bc

Pernikahan Ketigaku

book_age18+
285
IKUTI
2.7K
BACA
HE
arrogant
blue collar
sweet
bxg
city
friends with benefits
office lady
like
intro-logo
Uraian

Dua kali ditinggal mati oleh suaminya, serta harus membesarkan seorang anak yang memiliki indikasi autisme, membuat Inessa tidak bisa lagi memikirkan hal lain selain menghasilkan uang untuk anak dari hasil pernikahan keduanya tersebut dan melupakan masa mudanya. Arshaka Wafa, seorang pria mapan pemilik sebuah restoran jepang terkenal warisan keluarganya tanpa sengaja mengikuti ajang pencarian jodoh melalui sebuah aplikasi akibat ulah sahabatnya sendiri yang akhirnya membuat ia dan Inessa terikat perjanjian kerjasama hingga menjadi perjanjian sakral seumur hidup mereka.

chap-preview
Pratinjau gratis
Inessa
Sama seperti hari- hari biasanya, Ines sedang memandikan putrinya yang berusia 5 tahun tersebut dengan penuh kasih sayang. Meski Zebika sudah memasuki usia prasekolah, namun sayangnya putri kecilnya tersebut belum bisa berkomunikasi dengan baik layaknya anak usia lima tahun pada umumnya. Ia mengalami kesulitan dalam berbicara atau dengan kata lain adalah speech delay dimana ia kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya. Dan hal ini kadang membuatnya menjadi tantrum saat ia merasa orang di sekitarnya tidak memahami maksud hatinya. Tak jarang pula Bibi, begitu ia biasa dipanggil, merusak barang atau bahkan menyakiti dirinya dan orang lain. Hal yang sering membuat Ines semakin merasa bersalah. " Main yang baik ya sayang... Kita siram kepala Bibi dulu biar bisa cepat selesainya ya..." ucap Ines dengan lembut karena Bibi terus saja memainkan mainan bebeknya ke dalam bak mandi hingga membuat pakaiannya cukup basah. " Main duwu..." jawab Bibi yang masih terdengar cadel dengan lafal yang kurang jelas. " Mainnya nanti dulu ya... Mama mau kerja dan mama bisa telat kalau Bibi mandinya lama. Ayo nak ya... Nanti lagi ya mainnya." bujuk Ines sambil membasuh tubuh putrinya dengan lembut. Tak jarang Ines menangis karena merasa tidak mampu membesarkan putrinya dengan baik. Tak jarang pula ia menyalahkan dirinya untuk semua yang telah terjadi. Meski sahabat dan juga ibunya sudah memberitahu jika semua adalah takdir, namun tetap saja kata- kata sebagian orang yang pernah menghinanya membuat ia terus terluka setiap kali mengingatnya. " Dasar wanita pembawa sial... Gara- gara dia anak saya meninggal. Andai tidak menikahi dia, anak saya pasti masih hidup." ucap ibu mertua Ines dari pernikahan keduanya. " Belum puas kamu membunuh anak saya dan calon cucu saya, sampai kamu juga mau membunuh saya perlahan?" ucap ibu mertua Ines dari pernikahan pertamanya. Dan beberapa bulan kemudian, wanita yang ia anggap ibu tersebut juga menghembuskan nafas terakhirnya akibat kanker usus yang telah lama ia idap. Namun tentu saja, orang- orang lebih suka untuk menyalahkan dirinya meski ia sudah tidak tinggal di rumah mertuanya tersebut. Terkadang Ines juga heran dengan ucapan- ucapan keji dari orang- orang yang merasa dekat dengan kedua suaminya, terlebih lagi dengan orang yang tidak ia kenal namun bisa menghakiminya sedemikian rupa. Padahal, jikalau ada orang yang paling terluka dan paling kehilangan dari meninggalnya seorang suami, pasti itu adalah istri dan anak- anaknya. Bagaimana tidak, menikah dengan orang yang begitu baik kepadanya, yang meski awalnya tidak Ines cintai, namun karena kebaikan dan ketulusan mereka, hingga akhirnya ia belajar menerima takdirnya tersebut dengan hati yang lapang hingga rumah tangga mereka berdua selalu berjalan baik dan harmonis. Terlebih lagi, ia selalu dididik oleh ibunya untuk selalu lebih mengutamakan suami di atas apapun. Ia selalu memberikan yang terbaik pada suaminya dan tidak pernah mengeluhkan apapun meski kadang ia menerima perlakuan yang tidak baik dari orang- orang sekitarnya. Dengan penuh kasih sayang, Ines menutupi tubuh putrinya dengan handuk dan menggendongnya keluar dari kamar mandi rumah sederhananya bersama sang ibu sejak mereka memutuskan untuk tinggal di ibukota dimana ia diterima untuk bekerja. Dan meski pekerjaannya hanyalah sebagai seorang sales marketing di salah satu merk mobil mahal, namun gaji yang ia terima cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka ditambah dengan upahnya sebagai karyawan lepas di salah satu restoran. Tentu ia tidak bisa berharap banyak jika hanya bermodalkan ijazah SMA untuk bisa bersaing di ibukota. " Udah, Nes. Biar ibu aja yang pakaikan baju untuk Bibi. Kamu mandi sana... Udah basah gitu." ucap Ria, ibu dari Ines. " Iya, bu. Makasih ya. Aku juga udah telat. Aku ada pameran di mall pagi ini." " Ya udah. Kamu siap- siap aja. Ibu udah masak dan masukin bekal kamu. Sarapan dulu ya sebelum pergi." " Iya... Makasih ya bu... Kalau gitu, aku mandi dulu." ucap Ines lalu meninggalkan Bibi yang kini sudah diambil alih oleh ibunya. " Bibi sama ibu nenek ya... Mama mau mandi dulu." sambung Ines pada Bibi yang tidak memperdulikannya dan tetap memainkan mainan bebek karet yang sejak tadi dipegangnya. Bibi memang anak yang apabila fokus akan satu hal, maka tidak akan peduli dengan keadaan sekitarnya. Bahkan ia tidak akan merespon apapun jika namanya dipanggil. Ines lalu meninggalkan ibu dan putrinya tersebut untuk memulai mengurus dirinya sendiri agar bisa segera berangkat ke pameran kendaraan yang jaraknya cukup jauh. *** “ Makasih ya, pak.” ucap Ines pada pengemudi ojek online yang ditumpanginya sambil mengulurkan helm yang ia kenakan tadi. Ines hanya bisa menghela nafas panjang ketika ia melihat keadaan stasiun kereta yang cukup ramai pagi ini setelah libur panjang yang membuat penduduk ibukota berbondong- bondong kembali ke rutinitas harian mereka. Ponselnya berdering dan dengan cepat ia menjawab panggilan tersebut sambil berlari kecil dengan tote bag berisi pakaian ganti dan keperluannya tersebut. “ Iya, aku udah di jalan. Baru masuk stasiun.” jawab Inez pada Melia yang menanyakan keberadaannya. “ Kan udah aku bilang, aku jemput aja. Bengal sih kamu!” protes Melia si anak ibukota yang sedang mengendarai mobilnya. “ Yakali rumah kita deketan. Satu dimana, satunya dimana.” “ Iya… Tapi kan aku yang nawarin karena kita searah. Lagian kamu bisa telat, Inessa…” “ Nggak akan. Orang pas turun dari kereta nanti aku tinggal jalan dikit aja, udah sampai kok.” “ Nggak ada nggak ada… Mana ada kamu bisa jalan. Jauh tau! Kamu harus naik ojek lagi. Pokoknya aku jemput di stasiun tujuan loe.” “ Ya udah… Kalau kamunya maksa…” canda Ines dengan tersenyum dan berjalan menuju gerbong yang bisa menampungnya. “ Kalau gitu aku mampir beli sarapan aja ya… Kamu pasti belum makan.” “ Udah, Mel. Nggak usah. Aku udah makan di rumah tadi.” “ Trus kamu maunya apaan? Nolak mulu dari tadi” tanya Melia dengan kesal. “ Kopi aja lah kalau gitu. Aku ngantuk soalnya.” “ Gitu dong… Kopi apaan?” “ Apa aja. Kopikir aja sendiri.” jawab Ines dengan asal. “ Nggak lucu deh, ciiinnn.” “ Udah ah, aku mau atur napas dulu. Sesak napas lari- larian nyari gerbong. Disini juga penuh banget.” “ Ya udah… Jagain hape kamu. Ntar ketiduran malah dicopet lagi.” “ Iya, nyonya… Bye.” Ines kemudian berdiri sambil bersandar di samping pintu gerbong tersebut dan mengenakan maskernya karena nampak semakin banyak penumpang yang mulai berdatangan dan mereka harus saling berhimpitan. Terlebih lagi gerbong khusus perempuan selalu penuh lebih cepat dari gerbong lainnya. " Sabar, Nes... Cuma seminggu ini..." hibur Ines pada dirinya sendiri. Pameran otomotif tersebut memang hanya akan berlangsung selama satu minggu di mall besar yang akan di datanginya. Dan itu artinya, ia harus naik ojek lagi setelah turun dari kereta. Sedangkan untuk berangkat bekerja setiap harinya, ia sebenarnya tidak perlu berangkat sepagi ini karena hanya harus naik ojek sekali saja. *** " Semoga kamu masuk surga, Mel..." ucap Ines dengan lega setelah ia duduk bersandar di jok mobil milik sahabatnya tersebut. Sahabat yang sudah mengenalnya sejak kecil dan selalu menjadi tempatnya mengeluarkan uneg- uneg dan isi hatinya. Ines menyebutnya human diary dan menamakan Melia dengan sebutan itu pada kontak teleponnya. " Bandel sih... Udah sejak kemarin aku bilang aku jemput aku jemput, masih aja nggak enakan. Kita udah temenan dari orok dan kamu masih aja selalu nggak enakan." " Iya, cintaku... Kita tuh saudara kembar beda ibu bapak." ucap Ines dengan tersenyum karena memang ulang tahun mereka berdua berada di tanggal yang sama. Hal yang membuat mereka berteman sejak kecil. " Kamu ingat nggak waktu kita kecil dan pengen foto bareng. Trus kita berantem karena pengen megang daun yang sama. Padahal pohon bunganya rindang banget dan banyak buaaangget daun lain. Bisa- bisanya kita berantem untuk satu daun fenomenal itu." ujar Melia yang tertawa terbahak mengingat kenangan masa kecil mereka. " Kayaknya itu terakhir kali kita berantem deh, Mel. Seingat aku, kita nggak pernah berantem." " Berantem sih nggak, Nes... Berdebat iya. Karena pada dasarnya kita tuh beda banget banget. Ada kamu yang selalu iya iya aja pasrah pasrah aja, senang hati diintimidasi dan didzolimi, dan ada aku yang selalu ngegas dan ngotot untuk semua hal. Ya klop lah..." jawab Melia yang masih tertawa. " Enak aja aku senang hati di intimidasi..." protes Ines. " Lah emang gitu... Buktinya, di omelin ipar kamu, si Nuha itu. Bahkan cuma bisa nangis doang. Padahal nih ya, Nes... Dia tuh nggak berhak lakuin itu sama kamu. Mau itu pas si Arya masih hidup apalagi udah meninggal kayak sekarang. Lagian kenapa sih nggak ngeblokir mereka aja?" " Ya nggak enak lah... Masa iya aku lupa sama mertua aku sendiri." " Mertua kamu tuh orang tua Arya. Mereka yang harus kamu hormatin. Bukan adiknya yang nggak sopan itu. Tapi aku heran, kenapa juga dia telepon kamu dan ngatain kamu nyari kesempatan. Kesempatan apa coba?" " Sebenarnya... Mereka minta aku datang sejak bulan lalu." " Datang? Datang ke rumah mereka maksudnya?" tanya Melia dengan heran. " Iya... Mereka nyuruh bawa Bibi." “ Ngapain? Mau ngatain kamu lagi?” “ Mereka menjual rumah mas Arya yang sempat kami tinggali dulu. Dan mereka mau ngasih Bibi sebagian dari hasil penjualannya." " What?! Sebagian doang? Ya mestinya semuanya lah... Lagian waktu kamu pergi dari rumah mereka kamu kan nggak mereka kasih apapun." " Mereka ngasih kok... Buat pegangan." " 500 ribu doang itu?!" " Ya kan duit juga..." " Iya, duit beli cilok!" " Dan kamu mau kesana?" tanya Melia lagi. " Nggak tahu... Aku malas berurusan sama Nuha. Tapi mama sudah sering telepon dan minta aku datang. Katanya juga kangen sama Bibi." " Kalau kangen tuh disamperin... Lagian kenapa sih tiba- tiba baik?" " Mama udah nggak sekeras dulu sejak sering sakit. Dia katanya kangen aku pijitin, aku masakin. Kasihan juga karena beliau udah semakin menua." " Yaelah, Ines.... Masih aja belain mereka. Itu tuh karena mertua kamu kangen kamu jadi pembantunya. Lagian nih ya... Gimana bisa mereka setega itu pas kamu hamil Bibi. Nyuruh inilah itulah... Belum lagi disindir. Rumah mereka gede tapi ART cuman satu. Ya tentulah butuh kamu sebagai tambahan. Gila aja orang lagi hamil disuruh ngepel." " Ya kan supaya lebih gampang ngelahirinnya... Kalau hamil tua tuh katanya harus gitu." " Dan hasilnya? Yang ada kamu malah kontraksi dan harus mengelahirin Bibi dengan operasi dan prematur. Kamu itu ngepel sejak pengantin baru, bukan sejak hamil tua." protes Melia yang lagi- lagi emosional. " Sok tahu..." " Tahu lah... Dari pembantu kamu." " Udah ah.. Nggak usah di bahas. Aku mau ganti baju di belakang aja ya? Biar sekalian pas nyampe kita langsung turun." " Iya, nyonya Ines sang pelayan kalbu." " Bawel!" ucap Ines dengan mencubit pipi sahabatnya dengan lembut.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
103.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
192.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
209.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
14.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.9K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook