Reygan melepaskan ciumannya.
Cowok itu mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena baru saja mencium paksa Shirena. Shirena sendiri, yang tadi sempat terbelalak dan memberontak, kini terdiam. Cewek itu menunduk dan mengepalkan kedua tangan. Melihat hal itu, Reygan jadi menyesal dan mengumpati dirinya sendiri di dalam hati sebanyak yang dia mau.
Ternyata, dia memang cowok b******k yang pantas dibenci oleh Shirena. Setelah kejadian ini, Reygan yakin Shirena tidak akan pernah mau memaafkannya. Cewek itu pasti akan membencinya seumur hidup, bahkan mungkin sampai mati. Dia tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk menyelamatkan Shirena dari kegelapan ciptaan cewek itu sendiri dan Mahesa lah yang akan keluar sebagai pemenang.
Baik dalam menyelamatkan Shirena, maupun dalam hal memiliki hati cewek itu.
“Shirena, maaf... gue....” Reygan bahkan merasa tidak pantas untuk meminta maaf dan mendapatkan maaf dari Shirena. Cowok itu mengeraskan rahang dan ikut mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, seperti yang dilakukan oleh Shirena. Namun, dia akan tetap meminta maaf. Karenanya, Reygan memantapkan hati dan memegang kedua pundak Shirena dengan tegas. “Maafin gue soal ciuman tadi, Shirena! Gue emang cowok b******k! Maaf, maafin gue....”
Tidak ada respon. Shirena tidak bersuara dan tidak mengangkat wajah. Reygan jadi semakin merasa bersalah. Cowok itu rasanya ingin menyakiti dirinya sendiri secara fisik, sampai Shirena puas dan mau memaafkannya.
Meski itu artinya dia harus mati, asalkan Shirena bersedia memberikan kata maaf itu, Reygan tidak masalah. Entah sejak kapan, jauh sebelum dia tahu kenyataan mengenai pertemanan mereka di masa SD, Reygan sebenarnya sudah jatuh pada genggaman Shirena. Hanya saja, Reygan tidak mau mengakui. Gengsinya terlalu besar.
Karena pada kenyataannya, Reygan Megantara jatuh cinta pada Shirena Violet, pada pertemuan pertama mereka, setelah sepuluh tahun tidak bertemu.
Mendadak, Shirena mengangkat wajah. Reygan sampai terperangah dibuatnya, ketika wajah Shirena terlihat... berbeda. Wajah itu dikelilingi aura gelap, segelap dan sedingin tatapan mata serta senyumannya saat ini. Shirena berjinjit, menaruh sebelah telapak tangannya ke d**a Reygan, sementara sebelah telapak tangan yang lain mendarat pada pipi cowok tersebut.
“Shirena...?” panggil Reygan tidak percaya. Apa yang dilakukan Shirena saat ini benar-benar... benar-benar... “Shirena, apa yang lo lakuin?”
Shirena mendengus dan semakin menyeringai misterius. Senyuman itu terlihat sinis dan dingin. Reygan sampai mematung di tempatnya. Apa dirinya adalah pengaruh paling buruk bagi hati Shirena, sehingga cewek itu semakin tersedot dalam kegelapan? Dulu, Reygan mengucap kata-kata menyakitkan untuk Shirena saat keduanya masih kecil, meninggalkan Shirena sendirian di saat cewek itu membutuhkan seorang teman, dan sekarang, semua perlakuannya kemarin-kemarin itu terhadap Shirena, karena keberadaan dirinya di sekitar Shirena, kembali membuat cewek itu tenggelam dalam dunia kegelapan ciptaannya sendiri.
“Apa yang gue lakuin?” tanya Shirena, mengulang pertanyaan Reygan tadi. Cewek itu semakin berjinjit, mendekatkan wajahnya dengan wajah Reygan dan menyisakan dua senti saja. Bibir keduanya bahkan nyaris bersentuhan, dan Shirena pun bisa merasakan hela napas Reygan juga bisa merasakan debar jantung cowok itu yang meliar. “Gue mau ngelakuin apa yang lo lakuin tadi ke gue, Reygan. Mencium lo, seperti lo yang baru saja mencium paksa gue. Atau... lo mau ngelakuin hal lain ke gue? Mengajak gue tidur bareng di hotel misalnya? Hmm?”
DEG!
Reygan tertampar dengan kalimat Shirena barusan. Cowok itu menatap tegas dan tajam manik Shirena yang justru tidak memiliki emosi sama sekali. Shirena berbicara, tapi tidak memasukkan emosi apa pun dalam kalimatnya. Hal yang langsung membuat Reygan mengambil keputusan.
Cowok itu memegang kedua lengan atas Shirena, mendorong tubuh Shirena dan menjatuhkannya ke lantai. Tentu saja Reygan melakukannya dengan pelan, meminimalisir hal-hal yang bisa membuat Shirena terluka.
Mendapat perlakuan seperti itu, Shirena tetap diam dan tenang. Senyuman sinis dan tatapan dingin itu masih terlihat. Meskipun Reygan kini mengurungnya di lantai, memosisikan tubuhnya di bawah tubuh cowok itu, tapi Shirena tidak terlihat gentar. Sebelah tangannya terangkat, mengusap pipi Reygan lagi.
“Lo paham apa yang lagi gue coba untuk lakuin di sini sekarang, Shirena?” tanya Reygan dengan nada suara yang dibuat seberat dan seserak mungkin. Jenis suara yang terbuai, terlena dan mulai terbakar gairah.
“Gue udah delapan belas tahun dan gue sangat paham, Reygan Megantara,” jawab Shirena dengan nada dingin tapi terkesan sensual. Menyebabkan Reygan menelan ludah dan mengumpat lagi di dalam hati. “Apalagi yang lo tunggu? Nggak akan ada yang masuk ke ruangan ini, sebelum Gabriel merasa puas dan menunggu informasi dari lo, kan?”
Reygan terkesiap.
“Gue tau kalau sahabat karib lo sengaja menyuruh lo ke sini untuk mengunci lo dan gue.” Shirena melenyapkan senyumannya. “Sekarang, lo udah berduaan sama gue. Lo mencium gue. Gue mengizinkan lo untuk meniduri gue, apalagi yang bikin lo ragu? Harus gue yang memulai duluan?”
Di saat Reygan masih mematung, tidak dapat menjelaskan perasaan sakit di hatinya ketika melihat sikap Shirena yang seperti sekarang ini, cewek itu menurunkan tangannya dari pipi Reygan ke arah seragam cowok itu. Satu per satu, tangan mulus dan putih Shirena membuka kancing seragam sekolah Reygan. Hingga akhirnya, semua kancing telah terlepas, Shirena berniat melepaskan kemeja tersebut dari tubuh tegap atletis Reygan.
Namun, kesadaran Reygan pulih. Cowok itu menangkap pergelangan tangan Shirena dan menahannya di lantai, di masing-masing sisi. Shirena bisa melihat mata Reygan mulai menggelap. Cowok itu mulai tidak bisa mengontrol diri dan Shirena sadar bahwa dia dalam bahaya besar.
Tapi, entah kenapa, insting Shirena mengatakan bahwa Reygan tidak akan menyakitinya. Meski jantungnya kini meliar tidak karuan, meski ketakutan itu datang entah darimana, tapi Shirena yakin pada Reygan. Walau dia membenci Reygan atas ucapan Reygan di masa lalu, atas kepergian Reygan di masa lalu, dia yakin Reygan tidak akan menyakitinya. Keyakinan yang entah didapatnya darimana.
Apa itu artinya, Shirena berharap Reygan menemukannya? Apa dia berharap, Reygan kembali padanya? Berada di sisinya lagi?
Di sisi lain, Reygan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Shirena. Cowok itu sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada otaknya saat ini, tapi, dia merasa lepas kontrol. Shirena ada di bawah tubuhnya, mengizinkannya untuk melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar ciuman. Awalnya dia tidak percaya, dia merasa sakit karena hal itu, tapi, lambat-laun, otaknya mulai tercuci. Nalurinya sebagai lelaki mulai ke luar.
Hanya tinggal satu senti sebelum bibir Reygan mencecap bibir merah ranum Shirena, cowok itu membeku. Dia terkesiap dan menahan napas. Mata itu... mata yang selalu menyorot dingin dan tajam itu... mata milik Shirena, kini menatapnya... menatapnya dengan sorot... kepercayaan?
Cewek itu percaya padanya?
“s**t!” seru Reygan dan segera bangkit berdiri. Dia berjalan menjauh, mengacak rambutnya gusar dan kembali memaki. Menunduk, berkacak pinggang, Reygan mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Cowok itu memejamkan mata dan lagi-lagi memaki. Keras, kasar dan diakhiri dengan teriakan.
Shirena menatap itu semua dalam diam. Dia berdiri, mengusap-usap lengannya yang terasa perih dan mengalihkan wajah. Matanya memanas dengan cepat. Akhir-akhir ini, dia jadi sering gampang menangis. Padahal dulu, meskipun Shirena tahu dia satu SMA dengan Reygan Megantara, cewek itu selalu bisa menahan benteng dirinya. Tidak pernah lepas kontrol, tidak pernah menangis.
“Lo tau? Gue nggak sengaja dengar rencana konyol Gabriel ini. Dia minta tolong ke Rania untuk bawa gue ke sini, supaya dia bisa nyuruh lo ke sini juga dan ngunci kita.” Shirena menjelaskan situasi yang sedang terjadi, menyebabkan Reygan menegang dan mengangkat wajah perlahan. Menatap Shirena dengan tatapan yang sulit terbaca.
Meski tau ini rencana Gabriel, Shirena tetap datang?
“Dan gue tetap datang. Mungkin, lo bisa bilang gue cewek tolol.”
Apa?
“Karena gue ingin tau, apa lo emang b******k sejak dulu, atau yang Mahesa selalu tanamkan ke otak gue emang benar. Bahwa sebenarnya, lo baik. Bahwa lo terpaksa mengucapkan kalimat setan itu saat kecil dulu. Bahwa, kalau lo memang b******k dari dulu, lo nggak akan mau menemani gue setiap harinya, berteman dengan gue, bahkan selalu menolong gue saat kita kecil.” Shirena bersedekap dan tersenyum tipis.
Senyuman yang berbeda. Senyuman tulus yang berasal dari hati. Senyuman yang baru pertama kali dilihat dan didapatkan oleh Reygan dari Shirena.
Membuat hati Reygan meringan dan menghangat. Membuat cowok itu terpana, terhipnotis oleh senyuman dan tatapan lembut Shirena pertama untuknya. Bolehkah, Tuhan? Bolehkah Reygan berharap jika Shirena akan kembali menjadi sosok ceria, hangat dan lembut itu? Sosok yang sempat dilupakan oleh Reygan karena terpaksa berpisah dengan Shirena sepuluh tahun yang lalu, yang samar-samar mulai kembali teringat olehnya?
“Well, lo memang brengsek.” Shirena melanjutkan kalimatnya. “Lo cium paksa gue. Stealing is what thieves do best, right?”
Kalimat itu diakhiri Shirena dengan dengusan dan menarik napas panjang. “Gue juga sengaja memancing lo dengan sikap b*itch ala gue. Berhasil, tapi gue yakin, lo nggak akan termakan semua itu. Lo emang b******k, tapi entah kenapa, gue percaya lo nggak akan nyakitin gue.”
Reygan masih terlalu kaget dengan senyuman pemberian Shirena, sehingga dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Termasuk ketika Shirena mengeluarkan sebuah kunci dari saku rok sekolahnya dan memperlihatkannya pada Reygan.
“Kunci cadangan ruangan ini. Gue minta dari Rania setelah mengancam cewek berimajinasi liar itu, kalau gue nggak akan ikut main dalam teater nanti.” Shirena kemudian menggenggam kunci tersebut, mengambil naskah skenarionya dan berjalan menuju pintu. Setelah berhadapan dengan daun pintu, Shirena tidak langsung membukanya. Dia menoleh ke arah Reygan dan berkata, “But still, gue nggak akan mau berurusan lagi sama lo, Reygan. Urusan kita murni di masa kecil dan gue nggak mau bawa-bawa masalah itu lagi ke masa sekarang. Silahkan lo urus masalah lo sendiri, jangan bawa-bawa gue. Gue juga memperingatkan hal yang sama ke Mahesa.”
Terdengar bunyi anak kunci diputar sebanyak dua kali dan Shirena segera membuka pintu tersebut. Tepat sebelum Shirena menginjakkan kakinya ke luar dari ruangan ini, suara Reygan terdengar. Suara yang ringan, santai dan tegas. Suara yang menyiratkan kepercayaan diri dan tekad.
Suara yang membuat Shirena menggerakkan tubuhnya sedikit, agak kaget dengan kalimat Reygan. Mulutnya sempat terbuka, tetapi menutupnya lagi karena tidak tahu harus merespon dengan kalimat apa. Tanpa sepengetahuan Reygan, Shirena tersenyum kecil.
Jenis senyuman geli karena Shirena sadar, sifat Reygan dan kekeraskepalaannya tidak pernah berubah. Suka semaunya sendiri.
“You’re right. Stealing is what thieves do best. Even if it’s a person’s heart!”
Ketika pintu ruangan itu kembali tertutup dan Shirena menghilang dari sana, Mahesa mendekati ruangan tersebut. Menatap punggung Shirena yang menjauh, menatap Reygan melalui jendela kaca berbentuk persegi panjang kecil yang bersatu dengan daun pintu. Cowok itu mendesah panjang dan memasukkan kedua tangan di saku celana. Kembali mengingat senyuman tulus dan lembut Shirena, saat cewek itu berdiri di ambang pintu.
Senyuman yang dulu selalu dia lihat saat bersama Shirena, menghabiskan hari-hari bahagia mereka. Sedikit cemburu dan tidak rela karena senyuman itu didapatkan oleh Reygan, sang teman kecil yang berharga bagi Shirena.
Tapi, detik berikutnya, Mahesa tersenyum geli. Mengingat bagaimana dia juga pernah menyaksikan kekeraskepalaan dan sikap tidak mau dibantah milik Reygan. Seperti yang barusan tidak sengaja dia dengar dari kalimat Reygan.
Waktu itu, pertemuan mereka berdua di dekat sekolah di malam hari.
Lo mungkin pernah bikin Shirena kembali bersinar, meninggalkan kegelapan, menuju cahaya terang. Tapi, lo juga yang bikin dia kembali jatuh ke tempat mengerikan itu. Dan gue... gue, Reygan Megantara, bersumpah akan mengembalikan Shirena kembali ke cahaya terang, meskipun dia nggak menerima gue, meskipun dia menolak dan membenci gue di dalam hatinya! Gue yang akan menyelamatkan dia, bukan lo, Mahesa Febrianto! Bukan lo, hanya gue! Bersaing sama lo? Bring it on!
Mahesa kembali mendesah. Bersaing, ya?
Bahkan sebenarnya, Mahesa sudah bisa menduga siapa yang akan ke luar sebagai pemenang.
###
Hari ini, hujan turun begitu deras sejak pagi.
Shirena menatap hujan dari depan kelasnya. Semua teman-temannya sudah pulang karena dijemput oleh orang tua masing-masing. Guru-guru ada di ruang guru sementara dia sendirian di depan kelas ini. Menunggu Septian, kakak yang sangat menyayanginya itu, datang menjemput. Shirena paham kenapa Septian belum juga datang. Sekolahnya dan SMP Septian memang tidak berjauhan, mungkin sepuluh sampai lima belas menit kalau berjalan kaki. Namun, Septian belum pulang sekolah pada jam seperti ini. Septian pulang sekolah jam satu, sedangkan sekarang masih jam dua belas.
Shirena memang masih kecil untuk paham masalah yang terjadi di antara kedua orang tuanya, tapi, Shirena tahu kalau kedua orang dewasa itu akan berpisah sebentar lagi. Ibunya bahkan tidak pernah ada di rumah sekarang, semenjak dia melihat pertengkaran hebat beliau dengan ayahnya.
Menunduk, Shirena memegang tali ranselnya dengan kuat. Matanya mulai memburam karena terhalang selaput bening yang perlahan muncul. Kemudian, air mata itu mengalir dan Shirena segera menghapusnya. Shirena sudah bertekad dan berjanji dalam hati kalau dia akan menjadi orang yang kuat, orang yang tegar.
Lagipula...
“Shiren, nunggu di dalam kelas aja.”
Shirena menoleh dan mendapati sosok Ega berdiri di sampingnya. Cowok itu selalu ada di sisi Shirena, menghibur, menjaga dan membuatnya tertawa. Shirena yakin, dia bisa melewati semua ini kalau Ega selalu ada di sampingnya. Dia tidak butuh yang lain. Dia hanya butuh Ega dan Septian, maka semua akan baik-baik saja.
“Di sini Shiren bisa liat hujan, Ega,” kata Shirena seraya tersenyum lebar. “Shiren suka liat hujan.”
Ega menarik napas panjang dan menggeleng. Dia kembali ke dalam kelas sejenak dan kembali ke luar sambil membawa jaket tebalnya. Sebenarnya, Ega sudah dijemput, tapi Ega menyuruh supir ayahnya itu untuk kembali ke mobil saja karena dia akan menemani Shirena sampai Septian datang menjemput.
“Nih, dipakai biar nggak dingin dan Shiren nggak akan sakit nantinya,” ucap Ega sambil memakaikan jaket tebalnya ke tubuh mungil Shirena. Cewek kecil itu mengangguk penuh semangat dan menghirup aroma tubuh Ega yang menguar dari jaketnya.
“Shiren, kalau kita udah besar nanti, Shiren mau tinggal sama Ega aja, nggak?”
Pertanyaan polos itu membuat Shirena mengerutkan kening dan menatap Ega dengan tatapan bingung. “Nanti Kak Septian gimana?”
“Kak Septian ikut Shiren tinggal sama Ega aja. Shiren jadi pacar Ega aja kalau udah gede nanti. Terus, kita nikah.”
“Hah? Pacaran? Nikah? Apaan, tuh?”
“Hmm, apa, ya?” Ega melipat kedua tangannya di depan d**a dan menjentikkan jari. “Mungkin, kayak Papa sama Mama Ega? Ega nggak ngerti juga, sih. Cuma pernah dengar dari televisi pas Kak Rinka datang ke rumah. Waktu itu, Kak Rinka nonton film gitu. Cowoknya bilang ke ceweknya kalau dia pacarnya dan mereka akan nikah gitu, deh.”
Shirena manggut-manggut dan mengusap dagu. Dia kembali tersenyum dan menggenggam tangan Ega yang dibalas dengan genggaman erat juga. Ega bahkan mengusap rambut Shirena, karena Shirena sangat senang apabila rambutnya diusap seperti itu. Ega pernah melihatnya waktu Septian mengusap rambut Shirena dan Shirena sangat senang.
“Kalau gitu, Ega janji ya, ajak Shiren tinggal di rumah Ega pas kita udah gede nanti!”
“Ya, Ega janji!” Ega mengulurkan kelingkingnya dan disambut dengan riang oleh kelingking Shirena. Kemudian, Ega mencium pipi Shiren yang memerah karena cuaca dingin dan dengan polos, bibir mungil Ega mendarat cepat di bibir mungil Shirena. Lagi-lagi, hal yang dilihatnya dari televisi, saat sepupunya, Rinka, datang ke rumah dan menonton.
Suara petir membuat Reygan tersentak dan bangun dari tidurnya. Cowok itu menghela napas panjang dan berusaha mengembalikan kesadarannya yang masih hilang setengah. Dia menguap dan menoleh ke jendela.
Hujan deras.
Kelasnya saat ini sudah kosong. Reygan ingat, setelah bel pulang berbunyi, cowok itu memutuskan untuk tetap tinggal. Gabriel ingin menemani, tapi Reygan menolak karena cowok itu masih kesal dengan rencana kekanakkan Gabriel hari ini, di mana sahabatnya tersebut menguncinya dan Shirena di ruangan yang sama.
Lalu, Reygan menyadari sesuatu.
Bahwa dirinya sudah dibalut oleh jaket levis. Jaket levis yang menguarkan wangi bayi dan melati dalam waktu bersamaan. Wangi yang sempat diciumnya pada tubuh... Shirena.
Shirena?! Jaket ini milik Shirena, kah?
Perasaan hangat dan senang itu terbit. Reygan segera memakai ransel di sebelah pundak dan ke luar dari kelas, menuju kelas Shirena. Sayangnya, rasa senang Reygan harus musnah tatkala cowok itu menemukan kelas Shirena kosong melompong.
“Kayaknya udah pulang,” gumam Reygan. Namun, dia tetap senang karena Shirena mengkhawatirkannya. Hei, cewek itu menyelimuti tubuhnya dengan jaket, bukan? It’s a good sign!
Reygan menutup pintu kelas Shirena dan melihat arloji di tangan kirinya. Sudah jam lima. Harusnya, dia ada latihan teater untuk pertunjukan di hari ulang tahun sekolah. Tapi, Reygan memutuskan untuk bolos. Mungkin juga, Shirena yang datang ke kelasnya untuk menyuruhnya ke ruang latihan, tapi menemukannya sedang tidur dan akhirnya, Shirena menyelimutinya.
Tanpa sadar, Reygan sudah berada di gerbang bagian dalam sekolah. Biasanya gerbang bagian dalam ini akan ditutup, apabila upacara hari Senin sudah berlangsung, untuk mencegah siswa-siswi yang terlambat masuk ke dalam barisan. Cowok itu mendesah dan menatap langit hitam. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
“Udah bangun?”
Pertanyaan itu membuat Reygan tersentak dan menoleh. Dia bertemu mata dengan Shirena yang menatapnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Namun, wajah datar itu kini terlihat sedikit lebih ‘hidup’ di kedua mata Reygan. Entahlah, rasanya berbeda saja.
“Lo masih di sekolah?” alih-alih menjawab, Reygan justru memberikan pertanyaan.
Shirena mengangkat bahu tak acuh dan menunjuk langit. “Dari tadi masih hujan. Semua orang udah pada pulang, termasuk yang latihan teater. Omong-omong soal latihan, besok Hanz sama Rania bakalan kasih hukuman untuk lo.”
Reygan meringis aneh dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Sori, gue ngantuk banget. Lagian, gue juga malas. Gue udah hampir hafal semua dialognya, kok.”
Tidak ada percakapan lagi. Shirena dan Reygan sama-sama menatap hujan deras di hadapan mereka. Lalu, Reygan melirik Shirena sejenak. Menatap kagum wajah cantik dan elegan milik Shirena. Mengingat semuanya dengan baik dan menyimpannya dalam memori otaknya.
“Apa?” tanya Shirena kemudian.
Meski Shirena tidak menatapnya, Reygan tetap kaget. Cowok itu seperti sedang tertangkap basah berselingkuh atau semacamnya, hingga debar jantungnya meningkat drastis. Membuat Shirena menoleh untuk menatap Reygan karena cowok itu bersikap aneh dan tidak meresponnya.
“Nggak, itu....” Reygan mengumpat dalam hati dan menarik napas panjang. Stay calm, Reygan... calm down. “Kenapa lo nggak pulang sama Mahesa? Dia ikut latihan juga, kan? Pasti dia nggak akan biarin lo sendirian.”
Awkward!
Reygan memejamkan mata dan mengalihkan wajah. Mulutnya berkomat-kamit tanpa suara, memaki diri sendiri karena membawa nama Mahesa, di saat dia sedang berduaan saja dengan Shirena.
“Karena gue nggak mau pulang sama dia.”
Jawaban itu membuat Reygan mengerjap dan menoleh perlahan. Shirena menatap jalan di depan mereka dengan tatapan dan wajah datar.
“Apa?” tanya Reygan, ingin memastikan jawaban Shirena barusan.
“Karena gue nggak mau pulang sama dia.” Shirena kembali mengulang jawabannya. “Karena gue nggak mau terlibat urusan lagi sama Mahesa, ataupun sama lo.” Cewek itu lantas mendesah panjang dan mengusap kedua lengannya sendiri yang terasa dingin akibat cuaca. “How nostalgic.”
Kening Reygan mengerut. Dia jadi teringat mimpinya barusan. Kemudian, mengumpulkan semua keberaniannya, Reygan berkata, “Kita pernah ngalamin kejadian ini dulu, kan?”
Shirena menaikkan satu alis dan kembali menoleh untuk menatap Reygan. Raut wajah dan mata cowok itu sangat menggambarkan keseriusan, menyebabkan Shirena mendengus. Agak geli. “Bukannya lo lupa sama gue dan pertemanan kita zaman SD dulu?”
Reygan mengangkat bahu tak acuh. “Barusan gue mimpi aneh. Gue masih kecil di mimpi itu dan juga ada lo. Keadaannya sama: hujan deras. Kita di depan kelas dan gue bilang ke lo kalau... kalau....” Reygan berusaha mengingat kalimatnya dalam mimpi tadi, tapi gagal. Pose Reygan dalam hal mengingat isi mimpinya pun beragam dan terkesan aneh, hingga akhirnya, Reygan mendengar suara itu.
Suara tawa Shirena. Tawa geli Shirena Violet. Suara tawa yang baru pertama didengar Reygan, hingga cowok itu terpana, terpesona pada seraut wajah cantik, elegan dan tegas Shirena yang sedang tertawa.
“Kalau lo bakalan ajak gue tinggal di rumah lo saat kita besar nanti. Kalau lo akan bikin gue jadi pacar lo, bahkan ajak gue untuk menikah.” Shirena menarik napas panjang. Rasanya seperti baru kemarin dia dan Reygan membicarakan percakapan ngaco dan terkesan polos khas anak-anak. “Itu yang lo bilang.”
Kemudian, Shirena bergeser sedikit dari tempatnya karena merasa canggung dan sedikit tidak nyaman di samping Reygan. Terlebih ketika dia sadar bahwa dia baru saja tertawa dan membawa-bawa kisah masa kecil keduanya. Karena tidak ingin pertahanan dan bentengnya runtuh untuk yang kesekian kali, hingga memungkinkan Reygan untuk menerjang masuk dalam teritorinya, Shirena melangkah terlalu tergesa ke sisi bebasnya.
Membuatnya terpeleset dan panik.
Lalu, tangan kokoh itu mencekal lengannya, bermaksud menahan tubuhnya agar tidak terjungkal ke belakang. Nyatanya, Shirena memang tidak jatuh, melainkan limbung ke depan. Ke arah Reygan yang mencekal lengannya untuk mencegah Shirena jatuh.
Keduanya terkesiap. Reygan memeluk pinggang Shirena dan cowok itu akhirnya tidak mampu menahan beban tubuh mereka berdua. Reygan dan Shirena jatuh, dengan posisi Reygan di bawah dan Shirena baik-baik saja akibat jatuh di atas tubuh Reygan. Reygan yang meringis dan sedikit mengerang karena punggungnya menghantam lantai.
“Ega!” seru Shirena takut. Saking takutnya, dia tanpa sadar menyebutkan nama panggilan Reygan saat mereka SD dulu.
Mendengar nama panggilannya disebut, Reygan menatap Shirena dengan tatapan rindu. Rindu yang membuncah, yang entah datang darimana. Mungkin dari ingatan samarnya mengenai pertemanan mereka dulu, mungkin juga karena mimpinya tadi di kelas.
Yang jelas, Reygan merasa sangat bahagia. Terlalu bahagia hingga cowok itu merebahkan kepala Shirena pada dadanya. Menyuruh Shirena untuk mendengar detak jantungnya yang menggila akibat pengaruh cewek itu kepadanya. Kedua tangan Reygan kini memeluk tubuh mungil Shirena dengan sempurna.
“Biarin sebentar kayak gini,” kata Reygan lirih. Dia memejamkan kedua mata. “Sebentar aja, Shiren.”
Shiren... nama itu adalah nama yang selalu Reygan sebut dulu sekali. Memberikan getaran aneh pada d**a Shirena saat ini, menyebabkan cewek itu diam dan membiarkan Reygan memeluknya erat.
###