Pagi hari, Derik merasa badannya segar. Setelah bangun tidur dan mandi segar, ia dapati Adel juga sudah bangun.
"Hai...," sapanya membalikkan badan. Wanita yang duduk menatap cermin dan memegang sisir itu tersenyum pada sang suami.
"Jam berapa ini?"
"Masih pagi. Kamu tidur saja duluan."
Derik mengusap wajah lalu mencari ponsel di nakas. Benar, masih pukul enam. Agak heran saja karena Adel sudah bangun. Langit di luar saja bahkan masih gelap.
"Kamu sudah bangun?"
"Hem. Semalam aku ketiduran nunggu kamu. Maaf ya, jadi nggak bisa makan marabak manisnya. Aku tahu antrinya pasti panjang," sesal Adel.
"Tidak masalah. Aku suruh Nenek simpan di lemari es."
Adel mengacungkan jempol kanannya. "Oke."
"Aku mandi dulu."
Derik bangkit dari tempat tidur. Semalam setelah kerjaannya selesai, ia tidur nyenyak. Sampai kamar ia lebih cepat terlelap. Mungkin karena lelah, atau mungkin karena ... jeruk hangat? Ah entahlah. Ia tak mau berpikir macam-macam.
Menuju kamar mandi, ia bersihkan badan. Semalam pulang kerja ia tak sempat mandi.
"Sayang, aku ketemuan sama temen-temen arisan ya?"
Derik yang baru keluar dari kamar mandi hanya mengangguk. "Iya. Hati-hati."
"Sama Viona aku ajak ya?"
Derik mengernyit. "Kenapa kamu selalu mengajak dia ke mana pun? Tidak semua acara, kamu harus mengajak dia." Ada nada tak suka dari kalimat Derik barusan.
Adel berdiri dan menghampiri suami yang merajuk. Ia tepuk pipi Derik yang basah. "Yang, Viona kan istri kamu juga. Masa sih, kamu nggak bangga punya dua istri dan akur. Satu atap dan rukun. Di luar sana banyak yang punya istri dua tapi malah sembunyi-sembunyi. Malahan pada berantem."
Derik diam tak menanggapi.
"Tujuan Viona aku jadiin istri kamu kan, emang biar aku ada temen. Kamu selalu khawatir kalau aku ke mana saja tanpa Hadi. Sekarang Hadi ikut kamu terus dan Pak Soleh nggak bisa aku ajak jalan. Dia selalu merasa usianya tak lagi muda dan tak pantas diajak jalan.
Menghela napas. "Terserah kamu saja. Aku menikahi dia juga untuk kamu."
Adel terkekeh. "Jangan diamin dia dong, Yang. Gimanapun juga dia istri kamu. Ajak ngobrol, atau setidaknya tawari dia sesuatu."
Derik sebenarnya enggan. Tapi demi menyenangkan istrinya, ia mengangguk mengiyakan.
"Iya."
Adel tersenyum. Ia jelas tahu Derik tak tertarik dengan Viona. Rencana ia meminta menikah lagi saja membuat Derik kesal bukan main. Mengatakan ide tersebut adalah hal gila yang baru ia dengar terlebih dari istrinya sendiri. Di mana-mana perempuan tak ada yang rela dimadu. Bahkan tak jarang kasus pembunuhan terjadi karena alasan sang suami menikah lagi. Banyak juga yang menikah diam-diam. Tapi Adel malah meminta dirinya membawa Viona, istri keduanya untuk tinggal di satu atap bersama?
***
Viona tengah membantu Nenek mengupas kentang di dapur. Meski Nenek merasa Viona tak seharusnya berada di sana, tapi gadis manis yang semalam pergi ke kamar menjelang pagi karena ketiduran di depan televisi itu memaksa. Ia sudah terbiasa bekerja, entah memasak, menyapu, atau melakukan pekerjaan rumah setiap hari. Bangun tidur ia jadi merasa aneh jika tak bergerak. Jadilah ia ke dapur dan mendapati Nenek sibuk berkutat di sana.
"Kentang mau masak apa, Nek?"
"Perkedel."
Viona hanya manggut-manggut saja. "Kirain buat sop."
"Iya biasanya. Sop banjar ada perkedelnya. Tapi ini perkedel buat camilan saja."
Viona mengerutkan kening. "Kok dicemil sih, Nek? Bukannya buat lauk atau sayur ya?"
Nenek tersenyum ringan. "Bapak suka perkedel kentang, tapi Ibu nggak suka kentang. Jadinya Nenek buat perkedel khusus untuk Bapak saja. Tiap buat sop, Ibu ngelarang masukkan kentang. Makanya Bapak cuma bisa makan kentang kalau diperkedel. Dan Bapak saking senangnya, selalu minta dibuatkan perkedel. Tapi ya gitu."
Viona penasaran. "Gitu gimana nih, Nek?"
"Kalau ketahuan Ibu ada yang masak kentang, Ibu marah. Makanya Bapak hanya bawa perkedel saat berangkat kerja. Jadi tidak dimakan di rumah. Makanya Nenek bilang kalau perkedel ini camilan, bukan lauk." Nenek tertawa.
Viona jadi tahu sedikit soal Derik dan Adel dari Nenek. Setidaknya ia bisa antisipasi jika berada di kawasan dekat Derik atau Adel. Jangan-jangan ia melakukan hal yang tidak mereka berdua sukai. Selain penyuka kopi, Derik juga suka perkedel. Baiklah, akan Viona ingat. Soal Adel, wanita itu benci kentang. Oke, sekarang akan ia catata juga.
"Kak Adel kenapa nggak suka kentang, Nek?"
Nenek menghentikan kupasan. "Dulu saat kecil dia pernah sakit gara-gara makan kentang goreng. Saat kecil, Ibu suka sakit-sakitan. Karena kentang goreng banyak micin apa gimana Nenek juga nggak ngerti. Habis itu Ibuk dirawat di rumah sakit hampir seminggu. Sejak itu Ibu jadi nggak suka kentang. Padahal Nenek suka. Empuk di gigi Nenek yang hilang sebagian ini." Kemudian keduanya tertawa.
"Eh, Nek. Kalau perkedel ini apa tiap hari Mas Derik minta dibuatkan?"
Nenek menggeleng. "Tidak. Hanya kalau sedang ingin saja. Semalam saat Nenek habis rebus air kopi, Bapak pesan. Kalau Bapak minta baru dibikinkan."
Viona mengangguk mengerti.
"Sudah, Nenek mau goreng kentangnya. Kamu ke depan saja. Nenek nggak usah dibantuin. Nenek bingung kalau masak diawasi."
Viona sebenarnya ingin membantu, tapi Nenek sepertinya malah ingin membuatnya keluar dari dapur. Menurut, ia pun keluar. Dilihatnya jam masih setengah enam lebih seper empat. Melewati ruang tengah, ia lihat berkas-berkas Derik masih berserakan di meja. Tas kerja juga jatuh di bawah meja. Belum lagi gelas semalam yang belum sempat Nenek beresi karena repot di dapur. Biasanya memang Nenek membersihkan dan menata saat urusan dapur sudah selesai.
Tak ada salahnya ia membantu Nenek. Toh ia juga menganggur. Diberesi kertas-kertas dan map. Ditumpuk menjadi satu. Tas di bawah Viona ambil dan memasukkan kembali beberapa barang yang yang keluar setengah dari mulut tas. Selesai, ia taruh di meja dekat tumpukan map milik Derik tadi. Alat tulis yang masih berserakan juga Viona ambil, disatukan dan meletakkan di atas tumpukan map.
"Ngapain kamu rusak kerjaanku!"
Suara lantang membuat Viona kaget. Diikuti suara derap langkah yang tergesa. Derik mendekat ke tempat Viona. Berdiri menjulang di hadapan. Pen di tangan Viona ia rebut paksa.
"Siapa kamu yang berani menyentuh barang-barangku!" hardik Derik kesal melihat Viona yang menunduk.
"Maaf, Mas. Hanya bantu membereskan saja."
Derik melirik pada tumpukan map yang rapi. Tas di atas meja, juga beberapa bolpoin dan stabilo di atasnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Mas."
Viona terbirit meninggalkan Derik yang hanya bisa mendesah. Ia tahu ini keterlaluan. Tapi di rumah ini tak ada yang berani memberesi kerjaannya. Nenek saja tak berani. Adel apalagi. Ia mana pernah memberesi barang-barangnya. Kepunyaan Adel sendiri saja selalu diserahkan pada Nenek. Ia jadi merasa bersalah sudah memarahi Viona. Tapi bagaimanapun juga, Viona harusnya tak selancang itu.
***
Derik meletakkan ponsel, lalu menyandarkan punggung di kursi kantornya. Ia lelah, dan rasanya ingin segera pulang saja. Hari masih sore, pukul empat. Tapi seharian ini Derik baru merasakan duduk di kursinya baru sepuluh menit yang lalu. Dari mulai ia datang, langsung menuju bank. Belum lagi di BPN, lanjut meninjau proyek yang sedang dibangun. Sampai di kantor tahu-tahu sudah sore saja.
Mengingat ia tadi pagi dibawakan bekal oleh Nenek secara diam-diam tanpa ketahuan Adel, Derik menegakkan kembali punggungnya. Dibukanya tas dan mengeluarkan kotak Tuperware warna ungu. Perlahan ia buka. Bau gurih memenuhi indra penciumannya.
Mengambil satu, ia masukkan mulut. Rasanya gurih, sedikit pedas dan selalu saja enak. Tak ada alasan khusus ia menyukai perkedel kentang. Habis dua, ia baru menyadari ada yang berbeda dengan perkedel kali ini. Terasa lebih enak dan gurih. Ada potongan daun seledri pula. Padahal selama ini Nenek tak pernah mencampurnya dengan daun seperti ini.
Mengabaikan, ia habiskan perkedel selanjutnya. Sambil menatap senja dari jendela dekat ia duduk. Langit sore Samarinda, tiba-tiba ia rindu istrinya. Ia tahu pasti istrinya pasti sedang asyik berkumpul dengan teman-teman arisannya. Biasanya mereka akan berkumpul di rumah salah satu anggota. Merumpikan merk tas keluaran terbaru, barang lagi hits di kalangan sosialita, menu diet, berita artis top, dan seputaran perawatan tubuh serta wajah.
Biasanya, sang istri akan berangkat saat siang dan akan pulang menjelang malam. Jadi, Derik sudah terbiasa jika nanti pulang istrinya akan kelelahan dan langsung tidur tanpa menyambutnya.
Sudah habis lima perkedel. Derik putuskan untuk memanggil Hadi. Ia akan pulang saja. Menunggu istrinya datang sambil bersantai di kamar.
Menekan ikon warna hijau begitu di ponsel ia temukan nama Hadi, sopirnya.
"Hadi, kita pulang sekarang."
***
Seperti dugaan Derik, sang istri Adel memang sedang sibuk dengan teman-teman arisan yang bertemu sebulan sekali. Bertempat di salah satu rumah anggota, Adel tertawa senang kala perbincangan seputar suami masing-masing dibahas. Mereka semua satu per satu akan memamerkan hal romantis yang dilakukan pasanga. Seperti mengajam liburan, membelikan perhiasan, menambahi uang di rekening secara tiba-tiba, hingga malam panas yang menggairahkan. Bertapa suaminya selalu memuaskan kala mereguk kenikmatan bersama. Tak begitu pula dengan Adel yang membanggakan stamina suaminya.
Melirik jam di ponsel, malah ia dapati notifikasi dari Viona. Ia buka pesan tersebut. Didapatinya Viona yang meminta maaf karena pulang lebih dulu.
Ngomong-ngomong soal Viona, gadis muda tadi datang ke acara arisan ini bersama Adel. Seperti keinginan Adel kala izin ke Derik, bahwa Adel akan mengajak Viona ke acara arisannya. Namun, baru setengah jalan, Viona pamit pulang lebih dulu karena ada teman kerjanya dulu yang mengajak bertemu.
Tadinya Adel menawari sopir mengantar, tapi Viona enggan. Ia pilih abang ojol saja untuk menemani menemui Agus. Tahu dirinya sedang keluar, Agus mengajak bertemu. Di salah satu kedai kue donat murahan tapi enak rasanya dan banyak varian toping, keduanya bertemu.
"Enak ya, sekarang jadi orang kaya. Kamu jadi makin terawat. Nggak kayak pas kerja dulu. Buluk." Komentar dari Agus membuat Viona terpingkal.
"Tapi bosen, Gus. Di rumah nggak ngapa-ngapain. Tiduran, lihat TV, diajak Kak Adel keluar hampir tiap hari."
Agus iri. "Tuh enak diajak jalan terus."
Tawa Viona kemudian berhenti. "Sekarang nggak bebas, Gus."
Agus mengangguk setuju. Biasanya ia dan Viona bisa makan di luar saat pulang kerja atau bercanda di dapur sambil mengangkuti piring-piring kotor. Sekarang, ia bisa ketemu saja syukur. Tadi ia izin keluar sebentara. Untung saja warung sedang tak begitu ramai.
"Enak, jadi istri kedua?"
Mebdapat pertanyaan tersebut, Viona menghela napas. "Yah ...gitu deh. Masih sama aja kayak nggak punya suami."
"Jadi sampek sekarang suami kamu belum nyentuh sama sekali?"
Viona menggeleng sebagai jawaban. Ia tak mengatakan pada siapa pun soal perjanjian yang ia buat dengan Derik kala itu. Sebelum pernikahan terlaksana.
"Dasar laki itu. Nggak bisa lihat barang bagus. Padahal kamu sekarang makin cantik. Masa dia nggak tertarik mau menyetubuhi kamu?"
Menepuk kencang lengan Agus, agar mulut lemes teman satu kerjanya dulu itu bisa dijaga. Malu juga kalau didengar orang. "Dasar!"
Agus tertawa minta maaf. "Nggak enak emang ya, jadi yang kedua. Cuma jadi ban serep kalau yang pertama rusak. Nggak diperhatiin kayak nomer satu, sering nggak dianggep, dibandingin, dan jadi serba salah juga."
Mau tak mau Viona setuju. Ia tahu rasanya seperti yang disebutkan Agus, meski tidak atau memang belum semuanya.
"Tapi, Vin, kamu kok mau dinikahin sama dia? Bukannya sama aja ya. Kalau nggak bayar hutang ujung-ujungnya jadi istri ke sekian. Kok kamu malah mau aja tetep jadi istri orang?"
Viona berpikir. "Mas Derik lebih menjanjika keknya."
Agus melotot. "Apa karena kalau sama aki-aki, jadi kurang enak mantap-mantapnya? Kalau sama laki kamu sekarang kan masih muda, cakep, stamina oke. Bisa mantap-mantap sampek puas."
Agus tertawa, tapi Viona malah merona. Meski ia belum pernah merasakannya, tapi ia jadi teringat kejadian beberapa minggu lalu. Saat ia mendapati Derik sedang menggenjot Adel di kamar yang lupa mereka tutup.
Derik yang tanpa busana dan terlihat dari belakang saja tengah menghujam Adel yang mendesah tak karuan. Belum lagi erangan Derik yang membahana memenuhi kamar tersebut. Viona yang terbangun tengah malam hendak mengambil minum, tak sengaja lewat depan kamar Derik dan Adel yang sepertinta lupa ditutup rapat. Dari celah yang terbuka, Viona jadi bisa melihat sekelumit aktivitas suami istri tersebut.
Derik yang penuh tenaga, bahkan sampai membuat Adel merintih ampun ingin segera diajak ke awang-awang, tak dibiarkan begitu saja. Adel selalu gagal mengeluarkannya, karena Derik selalu mencabut dadakan. Akibatnya, Adel akan terus memohon pada suaminya untuk disetubuhi terus. Hingga lolongan panjang keduanya membuat Viona panas dingin dan kembali ke kamar lagi setelah mengambil air minum. Ia jadi membayangkan, seandainya ia benar-benar jadi istri ... bukan istri kedua dengan perjanjian tanpa sentuhan badan. Apa ia juga akan dibuat menggila oleh suaminya? Dihujam dengan keras, cepat, dan tanpa ampun seperti Adel yang malah kenikmatan. Ah, membayangkan saja Viona jadi panas dingi dan hampir basah di bawah sana.
_______________