Ines nampak telaten membagikan lembaran- lembaran promosi penjualan mobil keluaran terbaru kepada beberapa pengunjung mall tersebut dengan senyum manis ramahnya. Tak sedikit dari pria- pria yang berkunjung itu hanya sekedar iseng untuk bisa mengobrol dan menatap wajah cantik para saleswomen berbaju merah tersebut meski tidak berniat untuk membeli. Tak jarang pula beberapa diantaranya hanya menginginkan nomor telepon mereka dengan dalih akan mengabari jika sudah membuat keputusan dan mengambil kesempatan untuk mendekati mereka.
Hal yang paling sering terjadi pada mereka, dan termasuk Ines juga tentunya adalah, para pria tersebut akan menelepon, meminta untuk bertemu agar bisa lebih detail dijelaskan soal produk kendaraan mereka, yang nanti akhirnya akan mereka jadikan alasan untuk bisa mengajak mereka kencan. Mungkin bagi sebagian orang, itu sah- sah saja dan tidak ada masalah selama mereka bisa menjual satu atau dua item penjualan. Namun bagi Ines, ia akan menolak ajakan tersebut dengan sopan dan mengatakan jika mereka bisa mendatangi kantor pemasaran dan akan ia layani dengan profesional disana. Meski penjualannya memang selalu lebih sedikit dari yang lainnya karena menerapkan prinsip hidup tersebut, namun Ines masih tetap berpegang teguh selama masih bisa membayar biaya kontrakan rumahnya.
Bukan tanpa sebab Ines menjadi kapok akan hal yang seperti itu. Dulu, saat dimasa awal pekerjaannya dan masih belum mengetahui niat pria- pria tersebut dan malah mengiyakan mereka, ia sempat di labrak oleh istri salah satu calon pembelinya dan menyebutnya pelakor di tempat umum. Hal itu dikarenakan ia mendapati Ines dan pria beristri tersebut sedang makan siang di sebuah restoran hotel. Dan hal itu sangat memalukan baginya meski mereka hanya sebatas makan siang biasa dalam keadaan Ines tidak memakai seragam kerja.
Sejak saat itu, Ines memutuskan untuk tidak lagi mau menerima ajakan apapun di luar jam kerja atau ajakan untuk bertemu di luar kantor jika hal itu berhubungan dengan pekerjaannya.
***
" Nes, nanti malam aku tungguin di lantai 8 ya... Aku dapat traktiran makan." ucap Melia yang mulai merapihkan barangnya karena sudah akan pulang.
" Yang restoran baru buka itu?" tanya Ines.
" Iya. Aku balik ke apartemen dulu dan ganti pakaian. Aku bakalan bawain kamu baju ganti juga kalau mau." jawab Melia.
" Nggak usah, Mel. Lagian dari sini aku langsung pulang aja. Tapi kok kamu pulang ke apartemen? Nggak pulang ke rumah lagi?"
" Nggak dulu lah... Kejauhan aku bolak baliknya. Kamu juga, kalau kecapean, nginap sama aku dulu aja."
" Iya juga sih... Tapi aku kasihan sama ibu dan Bibi. Masa iya mereka hanya berdua."
" Oh iya... Aku hampir lupa. Mama aku mau ngajakin ibu sama Bibi ke acara nikahan sepupu aku di Bali. Ya sekalian jalan- jalan gitu... Kasihan ibu di rumah terus." ucap Melia.
" Ya nggak masalah sih... Tapi... Ya udah deh aku tanya ibu dulu. Setuju atau nggak." jawab Ines yang sebenarnya tidak punya dana cadangan untuk kegiatan tambahan seperti ini. Namun, Melia benar jika ibunya juga mungkin butuh jalan- jalan.
“ Udah… Nggak usah mikirin yang lain. Mama aku dikasih tiket sama sepupu aku itu yang sebenarnya buat aku sama papa juga. Tapi karena papa ada tugas di luar kota jadi ya nggak bisa juga.” jelas Melia yang sudah tahu apa yang sedang sahabatnya pikirkan saat ini.
“ Kamu yakin nggak akan ngerepotin mama kamu?” tanya Ines dengan tidak enak pada Melia.
“ Yaelah, Nes… Macam nggak tahu mama aja. Semakin dia rempong tuh, mama semakin suka. Lagian, mama juga akan ngajak mbak Wiwit. Jadi bisa sekalian bantuin jaga Bibi.”
“ Nanti ya, Mel… Aku tanya ibu dulu.”
“ Ibu mau kok… Orang udah aku kasih tahu sejak kemarin.” ucap Melia sambil menyengir. Ia memang sudah mengabari ibu dari sahabatnya tersebut sejak kemarin dan meminta agar ia mulai menyiapkan perlengkapannya.
“ Kok ibu nggak ngomong ke aku ya?”
“ Ya mungkin nggak enak kalau nanti malah ngebebanin kamu. Makanya nunggu kamu tahu dari aku. Udahlah… Ijinin aja ya ibu pergi sama Bibi.”
“ Tapi aku takut ibu kerepotan. Tahu sendiri Bibi kalau tantrum kayak gimana.”
“ Nes… Nes… Santai aja lagi… Lagian mereka tuh pengen ke Bali doang, bukan mau ke Afrika Selatan atau Korea Utara disono. Cuman beberapa hari juga! Jauh amat pikiran kamu…” protes Melia.
“ Ya udah deh… Aku telepon ibu dulu.”
“ Ya udah… Kalau gitu aku jalan dulu ya. Nanti aku balik lagi. Ingat, nanti malam kita udah di tungguin yang punya restoran.” ucap Melia yang mulai beranjak dari sisi Ines yang ingin menelepon ibunya.
“ Nes, jangan lupa ya… Kali aja orangnya mau beli 3 unit.” ucap Melia dengan menambah volume suaranya sambil melambai.
“ Iya…” jawab Ines sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang sahabat.
“ Halo, bu.” sapa Ines pada ibunya.
“ Iya, ada apa, Nes?”
“ Ibu yakin besok mau pergi sama mamanya Melia?” tanya Ines dengan sopan.
“ Ya mama sih terserah kamu, nak. Mana- mana aja. Kalau kamu nggak ada biaya tambahan—-“
“ Ada kok, bu. Aku hanya takut ibu kerepotan ngurus Bibi.” ucap Ines berkelit.
“ Nggak lah, Nes. Lagian beberapa hari ini Bibi udah lebih anteng.”
“ Maafin Ines ya, bu… Mestinya ibu bisa jalan- jalan dan nggak perlu repot ngurus aku sama Bibi. Mestinya ibu bahagia nikmatin masa tua ibu.”
“ Husshh… Ngomong apa sih, Nes… Nggak ada tuh yang namanya kalian repotin ibu. Ibu malah senang masih bisa sayangin kalian, ngurus kalian. Dan ini kebahagiaan ibu, Nes. Jangan direbut ya… Biarin ibu selalu sama Bibi dan kamu.”
“ Maafin aku, bu.” ucap Ines dengan sendu. Hatinya selalu hancur setiap kali merasa tak berdaya membahagiakan ibu dan putrinya.
“ Sabar ya, Nes… Kamu anak baik, nak. Tapi inilah takdir. Dan semua akan mengarahkan kamu ke hal yang baik. Ada hikmah atas semua kejadian, dan suatu saat kamu akan memetik semua kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu akan datang dari arah yang tidak kamu sangka, nak. Dan saat itu, kamu akan bilang terima kasih pada takdir kamu. Yakinlah, nak…”
“ Makasih, bu… Ines sayang banget sama ibu.”
“ Ibu nenek nais??? Tidak apa- apa. Tidak apa- apa…” imbuh Bibi dengan wajah yang mulai mencebik karena menatap Septi yang nampak mengeluarkan air matanya.
“ Nggak, sayang. Ibu nenek nggak nangis. Ibu nenek minta maaf ya…” ucap Septi sambil mulai membujuk dan menenangkan Bibi yang selalu bisa berubah mood kapan saja secara tiba- tiba.
“ Nes, udah dulu ya… Ibu tenangis Bibi dulu. Kasihan dia kalau udah nangis gini.”
“ Iya, bu… Oh ya bu, siap- siap ya… Ibu sama Bibi boleh kok berangkat ke Bali.”
“ Ya udah… Makasih ya, Nes…”
“ Sama- sama, bu… Ines yang makasih sama ibu.”
“ Udah ah… Ibu mau temanin Bibi dulu.”
“ Iya, bu…” ucap Ines yang kini tersenyum puas karena ia tahu ibunya pasti bahagia saat ini.
“ Nggak apa- apalah uang kontrakan kepake dulu… Nanti pasti aku ada gantinya. Semoga aja… Yang penting mereka bisa jalan- jalan dulu” batin Ines.
***
Ines memasuki restoran besar yang ada di lantai 8 tersebut setelah seorang greeter nampak mengenalinya dan bahkan menyebutkan namanya dengan jelas. Dan meski ia merasa cukup heran, namun akhirnya ia langsung masuk saja karena Melia mengatakan akan sedikit terlambat karena macet dan takut tidak akan mendapatkan tempat nantinya.
Baru saja Ines duduk pada sebuah meja yang disiapkan untuknya, ponselnya berdering dan ia tidak mengenali nomor telepon tersebut namun tetap harus menjawabnya karena itu bisa saja dari salah satu calon pembelinya.
“ Halo, Inessa?” sapa si penelepon.
“ Iya. Maaf dengan siapa?”
“ Saya Sakha. Yang tadi mengundang kamu ke restoran saya. Kamu jadi datang?” tanya Sakha yang baru keluar dari pantry.
“ I… Iya… Saya sudah masuk.” jawab Ines yang lagi- lagi bingung karena ia tidak pernah merasa bertemu dengan pria penelepon tersebut.
“ Bagus. Saya rencananya akan beli satu unit mobil kamu. Tapi nanti saja kita bicarakan. Kamu disebelah mana?” tanya Sakha yang mengedarkan pandangannya mencari keberadaan wanita yang tadi ia temui di main hall mall tersebut.
“ Saya ada di meja 14.” jawab Ines yang kemudian menoleh pada pria tampan yang kini berjalan ke arah mejanya.
“ Selamat malam…” sapa Sakha dengan sopan dan Ines sendiri langsung berdiri sambil memperbaiki rok pendeknya dengan terus menarik ujungnya ke bawah serta menarik lengan cardigan yang ia kenakan.
“ Inessa?” tanya Sakha dengan heran. Pasalnya, wanita yang ada di hadapannya saat ini sangat berbeda dengan wanita yang ia temui sebelumnya.
“ Hmm… Maaf, saya harap kamu nggak tersinggung. Tapi… Apa ada Inessa lain yang bekerja sama kamu. Karena ini—- Ng… Saya—-“ ucap Sakha yang juga kebingungan.
“ Oh itu…! Teman saya. Melia. Dia tadi kehabisan brosur dan pakai brosur saya. Tapi dia akan datang sebentar lagi. Hanya kejebak macet aja. Kalau bapak mau, hmm… Saya bisa tetap akan membantu bapak, tapi selanjutnya akan di handle oleh Melia lagi.” jelas Ines dengan ramah dan masih mencoba menarik rok pendeknya hingga membuat Sakha mengingat wanita yang tadi sempat ia lihat saat memunggunginya.
Sakha lalu tersenyum simpul melihat sikap wanita yang ada di hadapannya saat ini yang nampak salah tingkah dan mencoba meyakinkannya. Tadinya, ia hanya berniat akan menanyakan soal mobil yang ingin ia berikan pada adiknya yang akan berulang tahun tersebut, dan masih akan menimbang- nimbang sambil mencari yang cocok baginya. Namun setelah bertemu Inessa saat ini, ia berpikiran jika ia mungkin saja akan butuh waktu lebih lama dalam menimbang hal tersebut.
“ Nggak masalah. Kamu juga cantik, kok.”
“ Hah? Maksudnya, pak?” tanya Ines dengan heran.
“ Lupain aja… Oh ya, kita belum kenalan. Saya Sakha.” ucap Sakha sambil mengulurkan tangannya.
“ Sakha, sayang…” seru Sonya tiba- tiba yang kini sudah berjalan ke arah mereka berdiri saat ini dengan membawa seorang wanita bersamanya yang Sakha yakini adalah wanita yang akan ia jodohkan dengannya.
“ Oh shittt…!” gumam Sakha yang bisa Ines dengar dan membuat pria tersebut langsung berdiri tepat di sampingnya dan meraih pinggangnya dengan erat.
“ Saya akan beli mobil kamu tapi bantu saya malam ini.” bisik Sakha dengan cepat ke samping telinga Ines dengan begitu dekatnya.
“ Maaf, tolong lepasin saya. Saya mau pulang saja.” ucap Ines dengan mencoba melepaskan rangkulan Sakha dari pinggangnya.
“ Dua. Saya akan beli dua unit mobil kamu.” tawar Sakha yang masih enggan melepaskan Ines karena Sonya sudah semakin dekat.
“ Maaf, ini nggak ada ada hubungannya.”
“ Maaf, sekarang ada. Tolong bantu saya. Saya akan lakukan apapun yang kamu mau.” jawab Sakha yang langsung memeluk Ines dengan erat.