TANGGUNG JAWAB

1064 Kata
Di dalam mobil, Demio terus memandangi Yuni dari kaca spion. Ia melihat wajah damai Yuni yang pucat, seolah semua penderitaan dan penghinaan telah hilang, digantikan oleh ketenangan. ​"Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit, nanti masalahnya jadi panjang. Aku harus membawanya ke rumahku dulu," putus Demio. ​Ia memutar stir mobilnya, mengarahkan mobil ke jalan tol menuju Solo. Rumahnya adalah tempat teraman yang ia tahu. Sebuah rumah yang kecily dan sepi, jauh dari hiruk pikuk kota. ​Sepanjang perjalanan, Demio terus berbicara dengan Yuni, meskipun gadis itu tidak bisa mendengarnya. ​"Yuni, aku minta maaf. Aku tidak seharusnya membiarkanmu pergi. Kau harus tahu, tidak semua laki-laki itu jahat. Aku... aku akan melindungimu. Aku janji." Entah kenapa Demio sangat kasihan kepada Yuni dan merasa bersalah karena telah membiarkan wanita itu turun sendirian di terminal tadi. ​Tiba di Solo, Demio menghentikan mobilnya tepat di halaman rumah mungilnya itu. ​Ia membawa Yuni masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu ada dua kamar, Satunya adalah kamar tamu yang memang kadang kedua orang tuanya datang ke sana untuk menginap. ​Demio meletakkan Yuni dengan lembut di ranjang king size di kamar tamu. Ia segera berlari ke kamar mandi, mengambil kotak P3K. ​Ia kembali, duduk di tepi ranjang. Tangannya gemetar saat ia mulai membersihkan darah kering di pelipis Yuni dengan kapas yang dibasahi alkohol. ​"Astaga, Yuni... luka ini tidak dalam, tapi... kamu pasti kesakitan," bisiknya. ​Ia mengganti kompres di kepala Yuni. Ia melihat ada memar samar di lengan Yuni, tempat pria-pria itu mencengkeramnya. Hati Demio sakit. Ia merasa marah dan tak berdaya. ​Setelah selesai membersihkan dan membalut luka, Demio menyelimuti Yuni. Ia duduk di kursi samping ranjang, menatap wajah polos itu. ​"Tidurlah, Yuni. Kamu aman sekarang. Aku ada di sini. Kamu tidak akan pernah sendirian lagi. Tidak akan pernah," janji Demio. ​Demio mengambil selimut, bersandar di kursi. Ia tahu malam ini ia tidak akan tidur. Ia akan menjaga Yuni, gadis yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya hari itu, gadis yang ia selamatkan dari kegelapan terminal. ​Cahaya fajar mulai menyusup dari jendela kamarnya. Demio masih terjaga, matanya terus menatap wajah Yuni yang damai dalam tidur. Kehidupan Demio, ​Tiba-tiba, Yuni bergerak. Matanya yang indah perlahan terbuka. Ia menatap langit-langit yang asing, lalu matanya terpaku pada Demio yang duduk di sampingnya. ​"Mas... Mas Demio..." lirih Yuni, suaranya serak. Ia mencoba bangun tapi badannya sakit semua. ​"Jangan bergerak, Yuni. Kamu aman. Kamu sekarang di rumahku," kata Demio lembut. ​Yuni memandang sekeliling, lalu kembali menatap Demio. Air mata kembali membanjiri matanya. Ia ingat semua yang terjadi. Ia ingat kekerasan, ketakutan, dan... wajah Demio. ​"Kenapa... kenapa kamu menolongku, Mas?" tanyanya, air mata mengalir ke bantal. ​Demio mendekat, memegang tangan Yuni dengan lembut. "Karena kamu memang butuh pertolongan! Jadi jangan punya pikiran macem-macem ya! untung saya datang tepat waktu, kalau tidak bisa bahaya deh!" ​Yuni terdiam, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yuni merasa... dilindungi. Bukan oleh takdir, tapi oleh seorang pria yang sudah menabraknya di pinggiran sawah itu. ​Ia tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan kelelahan dan rasa sakit mengambil alih. Fajar telah tiba, tetapi bagi Yuni, hari terasa sangat panjang dan melelahkan. Ia memejamkan mata, membiarkan kehangatan selimut memeluk tubuhnya. ​Yuni membuka matanya lagi, kali ini untuk mengamati Demio. Pria itu masih di sana, duduk dengan mata merah karena kurang tidur. Demio, dengan kaus putih biasa yang sedikit kusut dan rambut yang acak-acakan, tampak lebih manusiawi, hanya pria biasa yang tinggal di sebuah rumah kecil. ​"Mas..." Yuni memanggilnya lagi, suaranya kini sedikit lebih kuat. ​Demio langsung meraih tangannya lagi, tatapannya penuh kekhawatiran. "Ya, Yuni. Ada yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?" Yuni melepas pegangan tangan Demio. Dia sangat risih ketika Demio memberikan perhatian yang lebih. ​Yuni menggeleng pelan. "Aku... di mana ini? Dan kenapa..." Ia berhenti sejenak, menatap memar samar di lengannya yang tertutup perban. Kejadian di terminal seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Rasa jijik dan takut itu kembali menyergapnya. ​"Sstt... jangan dipikirkan. Kamu aman di sini. Ini rumahku, di Solo," kata Demio, "Aku sudah membersihkan lukamu. Tidak ada yang serius, hanya memar dan sedikit luka di pelipis. Kamu aman sekarang, Yuni." ​Yuni menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan tiga wajah b***t itu. Air matanya kembali menggenang. "Kenapa... kamu kembali? Seharusnya kamu biarkan aku pergi saja, Mas. Aku ini hanya merepotkan. Hanya... orang miskin yang kabur dari Pesantren." ​Demio terdiam sejenak kemudian berdiri dan berjalan ke jendela besar, menatap keindahan kota Solo dari ketinggian. Punggungnya yang tegap memancarkan beban pikiran yang berat. ​"Aku kembali karena... aku merasa bertanggung jawab," ujar Demio tanpa menoleh. "Aku tahu kamu kesal denganku yang sudah menabrakmu tadi malam.Tapi aku juga tahu, kamu kabur bukan tanpa alasan. Kamu kabur karena kamu tertindas, sama seperti yang terjadi di terminal tadi. Dan aku... tidak bisa membiarkannya." ​Ia berbalik, berjalan kembali ke tepi ranjang, dan duduk lagi. Tatapannya lurus, dingin, namun ada kejujuran yang terpancar dari matanya. ​"Tadi malam, kamu bahkan hampir diperkosa. Jika kamu melapor ke polisi, prosesnya akan panjang, dan media akan mengorek-ngorek segalanya. Termasuk alasanmu kabur dari pesantren." jelas Demio. ​Yuni terkejut. "Aku... aku tidak memikirkan sejauh itu," bisiknya, merasa bodoh dan ceroboh. Ia hanya memikirkan kebebasan, bukan konsekuensi hukum. ​Yuni mencerna semua itu. Otaknya yang lelah bekerja keras. Semalam, ia kabur karena ingin bebas dari penindasan di pesantren. ​Yuni menatap mata Demio. Di sana, ia melihat bayangan dirinya sendiri yang kecil dan rapuh. Ia menyadari kebenaran ucapan Demio. "Kamu mau makan? Lapar? Tapi aku mau sholat dulu ya. Kamu sholat nggak?" Demio keluar dari dalam kamar itu. Yuni berusaha bangun dan mau mandi dulu kemudian akan sholat subuh yang sedikit terlambat. Demio masuk kembali ke kamar itu, Yuni masih duduk di pinggir kasur. Dia masih terasa pusing kepalanya ​"Oh ya, Yuni. Soal pakaianmu... sudah aku siapkan satu set baju ganti di kamar mandi. Kamu bisa membersihkan diri jika sudah merasa kuat. Kamar ini terhubung dengan kamar mandimu sendiri. Jangan khawatir." ​Pintu tertutup. Yuni ditinggalkan sendirian di kamar kecil itu. Ia menyentuh perban di pelipisnya. Keheningan kamar itu kini terasa damai, bukan mencekam seperti di terminal. ​Ia memaksakan diri untuk bangun. Begitu ia berdiri di depan cermin besar, Yuni melihat pantulan dirinya. Seorang gadis berusia 19 tahun, dengan mata sembab, baju kusam, dan ekspresi ketakutan yang mendalam. BERSAMBUNG YA GUYS
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN