TERMINAL BUS

1566 Kata
Angin malam Sragen yang dingin menyambut Yuni begitu pintu mobil Demio tertutup dengan bantingan keras. BRUKKK. Suara itu seakan menggemakan kekesalannya yang memuncak. Ia tidak peduli dengan kekhawatiran Demio. Yang ia inginkan hanyalah menjauh, sejauh mungkin dari kota itu. Kota dimana dia selalu mendapatkan sebuah cemoohan dan hinaan dari orang kaya di pesantrennya. ​"Makasih Mas..!" ​Sebuah ucapan terima kasih yang kaku dan tergesa, bahkan tanpa menoleh sedikit pun. Yuni langsung membalikkan badan dan mempercepat langkahnya, seolah ada bom waktu yang siap meledak jika ia berlama-lama di sana. Terminal. Tempat tujuannya adalah terminal. Ia berharap masih ada bus malam terakhir yang bisa membawanya entah kemana. Yang penting, pergi. ​Kakinya melangkah dengan cepat di trotoar yang remang-remang. Lampu jalan yang berkedip-kedip seakan ikut menari dalam irama kegelisahannya. Ia memasuki gerbang terminal yang terbuka lebar, namun suasana di dalamnya jauh dari bayangannya. Sunyi. Sangat sunyi. Hanya ada deretan bangku besi kosong, beberapa lapak pedagang yang sudah tutup, dan beberapa bayangan panjang yang diciptakan oleh lampu sorot yang terlalu terang di beberapa sudut. ​"Gimana nih??! Sudah sepi begini. Bus malam pasti sudah berangkat semua," gumam Yuni dengan nada putus asa. ​Ia berhenti di tengah area parkir bus yang luas, memandang seandainya ada satu saja bus yang masih menyalakan mesin. Nihil. Ia hanya melihat punggung-punggung bus yang tampak seperti monster raksasa yang tertidur. Keheningan itu mencekam. Ini bukan lagi terminal yang ramai, ini adalah kuburan kendaraan. Yuni maaih bingung akan kemana. ​Yuni menoleh ke belakang, ke arah gerbang. Samar-samar ia melihat mobil Demio masih terparkir. Sebuah refleksi dari kaca spion Demio menangkap cahaya bulan. "Mengapa dia belum pergi?" batin Yuni, makin kesal. "Apa dia mengikutiku? Dasar orang gila!" ​Ia memutuskan untuk bersembunyi di balik tumpukan kardus bekas di dekat loket tiket yang sudah tutup. Ia meringkuk, memeluk lututnya, mencoba mencari kehangatan dari udara malam yang semakin menusuk. Kota Sragen mulai menunjukkan udara yang dingin. Rasa takut mulai merayapi hatinya, bukan karena sendirian, tapi karena kesadaran bahwa ia tidak punya tujuan dan kini terperangkap di tempat yang sepi. Di mana tempat itu tidak ada satupun manusia yang hidup. ​Tiba-tiba, ia mendengar suara. Bukan suara bus, melainkan suara tawa. Tawa yang keras, serak, dan terdengar sedikit... gila. Yuni terkesiap dan kaget mendengar derap.langkah mereka. ​"Heh, lihat! Ada 'anak hilang' di sini!" ​Jantung Yuni langsung berdegup kencang. Ia mendongak, matanya yang lebar mencari sumber suara. Di bawah cahaya lampu sorot yang buram, ia melihat tiga sosok pria. Pakaian mereka lusuh, wajah mereka tirus, dan dari gerak-gerik mereka yang oleng, ia tahu, mereka mabuk. Mereka preman yang sellau ​"Wah... lihat gadis kecil ini. Sendirian di terminal sepi. Mencari tumpangan, Nona?" tanya pria yang paling tinggi, dengan suara yang dipenuhi ejekan. Aroma alkohol dan rokok langsung menyengat hidung Yuni. Yuni sangat ketakutan saat itu. ​Yuni gemetar. Ia mencoba berdiri, kakinya terasa kaku. "Jangan mendekat!" serunya, suaranya bergetar, lebih terdengar seperti bisikan memohon. Dirinya tak tahu lagi akan berbuat apa? ​"Oh... dia galak banget bro! hahahahaha,. Aku suka yang galak," sahut pria di tengah, yang memiliki bekas luka melintang di pipinya. Ia menyeringai, memperlihatkan gigi yang kotor. ​"Kalian mau apa? Pergi! Aku akan berteriak!" ancam Yuni, meskipun ia tahu, teriakannya tidak akan didengar siapapun di keheningan terminal itu. ​Pria tinggi itu tertawa terbahak-bahak. "Teriaklah, Sayang. Di sini yang dengar hanya bus-bus tua ini. Atau... kau mau aku yang membuatmu berteriak? Teriak enak dong? Hahaha..!" ​Mereka mulai bergerak, langkah mereka goyah namun cepat. Yuni panik. Ia membalikkan badan, mencoba lari ke arah gerbang, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat pria ketiga, yang sedari tadi diam, sudah berdiri di jalan keluar. Dia terperangkap. Dia sudah tak tahu lagi akan kabur kemana? ​"Mau kemana, manis? Pesta baru saja dimulai," kata pria berbekas luka itu, menarik lengan Yuni dengan kasar. Cengkeramannya kuat, kuku-kukunya terasa tajam menembus kulitnya. ​"Lepaskan aku! Dasar b***t!" Yuni meronta-ronta, ia menendang dan memukul dengan sekuat tenaga, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan tiga pria yang mabuk dan penuh nafsu. ​"Lawan! Lawan terus! Aku suka perlawananmu ini!" ujar pria tinggi, ikut memegang lengan Yuni yang satu lagi, sementara pria ketiga mendekat, tangannya sudah mulai menjelajahi tubuh Yuni dengan gerakan menjijikkan. ​Air mata Yuni langsung membanjiri pipinya. Perasaan dihina, dicaci, dan ditindas di pesantren tiba-tiba terasa tidak berarti. Ini jauh lebih buruk. Ini adalah akhir. Ia berteriak sekuat tenaga, sebuah jeritan pilu yang memecah keheningan. ​"TOLONG!!! LEPASKAN AKU!!!" ​Kepala Yuni dihempaskan ke tembok oleh pria berbekas luka. BRUKK Rasa sakit yang tajam membuat pandangannya berputar. Sebuah tangan kasar membekap mulutnya. ​"Diam! Jangan buat ribut, jalang!" bentak pria itu. "Tau kamu akan mati menjadi mayat tak dikenal!" ​Tubuh Yuni ambruk. Ia merasa tubuhnya ditarik, diseret ke balik deretan bus. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia mencoba melawan, menampar, menggigit, tetapi tenaganya habis. Ketakutan itu melumpuhkan semua inderanya. *** ​"Eh buset itu cewek, lagi PMS kali ya??" Demio menggelengkan kepalanya melihat tingkah Yuni yang aneh. Baru saja berterima kasih, sedetik kemudian membanting pintu dan ngomel-ngomel. ​Tapi, ada sesuatu yang mengganggu Demio. Instingnya, entah kenapa, pasti ada yang tidak beres. Terminal itu terlalu sepi. Bahkan untuk ukuran Sragen yang tidak metropolitan, terminal malamnya tidak pernah sesepi ini. ​Demio mematikan mesin mobilnya. Ia keluar, mengunci mobil, dan berjalan cepat ke arah gerbang terminal. "Biarlah, cuma memastikan saja. Kalau dia sudah naik bus, aku langsung pulang," pikirnya kepada Yuni. ​Ia masuk ke dalam terminal. Keheningan yang luar biasa langsung menyambutnya. ​"Yuni? Kamu di mana?" panggilnya pelan, tidak ingin membuat dirinya tampak seperti orang bodoh yang mencari musuhnya. ​Tidak ada jawaban, hanya sunyi dan sepi yang menyergap malam itu. ​Demio berjalan ke arah loket-loket tiket. Ia melihat tumpukan kardus bekas. Tidak ada siapa-siapa. Ia berjalan lebih dalam, ke area parkir bus. Hening. Hanya ada suara angin malam. ​Tiba-tiba, telinganya menangkap sebuah suara. Samar-samar. "TOLONG!!! LEPASKAN AKU!!!" ​Suara itu serak, putus asa, dan sangat familiar. Suara Yuni! ​Jantung Demio langsung mencelos. Tanpa berpikir dua kali, ia berlari kencang menuju sumber suara, yang tampaknya berasal dari balik bus-bus di ujung sana. ​"Yuni!" teriaknya. ​Begitu ia memutari badan bus, pemandangan di depannya membuat darah Demio mendidih. Tiga pria, dua di antaranya sedang menahan tubuh Yuni yang sudah lemas dan meronta-ronta. Yuni sudah dalam keadaan terdesak, matanya terpejam, dan air mata mengalir deras membasahi pipinya. ​"HEI! LEPASKAN DIA, b******k!" teriak Demio. Suara baritonnya yang keras dan penuh amarah menggema, mengagetkan ketiga pria itu. ​Ketiganya menoleh. Pria berbekas luka mendengus kesal. "Siapa lagi ini?! Urus urusanmu sendiri!!!" ​"Dia tunanganku! Berani kalian menyentuhnya, aku pastikan besok kalian ada di sel! Polisi Sragen kenal baik denganku!" gertak Demio, sebuah kebohongan yang efektif mengingat reputasinya di Solo dan Sragen. ​Pria tinggi itu tertawa sinis. "Tunangan? Kamu mau ngapain di terminal? Lari sana, sebelum kami robek-robek wajah sok tampanmu itu!" ​Demio tidak bicara lagi. Ia tidak punya waktu untuk bernegosiasi dengan sampah masyarakat yang mabuk. Ia langsung mengambil langkah besar, dan tinju kanannya yang keras menghantam rahang pria tinggi. BUGGH! ​Pria itu terhuyung, cengkeraman pada Yuni terlepas, dan ia jatuh tersungkur, mengerang kesakitan. ​"Sialan!" umpat pria berbekas luka. Ia mendorong Yuni hingga gadis itu terlepas, dan ia mengeluarkan pisau lipat karatan dari sakunya. ​"Kau mau mati, hah???" desisnya, mengayunkan pisau itu secara asal. ​Demio menghindar dengan cepat. Ia adalah seorang pebisnis, bukan petarung jalanan, tetapi ia pernah belajar bela diri. Demio menendang pergelangan tangan pria itu. Pisau itu jatuh ke lantai dengan bunyi KLONTANG. ​Pria itu terkejut. Belum sempat ia bereaksi, Demio sudah meninju perutnya dengan keras. BUGH! Pria itu terbatuk, dan Demio langsung menyeretnya, membenturkan kepalanya ke badan bus yang terparkir. Ia langsung lemas, tidak sadarkan diri. ​Pria ketiga, yang tadinya terdiam, kini mulai bergerak. Ia berlari ke arah Demio. Demio melayangkan satu tinju lagi, namun ia sempat oleng. Pria itu menubruk Demio, dan keduanya bergumul. ​"Lepaskan aku! b******n!" Demio mencoba melepaskan diri. ​Saat sedang bergumul, tiba-tiba terdengar suara rintihan pelan. Demio menoleh. Yuni. ​Yuni, yang terdorong jatuh, kini sudah tergeletak tak berdaya. Kepala gadis itu kembali terbentur beton saat didorong. Ia tidak bergerak. Pingsan. ​Melihat Yuni yang tak berdaya membuat amarah Demio memuncak. Ia mengumpulkan semua tenaganya, mendorong pria yang menindihnya, dan menggunakan kakinya untuk menendang d**a pria itu sekuat tenaga. BRAK! Pria itu terbang beberapa meter, jatuh di atas pria tinggi yang baru saja mencoba bangkit. Keduanya kembali tak berdaya. ​Demio tidak memedulikan mereka lagi. Ia segera berlari menghampiri Yuni. ​"Yuni! Yuni! Bangun!" panggil Demio, menepuk-nepuk pipi Yuni dengan lembut. ​Wajah Yuni pucat pasi, dan ada sedikit darah mengering di pelipisnya. Nafasnya pendek-pendek. Baju sedikit kotor dan kusut. Matanya tertutup rapat. Gadis itu benar-benar tidak sadarkan diri. ​Demio melihat ke sekeliling. Tiga pria mabuk itu sudah terkapar, namun ia tahu mereka bisa sadar sewaktu-waktu. Tidak ada waktu untuk menunggu polisi, dan Yuni membutuhkan pertolongan medis segera. ​Dengan hati-hati, Demio mengangkat tubuh Yuni. Gadis itu sangat ringan, hampir tidak berbobot. Ia memeluk Yuni erat-erat, berjalan cepat menuju mobilnya. ​"Bertahanlah, Yuni. Aku akan membawamu ke tempat yang aman," bisik Demio, suaranya dipenuhi ketakutan dan rasa bersalah. Andai saja ia tidak membiarkan Yuni pergi sendirian. Andai saja ia lebih mendengarkan instingnya. ​Ia membuka pintu belakang mobil Demio dengan hati-hati, menidurkan Yuni di jok belakang. Ia menyalakan mesin, dan meninggalkan terminal yang sunyi itu dengan kecepatan tinggi. BERSAMBUNG YA GUYS #bagaimanadenganyunidandemio
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN