Derik tiba di rumah saat magrib. Dilihatnya ruang tengah. Ada Nenek yang mengganti taplak meja. Dilirik lagi, ada Viona yang tengah menonton televisi sambil melipati baju. Mengernyit, karena di rumah ini tugas melipat baju biasa dilakukan oleh Nenek. Itu pun di ruangan khusus menyetrika dekat dapur. Nenek biasanya mengambil cucian kering dan mengumpulkan di keranjang yang ditaruh di kamar tersebut. Setelahnya, Nenek akan menyetrika di ruangan itu juga.
"Bapak sudah pulang? Mau disiapkan makan setelah ini apa nunggu Ibuk?" sapa Nenek.
"Nanti saja tunggu Adel. Saya mandi dulu, Nek." Derik mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya dan menyerahkan pada Nenek. Wanita tua itu menerima.
"Habis, Pak."
Derik mengengguk. "Iya. Tapi, Nek. Rasanya berbeda dengan biasanya. Ada daun seledri juga. Nenek ganti resep?" penasaran Derik. Apalagi perkedel kali ini dibalur telur. Biasanya Nenek tidak memakai telur di bagian luar saat menggoreng. Nenek juga mengukus kentang tersebut sebelum dihaluskan dan dibumbui, namun kali ini digoreng lebih dulu baru dihaluskan dan dibumbu.
"Oh, ini tadi Non Viona yang masak, Pak. Saya sudah larang, tapi Non Viona maksa bantu saya. Maaf, Pak, kalau kurang berkenan. Besok lagi biar saya saja yang membuat."
Nenek agak takut begitu Derik menyadari ada yang berbeda dari rasa perkedel kali ini. Derik agak terkejut. Diam-diam ia lirik Viona di ujung sana yang masih asyik melipat baju sambil tertawa melihat tayangan televisi.
"Ah, tidak, Nek. Rasanya enak."
Memang Derik akui rasanya lebih gurih, dan rasa merica serta bawang putihnya apalagi. Ia kira Nenek dapat resep baru, tapi malah yang masak baru. Rupanya, ada yang Viona bisa selain menumpang dan mengikuti Adel pergi.
Ah, tapi ngomong-ngomong ... bukannya Viona harusnya sedang bersama Adel ya? Menghadiri arisan di salah satu rumah teman Adel daerah Alaya.
"Nek, Ibu sudah datang?" tanya Derik. Tadi di halaman ia tidak melihat mobil Adel.
"Belum." Nenek menjawabnya sambil menggeleng.
"Tapi Viona di rumah. Bukannya Adel mengajak Viona pergi seperti biasanya?"
Nenek menoleh pada Viona. "Non?"
Merasa dipanggil, Viona menoleh. "Ya, Nek." Dilihatnya ada Derik juga di sana. "Mas Derik sudah pulang?"
Viona lantas berdiri. Meletakkan sepotong kaus yang ia hendak lipat ke atas sofa. Berjalan ke arah Derik dan Nenek berdiri.
"Non, Bapak tanya. Kenapa nggak sama Ibuk? Padahal tadi Non sama Ibuk keluar bareng."
Viona mengangguk-angguk. "Jadi tadi gini, Mas. Aku diajak Kak Adel jalan ke rumah temannya buat arisan. Tapi pas di tengah-tengah acara, teman aku ngajak ketemu. Teman kerja pas di warung dulu, Mas. Jadi, sekalian izin sama Kak Adel kalau pulang duluan. Maaf, Mas. Lagipula aku bingung mau ngobrol apa di sana. Mungkin karena aku orang kampung."
Derik berdecap. Jelas saja Viona orang kampung. Ia sudah membuktikannya sendiri. Rumahnya berada jauh jalan raya. Bahkan pasar terdekat saja bisa sepuluh kilometer. Itu pula pasar kecil yang jualan hanya menurut kalender Jawa. Jalan menuju rumah Viona juga belum diaspal. Hanya makadam yang membuat sakit badan kala mobil bergerak melewatinya.
"Oh." Hanya itu tanggapan Derik. Ia hanya ingin tahu saja kenpa mereka berdua tidak bersama.
"Nek, bikinkan kopi. Aku mau mandi dulu." Derik meninggalkan Nenek untuk menuju kamar. Viona hanya mendesah. Ada dua orang di hadapan Derik, tapi kenapa hanya Nenek yang dipamiti. Padahal ia juga ada di sana. Sekadar basa-basi pamit mau ke kamar juga bisa. Ya sudahlah, namanya juga istri kedua. Nggak dianggap itu hal biasa kalau kata Agus sahabatnya.
***
Adel tiba di rumah pukul delapan malam. Begitu masuk kamar, ia disambut Derik yang tengah mengetik di atas ranjang.
"Hai, Sayang." Adel meletakkan tas di meja dan menggeletakkan begitu saja kantong belanjaan atas kasur lalu menghambur ke pelukan sang suami. Diciumnya singkat bibir Derik yang beraroma kopi.
"Hai. Capek?"
Adel menggeleng. "Enggak. Aku seneng hari ini ketemu temen-temen. Dan tebak, hari ini aku dapat sesuatu."
Adel mengerling menggoda Derik. Memintanya menebak, dengan gaya manja. Sambil tangannya bergelayut di lengan sang suami.
"Ada apa? Kamu senang karena baju kamu paling bagus?" tebak Derik yang dijawab gelengan kepala Adel.
"Dapat arisan?"
Adel menggeleng lagi. Derik jadi bingung. Memamgnya apa kebahagiaan orang yang mengikuti arisan kalau bukan namanya keluar saat digoncang. Semua perempuan yang mengikuti arisan pasti hal paling membahagiakan ya itu.
"Buka, Sayang. Lebih bagus lagi kabarnya." Adel terkikik geli melihat kebingungan Derik. "Ayo tebak lagi." Adek terus menantang Derik.
"Apa? Aku menyerah, Sayang."
Adel mengerucutkan bibir. "Yah ... kamu gitu. Gampang menyerah."
Derik tak terima. Ia memang tak tahu menahu. Mau dipaksa bagaimanapun juga pikirannya buntu. "Ya. Aku menyerah. Jadi, katakan apa yang membuat kamu sesenang ini. Hem?"
Viona meraih kantong belanja yang ia geletakkan di atas kasur. Membuka, ia keluarkan isinya. Mata Adel berbinar senang.
"Tara ... tas yang aku pre order dari sebulan lalu karena edisi terbatas, akhirnya hari ini ada di pelukan juga." Adel tertawa bahagia sambil memeluk dan mengecupi tas barunya yang memiliki harga ratusan juta. Maklum, edisi terbatas karya desainer yang desain dan karyanya diakui di luar negri. Bahkan banyak artis luar yang memesan langsung karena memang desainnya unik, berkelas, mewah dan punya ciri khas yang tak biasa.
Derik hanya mengucapkan selamat. Ia turut senang jika Adel bahagia. Apa saja, akan ia lakukan agar Adel senang.
"Seneng banget aku, Sayang."
"Iya."
"Sekarang aku mau mandi dulu. Tasnya juga mau aku simpan."
Adel bergerak menjauhi Derik ke arah lemari kaca khusus barang-barang Adel. Sambil bersenandung, ia menatap koleksi tas, sepatu, dan juga beberapa dompet. Kini koleksinya bertambah banyak.
"Tadi Viona nggak sama kamu?" Derik tiba-tiba penasaran. Dan ingin bertanya kenapa membiarkan Viona berkeliaran sendiri menemui teman kerjanya. Seolah menganggap tempatnya ini bisa menjadikannya semena-mena.
"Dia kayaknya nggak tahan di tempat arisan. Diam saja, karena mau diajak ngobrol juga mana paham. Maklum saja, dia kan dari kampung. Jadi, aku bebasin dia ketemu temannya dan pulang dulu."
"Diantar sopir juga?" Derik kesal kalau memang iya jawabannya. Rumah Derik dan Adel, Viona hanya menumpang. Tak seharusnya minta ketemu teman dan pulang diantar sopir keluarga ini.
"Nggak mau dia. Aku udah nawarin dia, tapi nggak mau. Ya sudah lah, Yang. Biarin sekali-kali dia ketemu temannya. Kenapa memangnya? Dia bikin ulah? Aku lihat dia lihat TV di bawah."
Derik menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
***
Kabar pernikahan kedua, dibuat rahasia. Bahkan orang tua Derik dan Adel saja tak tahu bahwa ada istri lain di rumah Derik. Maka dari itu, ketika Sofi, ibu Adel berkunjung ke rumah ia tampak heran ada perempuan muda yang sedang menonton televisi.
"Dia siapa?"
Adel menelan ludah gugup. Jika ia mengatakan bahwa Viona adalah istri Derik, entah bagaimana reaksi mamanya. Pingsan, jantungan, atau malah mengutuknya. Hal terakhir jelas tidak mungkin, karena Adel adalah anak satu-satunya dan disayang bak permata.
Viona mendekat dan menangkup tangan Sofi. Menciumnya dengan khidmat. Meski Sofi masih saja bingung.
"Dia...."
"Bu, kenakan. Saya Viona. Saya—"
"Adik temen aku, Ma."
Adel langsung menyela. Lalu melirik pada Viona agar diam tanpa menjelaskan apa-apa lewat isyarat mata dan bibir. Viona paham. Jadi ia ikuti saja perintah Viona. Lagipula orang tua mana yang setuju ada istri kedua dari menantunya. Padahal jelas-jelas anaknya masih ada.
"Adik temen kamu siapa? Kenapa di sini?"
Adel memutar otak. Ia kebingungan lagi. "Temen sekolah dulu. Dia tinggal di sini karena di rumah nggak ada orang. Nggak papa lah, Ma, banyak kamar kosong. Aku juga jadi punya temen."
Sofi memperhatikan Viona dari ujung kepala hingga kaki. Mengingat-ingat wajah dari teman Adel yang mana kira-kira.
"Oh."
"Mama tumben ke sini nggak kasih kabar. Ada apa nih? Duduk yuk, aku suruh Nenek bikinkan teh."
Demi keselamatan dan timbulnya kecurigaan, Adel segera mengalihkan perhatian. Ia ajak Mama Sofi duduk, lalu menarik lengan Viona menuju dapur.
"Vin, maaf ya. Mamaku memang tidak tahu soal kamu dan Derik menikah." Adel merasa bersalah sudah berbohong soal status Viona.
Gadis itu mengangguk mengerti. "Iya, Kak, nggak apa-apa. Ya udah, Kakak temui saja, biar aku yang bikinkan teh."
Melongokkan kepala ke dapur. "Nenek mana emangnya?" tanya Adel.
"Tadi masih jemur baju, Kak. Sudah, biar aku saja. Tenang...." Viona menenangkan Adel yang gusar.
Setelah ditepuk-tepuk lengannya dan diyakinkan oleh Viona, Adel pun akhirnya menurut. Ia kembali ke ruang tamu tempat sang Mama di sana sedang membolak-balik majalah. Memperhatikan gambar, membaca beberapa resep masakan dan berita seputar artia tanah air.
Di dapur, Viona hanya bisa tersenyum guna meredakan hatinya. Keberadaannya seolah disembunyikan. Pihak keluarga Adel saja tak tahu bahwa anaknya sendiri yang meminta perempuan lain jadi istri suaminya. Demi menyelamatkan citra Adel, Viona akan menuruti.
Merebus air, Viona lantas menyiapkan dua buah gelas berisi dua sendok gula, dan satu kantong teh celup yang baru ia ambil dari salah satu toples di lemari dapur atas kompor. Tempat di mana Nenek menyimpan kebutuhan dapur seperti aneka bumbu, tepung, stok mi, dan bahan-bahan lain yang berupa kemasan.
Setelah air mendidih, air dituangkan. Membuat warna berubah kemerahan. Diaduk perlahan, ia ganti kantong dari gelas satu ke gelas berikutnya. Lagi-lagi warnaya berunah. Mengaduk dua gelas agar gulanya larut. Begitu siap, Viona mengambil nampan dan tutup. Ia sudah mulai hapal letak-letak barang di dapur. Saat senggang di rumah, ia sering membantu Nenek di dapur. Tak jarang ia sering curhat pada Nenek yang sudah menganggapnya anak sendiri, bukan nyonya rumah.
Selesai, ia ambil kue di dalam stoples yang diletakkan di atas lemari es. Menyajikan bersama teh akan makin nikmat. Dengan langkah tegas ia membawa ke ruang tamu. Viona jadi rindu masa-masa ia bekerja di warung. Membawakan teh untuk pembeli. Mengantar piring-piring berisi nasi pesanan pembeli. Belum lagi nanti ia juga akan memberesi piring-piring kotor untuk dibawa ke dapur.
"Silakan." Viona duduk di bawah sambil meletakkan dua gelaa teh dan satu toples camilan keluar dari nampan.
"Nama kamu siapa?" tanya Sofi.
"Viona."
"Sudah berapa lama tinggal di sini? Orang tua dan kakak kamu ke mana?"
Kini jadi Viona yang kebingungan menjawab. Bagaimana ia harus berbohong agar sama dengan Adel? Melirik Adel yang duduk di samping, perempuan itu juga sama-sama ketakutan.
"Ibu saya meninggal, ayah ikut kakak ke liar negeri. Saya tidak ikut, karena ingin kuliah di sini."
Sofi mengangguk-angguk. "Sabar ya."
Viona mengangguk lalu pamit undur diri. Berharap kebohongannya bisa diterima Sofi.
***
Derik tiba di rumah dengan kemeja yanh sedikit basah. Di luar sedang hujan, jadi ia sedikit berlari dari mobil ke teras tanpa payung. Tak tahu kalau hari ini akan hujan. Begitulah kota ini yang tak memilik cuaca pasti. Entah musimg kemarau, hujan bisa saja turun dengan lebat. Saat musim hujan, rinai panas bisa saja sampai membakar kulit.
"Nek, Nenek?"
Nenek yang dipanggil tergopoh-gopoh datang dari arah dapur. Ia tadi sedang menyapu lantai dapur selesai memasak perkedel pesanan Derik.
"Ya, Pak."
"Adel jadi ke rumah Mama?"
Nenek mengangguk. "Iya, Pak. Tadi Nyonya datang ke sini dan agak siang Ibu ikut ke rumahnya. Apa Bapak tidak diberitahu?"
"Adel sudah bilang. Makanya saya segera minta Nenek membuat perkedel."
Tas di tangan Derik ia serahkan pada Nenek. Sementara ia melepasi kancing-kancing kemejanya. "Nek, tolong bawakan tas saya ke kamar dan ambilkan kaus pendek. Bajunya mau saya bawa ke belakang sendiri saja."
Nenek mengangguk. Ia pun naik ke kamar Derik. Meletakkan tas dan mencari lemari milik Derik yang ukurannya lebih kecil dari lemari milik Adel. Membuka, ia ambil salah satu kaus.
Sementara di bawah, Derik bertelanjang d**a menuju tempat cucian. Ia biasa membawa baju kotornya sendiri ke bawah. Begitu melihat di tumpukan setrika ada kaus dalam miliknya, Derik mengambil.
Ketika hendak memakai, suara jeritan membuat Derik kaget dan menoleh. Di pintu ruang setrika tampak Viona yang menutup mata masih dengan jeritan kaget.
"Mas Derik, maaf."
Derik lupa ada manusia lain di rumah ini. Buru-buru ia mengenaka kaus. "Lihat apa kamu!"
Derik agak malu juga. Biasanya ia tak menampakkan diri tanpa baju di depan orang. Ia hanya melakukannya di rumah. Dilihat oleh Nenek, Hadi, atau khusus untuk Adel di kamar saat mereka bersetubuh. Kali ini, ia lupa ada Viona yang ikut melihat. Sedikit malu, Derik buru-buru keluar. Meninggalkan Viona yang kini bernapas lega. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia masih terkejut saat melihat tubuh indah dan berotot milik Derik. Wahahnya memanas, jantungnya berlarian, dan kakinya tiba-tiba lemas.
"Astaga...."
Hanya itu yang bisa Viona ucapkan. Suara Nenek dari dapur membuatnya tersadar. Segera ia hampiri Nenek yang memintanya segera membawakan perkedel yang Viona buat ke meja makan.
_________________