Yuni berjalan ke kamar mandi, membuka pintu. Di gantungan, tergantung sebuah daster sutra berwarna biru lembut yang terasa dingin di kulitnya. Sebuah handuk bersih, dan di samping wastafel, ada sikat gigi baru dan sabun wangi yang mahal.
Yuni menyentuh daster itu. Ia melepaskan baju yang penuh debu dan bau. Begitu air hangat mengguyur tubuhnya, Yuni tidak bisa menahan tangisnya. Ia menangis terisak, bukan karena rasa sakit fisik, tapi karena luapan emosi dan trauma. Ia mencuci bersih tubuhnya, seolah mencuci semua kesialan dan penindasan yang menempel padanya.
Setelah berpakaian dengan daster sutra itu, Yuni kembali ke ranjang. Ia merasa lebih ringan dan bersih. Dinding-dinding kamar itu terasa seperti benteng yang kokoh, melindunginya dari dunia luar.
Ia kembali berbaring, mencoba memejamkan mata. Tak lama kemudian, pintu diketuk.
"Yuni? Aku bawakan sarapan." Suara Demio terdengar dari luar.
"Masuk, Mas," jawab Yuni.
Demio masuk membawa nampan berisi bubur ayam, segelas air hangat, dan obat. Di wajahnya, kini terpancar senyum lega.
"Makan ini. Kamu harus kuat...," katanya, meletakkan nampan itu di meja samping ranjang.
Yuni menatap bubur itu, air liurnya menelan. Ia sangat lapar.
"Terima kasih, Mas," ucapnya. Kalimat itu terasa tulus, berbeda dengan ucapan terima kasihnya yang terpaksa di terminal tadi malam.
"Sama-sama. Sekarang makan. Setelah itu minum obat. Aku akan ada di ruang sebelah. Jika kau butuh apapun, panggil saja....," ujar Demio.
Ia berbalik, hendak keluar, tetapi Yuni memanggilnya lagi.
"Mas Demio?"
"Ya?"
"Tadi malam... terima kasih sudah menyelamatkanku."
Demio menatap Yuni, sebuah kilatan emosi melintas di matanya. Ia hanya mengangguk pelan, tanpa kata.
"Makanlah, Yuni," ulangnya, lalu menutup pintu.
Yuni menatap pintu yang tertutup.
***
Udara di kontrakan kecil Yuni terasa tipis dan tegang, lebih dingin dari suhu pagi di bulan Oktober. Di ruang tamu berukuran 3x3 meter itu, sepasang mata tajam meneliti setiap sudut—mata Pak Kusumo dan Bu Laksmi, orang tua Demio, yang kehadirannya tiba-tiba terasa seperti gempa kecil.
"Demio! Apa-apaan ini?" Suara Pak Kusumo, yang biasanya berwibawa, kini terdengar penuh kemarahan yang tertahan. Matanya menyapu Yuni, yang masih pakai baju daster sutera yang diberikan oleh Demio. Gadis itu berdiri kaku, menggenggam erat ujung dasternya tubuhnya gemetar bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang mencekik.
"Ayah, Ibu, ini bukan seperti yang kalian pikirkan," Demio mencoba menengahi. Ia tahu ia harus hati-hati. Keinginannya untuk menyamar sebagai cleaning service sudah di ujung tanduk karena kecerobohan malam itu.
Bu Laksmi maju selangkah, menatap Yuni dengan pandangan yang sulit diartikan—campuran rasa kasihan, terkejut, dan sedikit tuduhan. "Tidak seperti yang kami pikirkan? Lalu, apa yang harus kami pikirkan, Demio? Kami datang dari Solo hanya untuk mencari tahu bahwa putra kami, pewaris tunggal keluarga Kusumo, menabrak seorang gadis santriwati di jalanan Sragen dan membawanya ke rumah kontrakan kecil ini?" Pak Kusumo terlihat marah.
"Kami keluarga terhormat, Demio! Kami keluarga yang berpegangan pada ajaran agama dan tata krama! Apalagi kamu juga terlihat baik selama ini. Berita ini... jika menyebar, akan merusak semua!" Pak Kusumo menggebrak meja kayu kecil di hadapannya.
BRAAAKKK
Demio menghela napas berat. Inilah inti masalahnya. Bukan hanya soal moral, tapi soal nama baik dan jaringan bisnis keluarga yang memang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh terpandang dari lingkungan pesantren.
"Ayah, Ibu, percayalah. Kami baru bertemu tadi malam. Ini murni kecelakaan. Aku sudah bertanggung jawab atas luka yang Yuni derita...," jelas Demio, mencoba bersikap rasional.
"Bertanggung jawab? Bagaimana kamu bertanggung jawab? Gadis ini sudah tinggal satu atap denganmu semalaman. Di rumah kecilmu ini! Demio, kamu tahu betul prinsip keluarga kita. Kami tidak akan membiarkan nama baikmu hancur hanya karena kamu ingin menjadi pelayan di perusahaanmu sendiri," desis Bu Laksmi, menggunakan nada penuh penekanan pada kata 'pelayan'.
Kemudian, mata Pak Kusumo beralih ke Yuni. "Nak, kamu santriwati, kan? Tentu kamu mengerti bagaimana pandangan masyarakat terhadap kehormatan seorang gadis. Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Kembali ke pesantren itu?"
Yuni mengangkat wajahnya. Air matanya sudah kering. "Saya... saya tidak bisa kembali ke sana, Pak. Saya kabur," jawabnya jujur, suaranya pelan nyaris seperti bisikan. Dia tak akan membiarkan dirinya dihina lagi.
Wajah Pak Kusumo mengeras. Itu adalah jawaban yang memperparah situasi. Seorang santriwati yang kabur dan ditemukan di rumah seorang pria. Sebuah skandal yang sempurna.
"Tidak ada pilihan lain, Demio," putus Pak Kusumo, suaranya dingin dan mutlak. "Kamu harus menikahinya."
Demio terkejut. "Menikah? Ayah! Aku bahkan tidak mengenalnya! Kami baru saja bertemu tadi malam, kami..."
"Itu konsekuensinya! Kami tidak menerima tawar-menawar! Kamu sudah membawa aib bagi nama Kusumo, dan kamu harus membersihkannya dengan pernikahan. Paling tidak, ini akan menyelamatkan kehormatan gadis ini dan nama baik keluarga kita di kalangan mitra-mitra bisnis dari keluarga santri itu. Kita akan adakan akad nikah sesederhana mungkin, di rumah ini juga, sekarang juga. Setelah itu, kalian akan tinggal di Solo, di rumah yang akan kami siapkan. Dan... pernikahan ini hanya akan menjadi sandiwara sampai kami melihat situasi mereda. Kamu akan menikahinya di mata hukum dan agama, tapi hanya untuk menutup mulut orang."
Pak Kusumo menoleh ke Bu Laksmi. "Telepon Kyai Sulaiman. Katakan kita butuh beliau datang sekarang juga untuk menjadi wali hakim bagi gadis ini. Dan suruh pengacara kita membawa surat-surat yang diperlukan."
Semua keputusan diambil dalam sekejap, tanpa diberi ruang untuk membantah. Yuni hanya bisa menunduk, merasakan takdir yang baru saja dipaksakan padanya. Melarikan diri dari penderitaan di pesantren hanya membawanya ke dalam penderitaan yang lebih besar: pernikahan tanpa cinta, sebuah sandiwara yang ia tak tahu bagaimana cara memainkannya.
Sementara itu, Demio menatap Ayahnya dengan kekecewaan yang mendalam. Penyamarannya hancur, kebebasannya direnggut. Ia, Tuan Muda dari Solo, kini harus menikahi seorang gadis yang bahkan ia tak tahu nama lengkapnya, hanya demi menjaga citra keluarga yang sangat menjunjung tinggi nama baik di mata komunitas santri.
Di tengah keheningan, terdengar Bu Laksmi berbisik kepada putranya, "Ingat, Demio. Pernikahan ini palsu, tapi sakral di mata Tuhan. Jaga gadis ini sampai sandiwara ini selesai."
Dalam waktu kurang dari dua jam, sebuah akad nikah darurat dilakukan di rumah kontrakan yang sempit itu. Di saksikan oleh orang tua Demio, dua saksi yang didatangkan terburu-buru, dan seorang Kyai yang keheranan. Yuni, dengan hati yang hampa dan suara yang bergetar, mengucapkan kata 'Ya'. Demio, dengan raut wajah penuh keterpaksaan dan penyesalan, menjabat tangan Kyai Sulaiman.
Mereka resmi menjadi suami-istri. Sepasang pengantin yang tidak saling mengenal, disatukan oleh kecelakaan, ancaman skandal, dan nama baik keluarga kaya yang berakar kuat pada tradisi santri.
Pernikahan yang canggung itu baru saja dimulai. Sandiwara itu baru saja dipertontonkan.
BERSAMBUNG YA GUYS