungkan niat dan memutuskan untuk menemui Shirena. Namun, Shirena tidak ada di kelas, sehingga Mahesa mencarinya.             Dan tempat pertama yang Mahesa datangi adalah halaman belakang sekolah ini. Entah mengapa, feeling nya mengatakan kalau Shirena ada di tempat ini. Tempat ketika Mahesa duduk di atas pohon, mengawasi Shirena yang sedang mendengarkan musik di bawah pohon. Bersikeras ingin menemani Shirena, meskipun cewek tersebut merespon dingin. Tempat ketika Reygan juga datang dan ketiganya saling tatap. Juga tempat di mana semuanya terbongkar.             “I’ve been looking for you,” kata Mahesa ketika mendekati Shirena.             Shirena membuka kedua matanya perlahan dan mendongak. Cewek itu menatap tegas Mahesa yang kini duduk di sampingnya sambil tersenyum lembut. Senyuman yang disukai Shirena dulu. Dan sekarang pun, Shirena tidak mau membohongi hatinya, bahwa dia masih sangat menyukai senyuman Mahesa itu.             “Ada apa?” tanya Shirena tanpa basa-basi. Kejadian sepulang sekolah kemarin masih saja mengganggu otak, terlebih hatinya. Jika dia mengingat bagaimana Reygan memanggilnya dengan nama Shiren, seperti yang dulu sering Reygan lakukan padanya saat kecil, juga bagaimana Reygan memeluknya erat, Shirena merasa hatinya... hatinya... menjadi tidak karuan. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya dan itu menyebabkan wajahnya memanas dengan cepat.             Mahesa tahu ada sesuatu yang terjadi pada Shirena. Bahwa cewek itu sedang memikirkan sesuatu. Dia terlalu mengenal Shirena, sehingga detail sekecil apa pun tidak akan luput dari pandangannya. Dan kali ini, Shirena sedang memikirkan... Reygan.             Well, bukan hanya kali ini. Meski Shirena berkata dia membenci Reygan, Mahesa yakin cewek itu tidak akan pernah bisa membenci Reygan.             “Cuma mau berduaan aja sama lo, my fairy,” jawab Mahesa santai dan menarik napas panjang. “Membangun chemistry.”             Shirena mengerutkan kening. “Maksudnya?”             Sebelah tangan Mahesa terulur, menyentuh kepala Shirena kemudian mengusapnya lembut. Mahesa sadar kalau perbuatannya ini membuat tubuh Shirena menegang. Karena Shirena tidak menepis tangannya, maka Mahesa pun tidak menghentikan perbuatannya. Bahkan, cowok itu tetap menaruh tangannya di kepala Shirena, walau dia sudah tidak mengusap rambutnya lagi.             “Lo dan gue berperan sebagai sepasang kekasih, kan?”             Shirena hendak membalas, tapi cewek itu kembali mengatupkan bibirnya. Dia baru sadar kalau dalam pertunjukan teater nanti, Mahesa lah yang berperan sebagai Pangeran dari kerajaan tetangga, yang akan menjadi pasangan abadinya. Reygan akan berperan sebagai Pangeran kedua, Pangeran yang berteman dengan Snow White sejak kecil, mencintai Snow White dalam diam dan baru mengakui di saat terakhir hidupnya, saat dia melindungi Snow White hingga menyebabkan dirinya terbunuh. Kemudian, Pangeran itu menyerahkan Snow White pada si Pangeran dari kerajaan tetangga. Menyuruhnya untuk terus menjaga dan melindungi Snow White.             Dan sekarang, entah kenapa, dia merasa tidak tenang. Perubahan alur cerita dari kisah fairytale menjadi kisah murni yang muncul dari otak Rania itu terlalu biasa untuk disebut sebagai kebetulan dengan kisah hidupnya sendiri. Seolah-olah, Rania adalah kaki-tangan dari takdir, yang membuat Shirena, Reygan dan Mahesa berada dalam satu situasi menyulitkan.             Dirinya dan Mahesa? Dirinya yang akan berpisah selamanya dari Reygan?             Benarkah itu yang Shirena inginkan selama ini? Benarkah dia membenci Reygan atas apa yang cowok itu lakukan di masa kecil mereka? Bagaimana kalau sebenarnya hati kecilnya menginginkan Reygan kembali? Menghabiskan hari-hari menyenangkan yang dulu sempat terjadi? Hanya saja, hatinya mungkin tidak mau mengakui hal itu karena merasa... takut. Takut ditinggalkan lagi, takut dikecewakan lagi, takut merasakan trauma itu lagi.             Lagi-lagi, Mahesa bisa mengetahuinya. Mengetahui kegelisahan hati Shirena. Cowok itu mendesah dan menatap langit yang tertutup oleh daun-daun lebat dari pohon di belakang mereka. Senyumnya terbit, terkesan pahit dan tidak rela. Tapi, dia bisa apa?             Namun, Mahesa tidak akan menyerah.             “Kenapa? Ngerasa nggak rela kalau yang bersatu sama si Snow White itu gue, my fairy?” tanya Mahesa dengan nada menggoda. Cowok itu menatap Shirena yang langsung menoleh ke arahnya dengan cepat. “Lo lebih suka kalau yang bersatu dengan si Snow White itu Reygan?”             “A—apa?!” seru Shirena. Cewek itu bangkit dan mendadak gugup. Kegugupan yang terlihat gamblang di kedua mata Mahesa. Cowok tersebut ikut berdiri dan bersedekap di hadapan Shirena. Menggoda Shirena-nya adalah hal yang menyenangkan, karena Mahesa sangat suka dengan rona merah yang menjalar pada pipi cewek itu. “Jangan bercanda!”             “Kalau lo emang menganggap omongan gue barusan sebagai candaan, lo harusnya nggak usah salah tingkah, kan?” Mahesa mengedipkan sebelah matanya dan mendekatkan wajah ke wajah Shirena. Bahkan, meskipun Mahesa mendekatkan wajah mereka, Shirena terlalu gugup dengan ucapan Mahesa tentang Reygan barusan, sehingga menyebabkan tubuhnya mendadak kaku dan tidak bisa menghindar. “See? Lo bahkan nggak bisa membantah omongan gue. It means, you have—“             “Nggak! Gue nggak ada rasa sama dia! Gue nggak suka sama Reygan! Lo salah paham!”             Mahesa mengangkat satu alis dan diam. Shirena terlalu cepat memotong ucapannya, bahkan mengelak dengan keras. Itu menandakan, Shirena memang memiliki rasa pada Reygan, seperti yang diduga oleh Mahesa. Meski sakit dan sesak, Mahesa tetap menampilkan senyumannya dan menyentil kening Shirena pelan.             Membuat Shirena mengerjap dan meringis, kemudian mengusap keningnya.             Apa-apaan?             “Emang yang bilang lo punya rasa buat Reygan siapa, my fairy?”             DEG!             “Tapi tadi, elo....”             “Gue kan belum selesai ngomong.” Mahesa terkekeh geli dan membungkuk sedikit agar tingginya bisa sejajar dengan tinggi Shirena. “Hayo, coba diingat lagi. Emang tadi gue ngomong apa?”             Esa sialan! Shirena membatin.             Karena Shirena hanya diam dan menunduk, belum lagi rona merah itu kembali menjalar pada pipinya, Mahesa jadi tidak bisa menahan tawa. Dia menegakkan tubuh, tertawa keras dan bersandar pada batang pohon. Membuat rona merah di pipi Shirena semakin terlihat jelas dan Mahesa buru-buru menghentikan tawanya.             “Sori, sori... Cuma, lo benar-benar terlihat polos, my fairy,” kata Mahesa seraya mengusap rambut Shirena lagi, tapi cewek itu langsung menepisnya sekarang. Ketenangan Shirena hilang sudah semenjak Mahesa datang ke halaman belakang ini. Padahal, Shirena sedang ingin menyendiri untuk memikirkan keanehan hatinya akibat kejadian sepulang sekolah kemarin bersama Reygan.             “Loh? Mau ke mana my fairy?” tanya Mahesa geli. Dia buru-buru mengejar Shirena yang sudah lebih dulu berjalan. “Masa gitu aja marah, my fairy? Nggak seru, ah!”             Shirena tetap diam. Dia menampilkan wajah kesalnya, hingga semua orang yang dilewati Shirena menjadi takut. Gelar putri es untuk Shirena sudah cukup untuk membuat segan orang-orang yang ingin mendekati Shirena.             Kemudian, Mahesa menghentikan langkah ketika Shirena telah lebih dulu berhenti. Terlalu mendadak dan Mahesa sudah pasti akan menabrak punggung kecil Shirena, kalau gerak refleksnya tidak cepat. Mahesa mengerutkan kening, memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan maju selangkah, untuk kemudian menunduk dan ingin menatap wajah Shirena.             “Kenapa? Kok mendadak berhenti?”             Tidak ada respon. Hal itu membuat Mahesa mengangkat satu alis dan menegakkan tubuhnya lagi, kemudian menatap ke sumber yang ditatap oleh Shirena.             Lalu menemukan Reygan di sana. Berdiri berhadapan dengan seorang siswi berambut panjang ikal yang terlihat manis. Cewek itu nampak malu-malu dan menatap Reygan dengan tatapan memuja. Sementara itu, Reygan tersenyum. Bukan hanya di bibir, tetapi juga di mata.             Reygan di tembak? Atau... dia nembak tuh cewek? batin Mahesa. Cowok itu memiringkan kepala. Nggak, dia nggak nembak... tapi di tembak.             “My fairy, itu si Reygan kayaknya lagi—“             “Bukan urusan gue!” seru Shirena, memotong ucapan Mahesa. Seruan itu bahkan terlalu keras hingga membuat Mahesa terperanjat dan mengerjap. Tanpa menunggu respon Mahesa, Shirena segera berlari menuju lantai tiga, menuju kelas. Meninggalkan Mahesa yang kembali merasakan sesak itu, tetapi juga tetap tersenyum.             “Pertarungan belum berakhir, kan?” gumamnya pelan. Dia menatap Reygan yang kini memegang sebelah pundak cewek berambut ikal itu dan berbicara sesuatu. Wajah yang tadinya nampak malu-malu, kini mulai mendung. Mahesa mendengus geli saat menyadari bahwa Reygan menolak pernyataan cinta si cewek berambut ikal itu.             “My fairy, lo cemburu untuk hal yang sia-sia, loh,” komentar Mahesa seraya menarik napas panjang. “Sementara gue di sini cemburu karena lo tanpa sadar mulai jatuh cinta sama Reygan. What a pathetic guy i am.”             Ketika Gabriel melintas di depannya, Mahesa segera memanggil dan mendekati sahabat Reygan itu. Dia tidak memedulikan raut wajah bete milik Gabriel dan menarik Gabriel lebih dekat agar bisa berbisik di telinga cowok itu.             Seperti yang diduga oleh Mahesa, Gabriel langsung berteriak, melotot mengerikan ke arah Reygan dan lekas menuju sahabat karibnya tersebut. Membuat Mahesa terkekeh geli dan menggeleng. ### Reygan memerhatikan Shirena dari tempatnya.             Saat ini, semua siswa-siswi yang terpilih oleh ekskul teater untuk menjadi bagian dari pertunjukan Snow White and her own prince sedang berlatih di ruang latihan. Shirena sendiri sedang duduk bersandar di dinding, di dekat kaki piano, ditemani oleh Mahesa.             Saat jam istirahat, Gabriel mendatanginya dengan wajah mengerikan dan pelototannya. Reygan mengucapkan maaf sekali lagi kepada adik kelasnya yang baru saja menyatakan cinta itu, kemudian fokus pada Gabriel yang langsung menjitak kepalanya dengan penuh semangat.             “Lo kesambet setan di mana, sih?! Bawah pohon halaman belakang? Toilet? Kelas 3 IPA 2? Udah gue bilang, kalau ke kelas 3 IPA 2 itu jangan sambil nyanyi! Penunggunya suka rese!” gerutu Reygan sambil mengusap kepalanya yang nyeri akibat jitakan maut Gabriel.             Gabriel menggeram dan menunjuk wajah Reygan. Wajah Gabriel sendiri memerah karena menahan emosi. Kalau Reygan ini bukan sahabatnya, melainkan adik atau kakak atau kembarannya, sudah bisa dipastikan Reygan akan langsung dihadiahi sebuah jotosan dan ratusan makian.             “Elo itu bego apa gimana? Baru semalam lo curhat soal mimpi masa kecil lo bareng Shirena, juga gimana Shirena nyelimutin tubuh lo pakai jaketnya dan bersedia dipeluk sama lo, meskipun itu karena lo yang memohon! Dan sekarang, lo udah bikin ulah lagi dengan resiko Shirena bakalan menjauhi lo sejauh-jauhnya, seperti planet pluto ke bumi?! Otak lo di mana, sih?! Dengkul?!”             Alis Reygan terangkat satu. Dia memang menceritakan semua kejadian kemarin sore kepada Gabriel semalam. Semua hal mengenai Shirena, tidak ada yang disembunyikan Reygan pada sahabatnya itu, karena Reygan merasa, Gabriel bisa memberikan nasihat untuknya.             “Maksud lo apa sih, Iel? Gue sama sekali nggak ngerti.” Reygan menggaruk kepalanya dan hal itu semakin membuat Gabriel meradang.             “Lo liat itu?! Tuh, di sana!” perintah Gabriel.             Langsung saja, Reygan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Gabriel dan menemukan Mahesa sedang melambaikan tangan ke arahnya, tersenyum lebar dan mengacungkan jempol.             “Kenapa si Esa?” tanya Reygan. Dia menoleh dan telunjuk Gabriel langsung mendarat pada keningnya. Gabriel menoyor kepala Reygan yang dirasanya mulai bermasalah.             “Mahesa ada di sana, liat lo lagi nembak cewek, bareng sama Shirena, dodol!”             “APA?!”             “ARRRGGGHHH!!!” Gabriel mengacak rambutnya frustasi. “Lo gimana sih, Rey? Shirena liat lo nembak cewek lain, terus dia pergi gitu aja kata Esa! Mukanya datar, matanya dingin! Di saat gue mulai menaruh harapan kalau Shirena sedikit banyak memikirkan lo bahkan mungkin mulai ada rasa sama lo, lo malah bersikap b******k ke dia?! Lo minta banget diumpanin ke ikan hiu apa gimana, sih?!”             “Sumpah mati, Iel! Gue nggak nembak cewek! Gue yang ditembak!” Reygan berseru frustasi. Dia menoleh ke tempat tadi Mahesa berada dan tersentak karena tidak menemukan cowok sialan itu di sana. “Dan Esa berpikir kalau dia bakal jadi pemenang, gitu? Dia bakalan ngejar Shirena dengan tenang sekarang, karena mikir gue abis nembak cewek? Makanya dia senyum lebar banget kayak setan di Jepang-Jepang sana sambil acungin jempolnya?!”             “Mana gue tau! Iya, kali!” Gabriel menggerutu dan menunjuk Reygan lagi. “Dengar, ya, Rey! Gue nggak tau mesti bantuin lo kayak gimana lagi. Silahkan lo selesaiin masalah ini sendiri!”             Reygan menarik napas panjang. Frustasi. Cowok itu mengacak rambutnya dan menendang kaki kursi di sampingnya, hingga kursi tersebut bergeser dengan bunyi berisik. Membuat semua perhatian di dalam ruangan mengarah padanya, tapi tidak dengan Shirena dan Mahesa.             b******k!             Reygan membulatkan mata maksimal tatkala melihat Shirena sedang tiduran di lantai dan Mahesa mulai mendekatkan wajahnya ke wajah cewek itu. Dengan langkah tergesa, Reygan segera mendekati keduanya, menarik pundak Mahesa hingga cowok itu terdorong ke belakang dengan keras, kemudian menarik lengan Shirena hingga cewek tersebut berdiri.             Dan menatapnya kesal.             “Apaan, sih?!” seru Shirena. Cewek itu menarik lengannya yang dicekal oleh Reygan, lantas menunjuk wajah cowok tersebut lurus-lurus. “Jangan dekat-dekat gue, ngerti?!”             “Kenapa? Kenapa gue nggak boleh dekat-dekat sama lo?” tantang Reygan. Cowok itu bersedekap. “Karena lo cemburu, iya?!”             Shirena terperanjat, tapi cepat-cepat merubah raut wajahnya. Dia menatap Reygan dingin dan sinis, kemudian menyeringai tajam. “Gue? Cemburu sama lo? Hei, lo pikir lo siapa? Kenapa juga gue harus cemburu sama lo?!”             “Karena lo liat gue berduaan sama adik kelas kita tadi, mungkin?” Reygan mendengus dan tersenyum miring. “Lo ada di sana dan langsung pergi, kan?”             Suasana di dalam ruangan kini mulai gaduh. Semua orang sibuk berkasak-kusuk, membicarakan pertengkaran Reygan dan Shirena. Si playboy terkenal dan putri es sekolah mereka. Sementara itu, Mahesa duduk memeluk lutut sambil mendongak. Menatap Reygan dan Shirena dengan tatapan tertarik.             Ya, sekali lagi, meskipun hatinya sesak bukan main.             “Gue ada tugas dari Esa!” seru Shirena kemudian. Membuat Reygan dan Mahesa sama-sama kaget. Mahesa menunjuk dadanya sendiri, sedangkan Reygan langsung melotot ke arah Mahesa. “Dia suruh gue ambil naskah buat latihan bareng! Dan lo baru aja menghancurkan acara latihan gue sama Esa!”             Reygan mengepalkan kedua tangan dan mengalihkan wajah. Benar, di dalam pertunjukan teater ini, Shirena dan Mahesa lah yang akan menjadi pasangan. Dirinya memang memerankan tokoh yang mencintai Snow White, tapi, dia tidak akan bersatu dengan Snow White.             Dia tidak akan bersatu dengan... Shirena.             Sialan! Sialan! Sialan!             “Jadi, berciuman pun harus latihan, ya?”             Shirena mengerutkan kening, pun dengan Mahesa, Hanz, Silvi dan Rania sang penulis skenario yang baru saja datang untuk melerai. Nada suara Reygan terdengar jauh, menerawang. Dia mendengus dan tersenyum.             Senyuman pahit dan getir.             “Kalau gitu, silahkan kalian latihan ciuman lagi!” Reygan menatap Shirena dan Mahesa dengan tatapan tajam. Senyumannya menghilang. “Gue rasa, tanpa harus latihan pun, ciuman kalian akan terlihat real dan bisa memukau para penonton, mengingat kalian pernah... dekat dan akrab.”             Shirena dan Mahesa paham dengan kalimat terakhir Reygan itu. Mahesa kini sibuk menahan tawa, sementara Shirena pergi dari hadapan Reygan. Tak lupa, cewek itu mendorong tubuh Reygan keras dan menginjak kakinya. Membuat Reygan mengaduh keras dan meringis. Mengusap kakinya sambil menatap punggung Shirena yang menghilang dari daun pintu, sebelum akhirnya menutup pintu tersebut dengan bantingan.             “Lo nggak bisa bikin fairy gue nggak ngomel-ngomel terus, Rey?” tanya Mahesa. Cowok itu tidak bisa lagi membendung kegeliannya, hingga akhirnya, tawa kecil itu terdengar.             “What a hero! Mau ngebelain mantannya, ya, Mas?”             Mahesa diam. Cowok itu maju mendekati Reygan, memiringkan kepala dan menatap cowok itu dengan tatapan aneh. Kemudian, semua orang di dalam ruangan tersentak dan terperangah, ketika Mahesa menghajar Reygan, hingga cowok itu ambruk ke lantai.             “Lo apa-apaan, sih?!” teriak Reygan berang. Dia bangkit, berniat membalas hajaran Mahesa, namun Mahesa lebih cepat. Tangannya menangkap kepalan tangan Reygan, kemudian mendorong Reygan ke dinding.             “Gue liat lo cium paksa Shirena kemarin.”             DEG!             Reygan terbelalak. Dia menatap Mahesa dengan tatapan tidak percaya. Namun, bukannya menatap tajam dirinya, Mahesa justru tersenyum. Senyuman yang terlihat pahit di kedua mata Reygan.             Senyum terpaksa.             “Gue sama Shirena nggak pernah ciuman selama kita pacaran,” bisik Mahesa. Hal itu langsung membuat Reygan terkesiap. Dia mengerjap dan Mahesa memundurkan tubuhnya. Menciptakan jarak di antara keduanya. “Itu kenyataan.”             “Kenapa?” tanya Reygan polos.             “Kenapa harus?”             Keduanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian, Mahesa memutar tubuh dan berjalan menuju pintu. Namun, belum mencapai pintu, Mahesa menghentikan langkah dan memasukkan tangan ke saku celana. Dia menoleh ke arah Reygan dan berkata, “Lo tau? Gue nggak akan nyerah. Sebelum Shirena bilang kalau dia cinta sama lo dari bibirnya sendiri, gue akan terus berusaha merebut hati dia dan bikin lo kalah!”             Reygan mengangkat satu alis. Ini pernyataan perang Mahesa untuknya. Mengusap darah yang mulai keluar dari sudut bibirnya, Reygan membalas, “Bring it on!”             Mahesa tertawa renyah. Jawaban yang sama, seperti yang diberikan Reygan malam itu di pertemuan mereka. Menarik napas panjang, Mahesa mengacungkan jempol dan membaliknya. Dia kembali menuju pintu dan membukanya.             “Ah!” Cowok itu memundurkan tubuhnya lagi dan menyeringai geli. “Tadi, gue sama Shirena bukan mau latihan ciuman, kok! Shirena bilang, perutnya sakit. Jadi, dia mau rebahan sebentar. Gue cuma mau mastiin dia baik-baik aja, karena dia punya maag akut dan sering masuk rumah sakit. Lagian....” Mahesa mengedipkan sebelah mata dan menunjuk Rania. “Lo boleh tanya sama Rania. Di pertunjukan ini nggak ada adegan ciuman.”             Selesai berkata demikian, Mahesa terbahak karena puas melihat wajah melongo Reygan. Cowok itu melambaikan tangan tanpa menghadap Reygan, kemudian menutup pintu.             Meninggalkan Reygan yang meluruh dan duduk di atas lantai sambil berdecak jengkel dan mendengus geli. Kesal karena cemburu pada sesuatu yang sia-sia menurutnya. ###  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN