Chapter 2 Ketagihan Membunuh

1115 Kata
Bercak darah dimana mana. Pelaku sulit untuk diidentifikasi oleh polisi. Korban pembunuhan kebanyakan adalah anak sekolah. Ragas bersikap seolah tak terjadi apa apa, dia menjalankan hidupnya seperti orang normal pada umumnya. Melihat gurat senyumnya sebelah kanan menyeringai keatas menyimpan rahasia sifat dirinya yang psikopat. Jangan mengganggunya jika tak ingin mati mengenaskan. Suatu hari ragas bertemu seorang gadis yang sedang duduk di tikar santai sedang membaca buku dengan sebuah headphone di telinganya. Tepat dibawah pohon besar terlihat begitu santai. Ingatlah Psikopat tidak dapat merasakan cinta, lalu ragas mendekati gadis itu dan menyapanya begitu santai. "Hai" kata ragas pada gadis itu Sapaan dari seorang pembunuh berdarah dingin. Sangat mengerikan bila gadis itu tau siapa ragas. Dengan keramahannya membuat gadis itu suka rela membalas sapaannya dengan senyuman yang membuat gingsul yg berada di sebelah kirinya terlihat. Sungguh gadis yang sangat cantik. "Boleh aku bergabung denganmu?" Sahut ragas pada gadis itu "My pleasure" jawab gadis itu sembari menyingkirkan tumpukan buku di sampingnya. Ragas mendekap kedua lututnya seraya duduk sambil menikmati suasana tenang dibawah pohon. Sesaat ragas tersenyum sambil menutup matanya. Kini gadis itu pun melakukan hal yang sama. "Kamu ingin mencoba mendengar musik ini?" Gadis itu menyodorkan headphone yang awalnya dia pakai Ragas mencoba mendengarkan musik yang hanya sebuah instrument piano. Sebuah musik Jhon picabble. Sebuah karya musik yang mampu membuat pendengarnya merasakan emosi dari setiap nada nada yang dimainkan oleh jemarinya yang hebat. "Musik yang tenang" kata ragas menikmati alunan musik. "Kalau boleh tau. Kamu siapa?" Tanya gadis itu pada ragas. "Ragas" jawabnya singkat "Oh. Aku Pamela" sahut gadis itu mengenalkan diri. Pamela gadis yang naif. Dia tinggal hanya dengan ayahnya. Ayahnya seorang dokter hewan yang harus bertugas di klinik hingga Pamela sering menghabiskan waktu nya sendiri. Dirumah Pamela hanya ada suster yang menjaganya. Yah tebakan yang benar, Pamela memiliki penyakit kronis yang begitu langkah. Pengidap penyakit tramandulla asikorfazo. Sebuah penyakit yang membuat penderitanya tiba-tiba buta sesaat. Saat ini belum ada obatnya. Ada kemungkinan besar penyakit Pamela karena guncangan kehilangan ibunya. Hingga Pamela sering berobat ke psikiater. Sungguh gadis yang malang, kecantikannya tak bisa membuatnya memilih untuk hidup seperti apa kedepannya. Pamela gadis yang kuat, hingga saat ini ia percaya akan ada keajaiban yang datang suatu saat nanti. Gadis yang ceria itu hanya memiliki keyakinan yang kuat didalam dirinya. "Baiklah Pamela sampai jumpa" sahut ragas pergi meninggalkan Pamela Entah apa yang dipikirkan ragas saat ini. Apakah ragas berencana membunuh Pamela juga. Dari raut wajahnya yang normal seperti lelaki pada umunya terlihat tidak mungkin. Seorang psikopat tak bisa di tebak jalan pikirannya. Hari berganti malam, dirumah Pamela yang mendadak listrik padam membuat Pamela sulit bernafas. Pamela memanggil manggil suster tetapi tidak ada jawaban. Ayah Pamela tidak pulang hari ini karena bertugas di luar kota. Pamela begitu ketakutan, dirinya hanya miliknya saat ini. Hanya dirinya yang bisa menghilangkan rasa takutnya. Pamela mencoba meraba setiap langkah yang diambilnya. Dari lantai dua Pamela menuruni anak tangga satu persatu di gelap nya suasana. Hingga sampai dilantai dasar Pamela mencoba berjalan meraba dengan kedua tangannya sambil memanggil suster. Hal yang sama juga terjadi, tidak ada balasan dari panggilannya. Pamela mencoba berjalan menuju dapur dan mencari keberadaan lilin yang biasa disimpan dilaci atas. Langkah Pamela membuatnya tersandung beberapa benda yang telah ia lewati. Dengan susah payah akhirnya Pamela menemukan lilin. Lalu Pamela mencoba berjalan kesisi kompor dan menyalakan api kompor untuk menyalakan lilin yang ada di genggamannya. Dengan nafas yang masih ketakutan, pamela menerangi jalannya dengan lilin yang telah di bawanya. "Suster.... Sus..." Panggil Pamela tanpa jawaban " Kemana sih suster" tanyanya sendiri untuk meredam rasa takutnya. Sebuah suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar, Pamela melihat dan menerangi kearah suara tersebut. Dengan penuh rasa takut, Pamela melangkahkan kaki semakin mendekat ke arah pintu itu. Sebuah ruangan yang biasa dipakai ayah Pamela bekerja. Kakinya gemetaran dan Pamela terlihat memucat ketakutan. Pamela membuka pintu dan masuk kedalam ruangan tersebut. "Aaaaaaaa......." Teriak pamela melihat suster yang tak lagi bernyawa. Terduduk menghadap kearah pintu yang pada saat itu Pamela berdiri tepat menghadapnya. Jari jemari suster yang sudah tersebar di lantai hingga lidah yang ditemukan di atas meja kerja membuat Pamela lari ketakutan ke luar ruangan itu. Pamela berlari kelantai atas kembali kekamarnya. Pandangannya kabur tak melihat apapun. Cahaya lilin kini tak lagi mampu menerangi jalannya dengan apa yang terjadi pada Pamela saat ini. Pamela tetap berusaha dan akhirnya sampai didalam kamarnya. Kini Pamela mencoba langsung mengunci rapat kamarnya dan mencari keberadaan ponsel nya saat ini. Dengan keadaan pucat, Pamela mencoba mencari keberadaan ponselnya. Sebuah tarikan paksa engsel pintu terdengar dari luar kamar Pamela. Kini Pamela semakin gemetaran dan ketakutan. Ia begitu takut jika sosok yang saat ini berada diluar akan mengambil nyawanya juga. Saat Pamela menemukan ponsel, ia mencoba memanggil ayahnya melalu panggilan darurat yg langsung tertuju ke ayahnya. Panggilan pertama tidak kunjung di angkat. Begitu juga pada panggilan yang kedua. Dan ketika panggilan ketiga, Pamela langsung mengatakan dengan berbisik dan terbata bata menjelaskan kondisinya saat ini. "Ha halo ayyah. Pu pulang lah ayah. A ada pe pembunuhan dirumah kita" jelas Pamela dengan isakan tangis ketakutan. Apa yang harus Pamela lakukan saat ini tidak ada, karena panggilan ketiga hanya berbentuk pesan panggilan. Ia berharap ayahnya mendengar pesan nya dan segera menolongnya. Pintu itu masih saja bersuara. Pamela yang meringkuk ketakutan di atas tempat tidurnya kini berinisiatif untuk membendung pintu itu dengan barang barang di kamarnya. Pamela menggerakkan lemari kayu dua pintu miliknya ke arah pintu dengan sekuat tenaga. Dan beberapa barang lainnya yang mampu membuat si pembunuh itu tak mungkin bisa memasuki kamarnya. Tetap saja Pamela merasa cemas karena saat ini nyawanya sedang terancam. Mungkin saja keesokan hari ia sudah berada di surga bersama ibunya. Meski ia sangat ingin menemui ibunya yg telah meninggal, Pamela tidak pernah sekalipun ingin melihat ayahnya menangis sedih karenanya. Malampun berganti pagi, pembunuh itu sepertinya kehabisan akal untuk memasuki kamar Pamela. Suara serinai mobil polisi yang bersahutan membangunkan Pamela yang terlelap karena ketakutan. Tak lama kemudian para polisi mencoba memanggil Pamela dari luar kamarnya. Pamela berusaha memindahkan kembali barang-barang yang menghalangi pintu. "Apa kamu baik baik saja" suara ayah Pamela dari luar terlihat begitu panik "Ayahhhh..." Panggil Pamela sambil menangis memindahkan barang. Setelah pintu terbuka Pamela dipeluk dan dicium oleh ayahnya melepas ke khawatirannya selama menerima pesan dari anaknya. "Syukurlah, ayah sudah memikirkan hal buruk terjadi saat ayah tiba. Tapi syukurlah kamu selamat" sahut ayah kembali memelukku "Ayah, ada ada mayat di ruang kerja ayah" kata Pamela sambil menangis "Iya nak, polisi segera memeriksa" kata ayah Pamela menenangkannya. Ruangan itu saat ini digarisi polisi, begitu juga tim forensik yang mencoba mengidentifikasi jasad dan mencari sidik jari pelaku membuat rumah Pamela kini di kosongkan. Pelaku pembunuhan itu berhasil pergi setelah gagal menempatkan kan sasaran kedua yaitu Pamela. Kini Pamela dan ayahnya keluar beriringan dengan mobil polisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN