Udara pagi di kontrakan kecil itu selalu terasa lembap dan dipenuhi aroma khas sabun cuci dan deterjen lantai. Aroma itu, bagi Yuni, adalah simbol kemandirian dan kejujuran. Aroma pekerja keras. Ia menyukainya, karena mengingatkannya pada Demio, suaminya.
Pernikahan yang terjadi mendadak itu sudah berjalan dua minggu. Dua minggu di mana Yuni akhirnya menemukan kedamaian setelah pelariannya dari Sragen. Tidak ada lagi bisikan tajam, tidak ada tatapan merendahkan, tidak ada lagi perbandingan harga tas. Di sini, ia hanya seorang istri dari seorang cleaning service yang tulus dan jujur.
Demio, di sisi lain, sedang berperang batin setiap hari. Seragam cleaning service itu terasa semakin panas, bukan karena terbuat dari bahan yang tidak nyaman, melainkan karena kebohongan yang ia kenakan bersama seragam itu. Setiap sentuhan tangan Yuni, setiap tatapan tulus istrinya yang mengira mereka ‘senasib’, menusuk relung hatinya. Ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada ketulusan yang ia temukan, kontras dengan kepalsuan yang selama ini mengelilinginya di dunia kemewahan.
Pagi itu, Demio sudah siap dengan seragam birunya. Yuni sedang menyiapkan sarapan nasi goreng sederhana.
“Mas Demio, nasinya sudah siap. Jangan lupa dimakan,” ujar Yuni sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja kayu kecil mereka.
Demio duduk, tersenyum tulus. “Terima kasih, Sayang. Wanginya enak sekali.”
“Ala kadar saja, Mas. Ini yang termudah dan termurah untuk sarapan,” balas Yuni, pipinya merona.
“Bukan masalah harganya, Yun. Tapi masakan isteri. Itu yang paling mahal,” Demio menatap mata Yuni.
Yuni menunduk, sedikit malu. “Mas ini, ada-ada saja. Ngomong-ngomong, Mas, hari ini Mas lembur lagi?”
Demio mengambil sesendok nasi goreng. Ia harus berhati-hati. Jadwal 'lembur' adalah alibi untuk rapat penting di perusahaannya sebagai CEO. “Mungkin, Sayang. Ada tumpukan laporan gudang yang harus Mas bereskan. Biasanya kalau menumpuk begitu, Mas harus tinggal sampai larut malam.”
“Laporan gudang? Cleaning service juga harus mengurus laporan?” Yuni sedikit mengernyit.
Demio hampir tersedak. Ia lupa detail kecil ini. “Maksud Mas… laporan stok pembersih, Yun. Sabun, lap, cairan pel. Kalau stoknya tidak tercatat rapi, nanti Mas bisa dimarahi oleh pengawas. Pekerjaan Mas kan tidak hanya menyapu, Yun. Ada manajemen inventarisnya juga.”
“Oh, begitu ya, Mas. Wah, ternyata pekerjaan Mas kompleks juga, ya,” Yuni mengangguk-angguk, tampak mengagumi. “Jangan terlalu dipaksakan, Mas. Nanti Mas sakit.”
“Tidak apa-apa, Sayang. Mas kuat. Demi kita. Demi bisa menabung,” Demio tersenyum lembut.
Yuni meraih tangan Demio yang berurat dan kasar karena pekerjaan pura-puranya. “Mas, kemarin aku ketemu Ibu Susi. Istri Pak RT.”
“Ibu Susi? Ada apa, Sayang?”
“Dia bilang, aku beruntung. Katanya, tidak banyak laki-laki yang mau menikah dengan santriwati yang kabur, apalagi yang hanya bekerja sebagai cleaning service. Dia bilang, aku harus bersyukur karena Mas sangat bertanggung jawab.”
Wajah Demio mengeras, matanya memancarkan rasa bersalah yang menusuk. “Apa yang dia katakan… itu benar. Mas yang seharusnya bersyukur, Yun. Mas bersyukur karena menemukan kamu, yang tulus dan tidak melihat Mas dari apa yang Mas pakai.”
“Mas… kenapa Mas bicara begitu?”
“Tidak apa-apa. Hanya terharu,” Demio segera menghabiskan sisa nasi gorengnya. “Mas harus berangkat sekarang. Sebentar lagi shift pagi dimulai.”
“Hati-hati, Mas.”
“Iya, Sayang. Kamu di rumah jangan terlalu capek, ya. Nanti kalau ada yang mengganggu, bilang sama Mas.”
Setelah berpamitan, Demio melangkah keluar. Begitu pintu kontrakan tertutup, ia menarik napas panjang. Kebohongan itu terasa seperti timah yang memberatkan langkahnya.
Demio sampai di gedung pencakar langit megah yang notabene adalah perusahaannya sendiri, 'D&W Group'. Ia masuk dari pintu belakang, khusus untuk karyawan layanan kebersihan.
Di ruang loker, sudah ada dua rekan kerjanya, Dodi dan Bima.
“Woi, Mio! Pagi!” sapa Dodi, cleaning service senior.
“Pagi, Mas Dodi, Mas Bima,” balas Demio sambil membuka loker dan mengenakan sarung tangan karetnya.
“Gimana pengantin baru? Pasti capek ya malamnya?” goda Bima sambil tertawa.
Demio hanya tersenyum hambar. “Biasa saja, Mas. Sama saja seperti hari-hari sebelumnya.”
“Cih, sok rahasia,” Dodi mencibir. “Tapi serius, Bro. Lo itu termasuk nekat lho. Mau aja nikahin cewek yang kabur dari pesantren, cuma modal tampang doang. Mana cuma lulusan SMP kayak kita-kita gini.”
“Mas Dodi, jaga bicara. Yuni itu orang baik,” Demio membela istrinya, suaranya sedikit meninggi.
“Waduh, santai, Bro! Cuma bercanda! Tapi kalau lo mau, gue kenalin tuh sama sekretaris di lantai tujuh. Janda anak satu, tapi bodinya… aduhai. Gajinya dua kali lipat dari kita. Siapa tahu nasib lo berubah,” Dodi menyenggol Demio.
Demio menahan diri. Ia ingin sekali mengatakan bahwa gajinya adalah puluhan kali lipat dari Dodi, bahkan gaji janda sekretaris yang mereka bicarakan itu, namun ia harus tetap diam.
“Terima kasih, Mas. Tapi saya sudah punya istri. Saya cinta sama istri saya,” jawab Demio, suaranya datar.
“Halah, cinta! Cinta itu butuh uang, Mio. Dapur itu butuh beras, bukan kata-kata manis. Kayak kita, nasibnya ya begini-begini saja. Dari lantai satu sampai lantai sepuluh, bau deterjen terus. Paling mentok, lima tahun lagi jadi pengawas. Gaji nambah sedikit. Mau sampai kapan lo hidup di kontrakan kecil begitu?” Dodi terdengar frustrasi.
“Setidaknya saya punya tempat berteduh, Mas. Dan istri yang tulus,” balas Demio, mencoba menahan amarah yang mendidih. Ia ingat kenapa ia memulai sandiwara ini: untuk mencari ketulusan yang hilang di dunianya.
Jam istirahat tiba. Demio sedang mengepel koridor lantai tiga. Karyawan-karyawan kantor berlalulalang. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang familiar.
“Demio! Hei, cleaning service!”
Itu adalah Rina, Manajer Pemasaran. Wanita karier yang angkuh dan selalu meremehkan pekerja kebersihan. Rina pernah coba mendekati Demio si CEO, tapi ia selalu ditolak secara halus.
“Ya, Bu Rina?” Demio menunduk sedikit, memainkan peran 'karyawan rendahan'.
“Lantai ini kamu yang bersihkan, kan?”
“Iya, Bu.”
“Ck. Lihat sepatu saya. Kotor kena air pel-an kamu,” Rina menunjuk sepatu kulitnya dengan jari telunjuk bernilai berlian. “Kamu ini kerja yang benar sedikit! Bau karbol itu sampai ke hidung saya. Cepat bersihkan sisa air ini! Saya sedang terburu-buru.”
Demio ingin sekali mencopot seragam ini, berdiri tegak, dan memecat Rina di tempat. Tapi bayangan mata tulus Yuni membuatnya menelan harga dirinya bulat-bulat.
“Maaf, Bu Rina. Saya akan bersihkan segera,” jawab Demio sambil berjongkok dan membersihkan jejak air di lantai.
Tiba-tiba, seorang pria tinggi dan berwibawa, Mr. Hendra, Kepala Divisi Keuangan, melintas.
“Rina, kenapa kamu berdiri di sini? Cepat! Ada meeting mendadak di ruang Direktur Utama. Semua kepala divisi harus hadir!” perintah Mr. Hendra tanpa melihat ke bawah.
Rina langsung panik. “Oh, ya, Pak Hendra! Saya segera ke sana!”
Saat Mr. Hendra dan Rina sudah berlalu, Demio berdiri tegak. Ia meremas kain pel di tangannya. 'Ruang Direktur Utama'. Itu ruangannya. Di sana, di balik pintu ganda mahoni, seragam biru ini akan dilepas, dan Demio sang CEO akan kembali.
BERSAMBUNG YA GUYS