bc

SWEET LIE'S

book_age18+
1
IKUTI
1K
BACA
revenge
family
scandal
princess
tragedy
evil
office/work place
others
lies
victim
like
intro-logo
Uraian

Semua dimulai dari kerajaan Inggris yang membantai keluarga keturunan Camellia tanpa ampun, pun tanpa sebuah alasan yang pasti. Salah satu anggota keluarga, anak dari Aldebaran Antonius Camellia, berhasil kabur setelah dipaksa oleh ibunya Rose Jessi Camellia.

Masih dengan luka di hatinya, gadis bernama Audrey Blossom Camellia melangkahkan kaki untuk pergi dari Inggris dengan menyusup kapal. Demi kelangsungan hidupnya, demi cinta yang baru dia temukan, demi menjaga perasaannya sendiri, dan mungkin demi keegoisannya sendiri, Audrey memperkenalkan kehidupannya yang ia lukis dengan kebohongan yang ia buat.

Dia antagonis dipandangan orang lain, tetapi protagonis dipandangnya sendiri. Audrey hanya ingin dirinya tidak mati.

chap-preview
Pratinjau gratis
Awal Mula Kebohongan
Kemanapun dirinya pergi pasti akan terendus, tempatnya untuk berpijak sudah tidak nyaman lagi. Kaki jenjangnya yang dibalut celana jeans ketat dan sepatu sneaker bergerak cepat menjauhi tempat yang tidak ingin ia jamah untuk sementara waktu. Mata biru yang ditutup rapi oleh kacamata hitam memancarkan kemilau warna merah, bukan karena ia seorang vampir, tetapi itu adalah pantulan dari kondisi kota Inggris saat ini. Tubuh rampingnya terlapisi jubah hitam, rambut pirangnya tertutup topi, apapun yang bersangkutan dengannya serba misterius. Di belakang tubuhnya cahaya merah merona menyala-nyala bak lidah neraka, kebakaran di rumah mewah bak kerajaan menghanguskan semuanya. Langkah kaki gadis itu melemah saat suara ledakan mendengung di telinganya, seketika ia membalik badan, menonton detail setiap api yang melahap tempat tinggalnya. Silaunya biru lautan matanya kian meredup, bayangan tentang kedua orang tuanya yang menyuruh ia pergi secara paksa saat ajal mulai menjemput mereka memasuki otaknya. Kedua tangannya semakin meremas. Tangisan tidak dapat ia keluarkan, kekecewaan tak bisa ia muncratkan, kemarahan tak bisa ia loloskan, dan teriakan tidak terima tak bisa muncul ke permukaan. Emosinya tertutup rapat bersamaan dengan orang tuanya yang meninggal dunia di sana. "Temukan anak terakhir Camellia, dia harus kita bunuh malam ini juga." Langkah kakinya kembali ia tarik dengan cepat. Setiap langkah yang ia gores pada permukaan bumi adalah gambaran luka yang tak bisa ia rapalkan dalam satu kalimat saja, setiap langkahnya penuh dengan ceceran air mata yang ia sembunyikan. Kota ini, bumi ini, sudah tidak bermakna, semua palsu termasuk pemerintahan. Seharusnya pemerintah melindungi rakyatnya, tetapi mengapa kerajaan Inggris menghapus seluruh keturunan Camellia dalam semalam? Tidak dapat bergeming, biarkan jawaban ini menjadi teka-teki untuk cerita ini. Gerakan kakinya kian meningkat, ia berlari sekuat tenaga melewati gang-gang sempit untuk membuat siapapun tidak mengetahuinya. Yang ia bawa hanya pakaian yang melekat pada tubuh, dompet, dan hati yang terluka. Di perjalanan kaburnya, gadis pirang itu membuang HP, KTP, dan ATM, karena tidak ingin keberadaannya dilacak. Menghentikan taksi, ia masuk dengan sembrono. Dengan gelisah pula mengatakan kepada sopir untuk membawanya ke pelabuhan. Setelah taksi berjalan, ia menurunkan tingkat waspadanya. Menyenderkan tubuh di kursi, mata birunya menatap gedung-gedung tinggi di pinggir jalan melalui jendela. Setelah sampai di pelabuhan, ia kembali melangkah pergi, ia tak memiliki uang untuk membeli tiket, alhasil ia menyelinap. Untuk beberapa saat ia hanya diam mengamati, tetapi saat mengetahui ada kotak kayu yang belum ditutup, ia segera masuk dan bersembunyi di dalam sana. Membiarkan ia diangkut ke dalam kapal, entah akan dibawa ke mana dirinya asalkan jauh dari Inggris mungkin ia bisa tenang untuk sementara waktu. Bersama dengan kapal yang membelah laut, seluruh informasi tentang keluarga Camellia diriset ulang seperti tidak terjadi apa-apa. Sosok gadis yang selamat dari tragedi pembantaian hanya bisa duduk bersimpuh memeluk kaki rampingnya, tubuh kecilnya bergerak tidak teratur, dia sedang mengeluarkan emosinya secara utuh. Entah ini sudah berapa hari si pirang itu berada di kapal, kasusnya saat ini adalah tidak makan dan tidak minum membuat tubuhnya loyo, ia hanya memakan beberapa buah apel di kotak untuk mengisi perutnya. Saat merasa kotak yang menjadi tempatnya berlindung dibuka, silau matahari yang menerpa matanya membuat ia merasa pusing, tidak lama suara keributan terjadi. "Ada penyusup di kapal kita." "Dia bersembunyi di kotak buah." Ia tidak terlalu peduli. Bahkan ketika tubuhnya diangkut pun kepeduliannya tidak bertambah, malah ia merasa tubuhnya mulai meringan. Saat seseorang menanyai dia datang dari mana, pandangannya sudah mengabur, kemudian ia jatuh pingsan. "God, apakah hidup ini beralasan? jika iya, lantas, alasan aku hidup ini apa? bukan hanya untuk menyaksikan keluargaku dibantai, kan?" . . Pertama kali saat ia membuka mata adalah pemandangan yang serba putih suram dan kusam. Hidungnya juga menghirup aroma obat-obatan yang begitu mencekam, membuat ia merasa ingin muntah jika terus menerus menghirup aroma tersebut. Dengan cekatan ia mendudukkan diri, mungkin karena kondisi tubuhnya yang kurang sehat, kepalanya menjadi pusing seperti dipukuli dengan palu. Ia kembali terbaring dengan paksa di atas kasur, menimbulkan bunyi gedebuk riuh di ruangan. Bagian punggungnya terasa lebih sakit dari yang tadi. Meringis pelan, mata birunya menerawang atap-atap kamar rawat. Ah, akhirnya ia memahami kalau dirinya berada di rumah sakit. Kalau dipikir lebih jelas lagi, ia tidak tahu dengan pasti kenapa ia bisa masuk ke dalam ruang rawat, terakhir yang ia ingat ialah ia dikeluarkan secara paksa dari kotak kayu. Menggerang kesal, kehidupannya semakin susah setelah jauh dari Inggris. Menjadi yatim piatu karena keluarganya dibantai, terbuang di tempat yang ia sendiri tidak mengerti ini di mana, rasanya Audrey ingin berteriak marah mengeluarkan emosinya. Menutup mata rapat-rapat, bercak air mata mulai keluar dari sudut matanya, sesakit ini menjalani hidup sendiri. Menarik selimut setinggi mungkin, menyembunyikan kepalanya melalui selimut, kemudian mengunci bibirnya rapat-rapat dengan telapak tangan. Biarkan untuk terakhir kalinya ia menangis meratapi nasibnya. Hatinya yang terkoyak mungkin tidak bisa untuk dikembalikan, air mata yang jatuh tidak mungkin masuk ke dalam mata lagi, pikirannya yang dipenuhi kematian orang tua dan keluarganya mungkin tidak bisa dihilangkan apalagi dikurangi, tetapi cara apa lagi yang dapat Audrey lakukan untuk meredakan emosinya. "Daddy, Mommy...." lirihnya. Tubuh rampingnya ia peluk erat sendiri. Seluruh tubuhnya berubah menjadi dingin, padahal selimut sudah mengenai tubuhnya, tetapi seolah ada es batu yang masuk menguliti tubuhnya. Tangisan gadis itu kian mengencang, darah ada di mana-mana dalam bayangnya, membuat ia bergetar ketakutan. Tepukan pelan menyentuh pundaknya. Seketika ia menegang. Suara tangisnya semakin ia redam, tetapi ada suara halus yang merasuki telinganya, suara laki-laki yang sangat dalam. "Menangislah." Memang hanya sekilas dia berbicara, tetapi perkataan itu seperti sudah menghipnotis Audrey, sebagai perintah, kemudian ia menangis dalam diamnya. Tangisannya terus berlalu, air matanya terus berlinang, entah sudah berapa lama ia terus meringkuk di dalam selimut. Perlahan juga ia mulai lelah dengan suara tangisnya, perlahan energinya terkuras karena mengeluarkan emosi, juga perutnya mulai membunyikan suara aneh yang membuatnya merasa malu dan sedih secara bersamaan. Malu-malu ia menyembulkan kepalanya keluar dari dalam selimut, memunculkan matanya saja untuk melihat apakah orang tadi masih menemaninya, ternyata laki-laki itu masih berada di ujung kasurnya. Matanya melirik ke sana-sini, mencari sesuatu yang bisa dimakan, saat ia menemukan mangkok di atas meja membuat perutnya berbunyi lebih keras mengakibatkan laki-laki tampan itu langsung menoleh menatapnya. Kepala Audrey merunduk pelan, matanya tinggal setengah yang terlihat dari luar. Bibirnya ia gigit keras, bagaimana ia menyikapi rasa malunya ini. Menatap gadis pirang yang tampak malu-malu di balik selimut, "Kau lapar? aku sudah mengambilkanmu makanan di mangkok." Setelah ia mengatakan demikian, garis pirang itu memunculkan kepalanya secara utuh secara perlahan-lahan, kedua pipinya memerah dan bibirnya membengkak, efek menangis membuat wajah itu sedikit berbeda. Mengedipkan mata tiga kali, ia mengamati name tag di atas saku kanan blazer putih, bernamakan Durell Dite Erroll, dokter muda yang sangat tampan. Matanya kembali mengedip, bahasa yang digunakan Durell adalah bahasa Jepang, sedangkan ia hanya memahami sebagain dari bahasa Jepang. Menyipitkan mata, akan tetapi nama dokter tampan ini seperti orang Inggris? Terjengkit kaget, ia nyasar sampai ke Jepang? sungguh? lalu selama apa dia tidak makan dan minum di dalam kapal? oh, ia makan apel yang ada di dalam kotak. Suara benda tergeser mengalihkan perhatiannya, mangkuk yang mengepulkan asap diangkat oleh dokter tampan itu, kemudian tanpa ia duga malah dirinya disuapi. Menatap tidak percaya pada sendok yang ada di depan belahan bibirnya, mata birunya memerhatikan dengan jeli beras yang berbentuk lebih lembut dari dugaannya, hidungnya mengendus aroma yang enak, benar-benar menggugah selera makannya. Dalam sekali lahap, ia memakan sesendok bubur ayam. "Kau bisa lahap, ya? kamu dehidrasi dan kurang gizi, jadi makan dengan teratur." Entah apa yang diucapkan oleh Durell itu, Audrey hanya mengerti arti kata makan dan teratur, karena ia tidak bisa memakai kosakata Jepang ia memilih untuk terus memakan bubur yang disiapkan Durell. "Kamu tidak bisa bahasa Jepang? kalau dilihat-lihat, kamu memang seperti bule, dari mana asalmu?" kali ini Audrey mengerti apa yang diucapkannya, dia memakai bahasa Inggris yang sangat ia pahami sejak masih kecil. Mengangguk pelan, memberi jawaban kalau ia memang bule, tetapi ia tidak ingin memberitahu kalau asalnya dari Inggris. "Namamu?" Seharusnya ia memikirkan namanya. Ia tidak mungkin memakai nama Audrey Blossom Camellia di sini, bisa-bisa ia terlacak. Memegang keningnya pelan, ia berusaha berpikir, tetapi malah membuat dokter itu langsung berdiri menaruh mangkok ke meja dan segera mengecek kondisi tubuhnya menggunakan stetoskop. Alis Audrey naik, sebenarnya apa yang terjadi? dirinya tidak sedang sekarat. "Kamu tidak ingat namamu? apa sebelum ini kamu pernah kecelakaan?" semakin mengerutkan kening tidak paham, apa yang sedang Durell bicarakan tentang dirinya ini, ia ingat namanya dan tak pernah mengalami kecelakaan. Kemudian sepintas ide muncul. Menggelengkan kepala dengan maksud memberitahu bahwa ia tidak ingat namanya. "Mungkin kamu mengalami lupa ingatan." Tidak buruk, tidak buruk. Lagi pula dengan mengatakan kalau dirinya lupa ingatan, akan sedikit membantu sedikit kehidupannya di sini. Perutnya terasa kenyang, matanya mulai memberat, akan tetapi kesadarannya kembali saat ia diberi sebuah nama yang memiliki arti salju. "Salju pertama muncul. Bisa aku memberimu nama Yuki yang berarti salju selama kamu belum mengingat asal-usulmu? selama kamu di sini?" Pantas saja tadi tubuhnya mendingin, jendela kamar rawatnya terbuka lebar, terlebih salju juga mulai turun. Dari letaknya berbaring ia menoleh menatap titik-titik putih yang jatuh ke bumi yang berasal dari langit, "Boleh." Jawabnya dengan bahasa yang ia pahami. Tak perlu memikirkan nama samaran, ia sudah memiliki namanya sendiri di sini, bersyukur ia bertemu dengan manusia yang baik. Tersenyum tipis sampai membuat matanya menyipit menatap salju, "Mommy, Daddy, Audrey menemukan malaikat di sini." Kemudian sebutir air mata kembali turun, segera ia memasukkan kepalanya ke dalam selimut, tidak ingin tangisannya diketahui oleh Durell. "Aku senang kalau kamu menyukai nama pemberianku." Audrey tak menanggapi, ia sibuk mengentikan tangis penuh syukurnya. "Apa kamu mau aku bawakan buku untuk belajar bahasa Jepang? mungkin kamu akan sedikit lama di sini karena kondisimu saat ini. Mau?" kembali suara itu menyapa telinganya, membuat kepalanya kembali menyembul keluar. "Ya." Jawabnya singkat. Menundukkan kepala lagi, masuk ke dalam selimut. Laki-laki itu tersenyum tumpul padanya, entah karena apa dia tersenyum, ia sendiri tidak tahu. "Aku akan pergi, besok aku akan menemuimu lagi, selamat sore." Dia kemudian pergi meninggalkannya. Kepalanya menoleh ke jendela, sore katanya tadi? apakah itu berarti ia harus tidur lagi setelah ia baru saja bangun? dalam kesendiriannya, Audrey menikmati langit senja yang terlukis indah di luar sana yang dipenuhi oleh kumpulan salju. Menikmati hal-hal yang tidak pernah ada habisnya, sampai kesadarannya terenggut, dan melupakan pikirannya tentang siapa yang akan menutup jendela kamar rawatnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Daddy Bumi, I Love You

read
36.0K
bc

Over Protective Doctor

read
484.2K
bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
843.3K
bc

Aira

read
93.1K
bc

Billionaire's Baby

read
285.9K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
486.9K
bc

Istri Simpanan CEO

read
214.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook