“ Sakha, sampai kapan kamu mau kayak gini?” tanya Sonya dengan berang.
“ Udahlah, kak… Santai aja. Aku aja nggak keberatan.” ucap Sakha dengan santai dan tetap menyeruput kopi miliknya.
“ Kamu udah semakin tua. Alea aja udah semakin besar. Sima udah hampir selesai SMA. Arisa sudah semester- semester akhir. Kamu ini gimana sih?”
“ Ya ampun, kak… Justru karena ada Sima ada Arisa, ada princess Alea, jadi aku makin nggak butuh menikah. Lagian, apa sih inti dari kak Sonya nyuruh aku menikah? Ada yang ngurus? Well, i can handle it. Apa lagi? Teman ngobrol? Aku punya kalian, ada Adam juga.” ucap Sakha dengan santai.
“ Biar ada yang temanin kamu tidur!”
“ Kak Sonya nggak tahu aja kalau aku bahkan bisa gonta- ganti teman tidur tiap malam.” jawab Sakha lagi sambil menutup kedua telinga keponakannya yang merasa kegelian tersebut.
“ Sakha! Kamu tahu kalau kami nggak menerima sembarang jenis wanita masuk ke keluarga kita. Gimana kalau salah satunya menuntut kamu? Gimana kalau—-“
“ Sonya… Berhenti mengganggu Sakha. Ada hal yang penting yang harus kami bahas.” sela Arhan, suami dari Sonya yang kini ikut duduk di meja makan yang terdapat di taman belakang rumah mewah mereka tersebut.
“ Yup… Kamu benar, mas. Malam ini grand opening outlet baru kita di mall. Semua siap dan aku udah mau jalan ke sana.” ucap Sakha yang memang selalu bisa diandalkan jika mengenai pekerjaan.
“ Kenapa justru kamu yang laporin ke aku. Mestinya aku yang melapor sama kamu.” canda Arhan karena memang posisi Sakha adalah yang tertinggi dalam struktur perusahaan keluarga mereka. Dia adalah pemegang saham terbanyak dan bertindak sebagai CEO untuk perusahaan induk dari semua anak perusahaan keluarga tersebut.
“ Makasih sudah datang, dan aku permisi.” ucap Sakha sambil tersenyum dan mengecup kedua pipi keponakan tersayangnya.
“ Malam ini, aku akan bawa anak teman aku ke acara kamu. Nggak ada tapi- tapian.”
“ Datang aja. Aku nggak akan ngelarang juga.”
“ Temuin dia. Dia anak yang baik, cantik, dan juga dari keluarga baik- baik.” seru Sonya karena Sakha sudah berjalan melewatinya setelah hanya mengecup pipinya sesaat.
“ Semua wanita itu baik. Yang tidak baik hanyalah yang meninggalkan suaminya.” ucap Sakha sambil mengenakan kacamata hitamnya dan hanya ia yang bisa mendengarkan suaranya sendiri.
***
“ Nes, nanti malam ada acara loh di lantai 8. Grand opening restoran gitu lah… Kesana yuk.” ajak Melia sambil berdiri menyerahkan lembaran- lembaran brosur mobil yang mereka jual.
“ Makan disini? Gila aja… Tau sendiri mall ini mahal- mahal banget makanannya. Emang restoran apa?”
“ Jepang sih kayaknya. Namanya Tabenasai deh kalau nggak salah.” jawab Melia.
“ Pasti mahal lah, Mel. Nggak ah…”
“ Tapi kamu seriusan mau ngambil dua shift?” tanya Melia lagi.
“ Iya… Nanggung banget kalau langsung pulang aja. Lagian kerjaannya nggak gitu berat. Masih hari pertama juga jadi nggak begitu rame.” jawab Ines yang kini sedang meregangkan otot kakinya setelah beberapa jam berdiri dan melayani beberapa calon pembeli.
“ Nes, gimana kalau kamu beli mobil aja. Ambil yang seri paling lama aja. Yang second hand juga banyak kok. Daripada kamu ribet sama angkutan umum dan kereta, kan bisa sekalian lebih hemat.”
“ Lebih hemat dari mananya? Orang kaya mah beda itung- itungannya.” canda Ines.
“ Ya tapi kan kamu bisa sekalian ngajak Bibi jalan- jalan kalau lagi off.”
“ Nantilah ya, Mel. Aku itung- itung dulu… Ibu udah pernah bilang sih waktu aku kecopetan dulu. Tapi aku masih ngerasa belum mampu aja.”
“ Bisa kok, Nes. Pasti bisa. Nanti aku bantu cariin yang harganya lebih murah tapi kondisinya masih bagus.”
“ Emang ada yang kayak gitu?” tanya Ines dengan polos.
“ Ya adalah… Biar aku minta orang untuk cariin buat kamu. Tenang aja…” jawab Melia dengan yakin karena sudah tahu apa yang akan dilakukannya.
“ Tapi jangan deket- deket ini dulu, Mel. Aku harus terapi Bibi dulu. Uangnya bakalan banyak kepake. Tahu sendiri kan kalau Bibi terapi tuh butuh duit yang lumayan.”
“ Iya… Bulan depan lah sampai mobilnya selesai dibenerin dulu.”
“ Maksudnya?”
“ Maksud aku, sampai aku nemu mobil yang bener dulu. Tuh ada orang yang datang.” ucap Melia yang mencoba mengalihkan perhatian sahabatnya tersebut.
“ Ya udah, aku kesana dulu ya…”
“ Iya…” jawab Melia dengan lega. Beruntung ia tidak keceplosan soal mobil yang ia maksudkan. Mobil yang ingin ia berikan pada Ines dengan harga murah tersebut adalah mobil milik adiknya semasa sekolah menengah atas yang sudah lama tidak terpakai dan hanya menjadi penghuni garasi. Terlebih sejak adik laki- lakinya sekolah di luar negeri dan kedua orang tuanya juga memiliki kendaraan sendiri. Dan tentu saja, semua anggota keluarganya sudah setuju dengan ide Melia tersebut.
“ Maaf ya, Nes. Aku bohongin kamu. Tapi aku janji aku akan jujur kalau kamu udah nyaman sama mobil itu. Aku hanya mau bantuin kamu dan Bibi.” ucap Melia sambil menatap senyum manis sahabatnya tersebut saat melayani sepasang suami istri yang menanyakan soal satu jenis mobil.
***
Sakha memasuki mall besar tersebut setelah memberikan kunci mobilnya pada petugas valet yang sudah mengenalnya. Selain karena memiliki restoran dan butik di dalam mall tersebut, Sakha juga adalah salah satu penghuni apartement yang berada di lantai bagian atas.
“ Selamat siang, pak Sakha.” sapa salah seorang petugas kebersihan yang sering Sakha berikan tip.
“ Siang, Man.” jawab Sakha sambil menepuk pundak Iman dengan sopan.
“ Ada pameran?” tanya Sakha lagi.
“ Iya, pak. Pameran automotif. Mulai hari ini.” jawab Iman.
“ Baiklah. Man, nanti malam, kamu bawa anak istri kamu ke lantai 8. Saya tunggu di restoran.”
“ Saya, pak? Bawa anak istri? Ke restoran bapak?” tanya Iman tak percaya.
“ Ya iyalah. Jangan lupa ya. Saya akan kasih tahu resepsionis kalau kalian akan datang. Saya ke atas dulu.”
“ Ba— Baik, pak. Makasih banyak, pak. Anak istri saya pasti senang.” ucap Iman dengan sumringah dan menatap Sakha yang kini berjalan sambil menerima panggilan teleponnya.
Bagi Iman, Sakha adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup putranya. Meski untuk sebagian orang yang mengatakan Sakha adalah pria yang palyboy dan sombong, namun baginya Sakha adalah orang yang sangat baik. Sakha pernah menolong pembiayaan rumah sakit putranya yang kala itu harus menjalani operasi dan memberikan rumah yang layak untuknya. Hal itu terjadi saat Sakha tidak sengaja mendapati dirinya sedang menangis sesenggukan memikirkan biaya rumah sakit dan kamar kost yang harus dibayarnya dalam jarak waktu berdekatan.
“ Halo, Dam…” jawab Sakha pada teleponnya.
“ Loe dimana?”
“ Baru masuk mall. Loe dimana?”
“ Baru mau jalan. Loe ngundang siapa aja?” tanya Adam.
“ Cewek loe semalam diundang nggak?” ejek Adam yang sudah tahu jika sahabatnya tersebut bahkan tidak pernah tahu siapa nama wanita yang tidur bersamanya. Bahkan semalam, ia langsung meninggalkan wanita tersebut karena Alea sedang demam dan ingin bertemu dengannya.
“ I wish i know her name.” jawab Sakha dengan bercanda.
Sakha kemudian tersenyum pada Melia yang menawarkan brosur miliknya dan kemudian menerimanya sambil melirik pada Ines yang sedang berdiri membelakanginya sambil melayani salah satu calon pembeli. Bukan karena rambut panjang indah ataupun bentuk tubuh Ines yang kali ini menarik perhatiannya, namun karena wanita tersebut adalah satu- satunya yang mengenakan stocking hitam karena rok yang mereka gunakan cukup minim dan ia terlihat tidak nyaman dengan terus menariknya ke bawah.
“ Terima kasih.” ucap Sakha pada Melia.
“ Kalau kamu nggak sibuk, silahkan naik ke lantai 8 nanti malam, ada pembukaan restoran baru. Saya yang traktir.” sambung Sakha.
“ Saya boleh ajak teman? Soalnya dia nggak mau kalau di traktir di tempat mahal. Kalau gratisan, dia pasti mau.”
“ Boleh… Bye.” jawab Sakha lalu kembali berjalan sambil menatap brosur di tangannya dan tersenyum membaca nama dan nomor telepon sales marketing yang tertera.
“ Inessa…” gumam Sakha.