Pukul 19.00. Demio mengatakan pada Yuni bahwa ia 'lembur'. Kenyataannya, ia berada di ruangan mewahnya, mengenakan setelan jas mahal, dikelilingi dokumen dan laptop. Ia sedang mengadakan video conference dengan kolega bisnis di Singapura.
Pukul 21.00. Rapat selesai. Demio mendapati dirinya kelelahan, bukan karena rapat, tapi karena kelelahan emosional dari sandiwara seharian.
Ia kembali mengenakan seragam cleaning service-nya di toilet eksekutif lantai 30, lalu turun ke ruang loker untuk mengambil sepeda motor bututnya.
Saat ia berjalan melewati lobby yang sepi, Demio melihat bayangan seseorang sedang menyapu lobi utama. Itu Yuni.
“Yuni?!” Demio terkejut.
Yuni menoleh, wajahnya berseri-seri. Ia mengenakan dress rumahan sederhana. Di tangannya ada sebuah kotak makan.
“Mas Demio! Kenapa terkejut begitu?” Yuni menghampirinya.
“Kamu… kenapa kamu di sini? Bukannya sudah Mas bilang, kamu di rumah saja?”
“Aku bosan di rumah, Mas. Lagipula, aku dengar Mas lembur lagi. Jadi, aku bawakan makan malam. Aku masak rendang jengkol kesukaan Mas,” Yuni menyodorkan kotak makan itu.
Demio mengambil kotak makan itu, hatinya menghangat sekaligus tercekat. “Kamu… kamu tidak seharusnya repot-repot begini, Sayang. Ini sudah malam.”
“Tidak repot, Mas. Aku tahu Mas pasti capek. Tadi aku sempat tanya sama Satpam di depan. Dia bilang, cleaning service biasanya makan di kantin belakang.”
“Iya, memang di kantin belakang. Ayo, kita ke sana,” Demio menarik Yuni menuju kantin yang sudah sepi.
Mereka duduk berdua. Demio membuka kotak makan itu. Aroma rendang jengkol yang kuat menyeruak.
“Kenapa Mas tidak cerita kalau kantormu sebesar ini?” tanya Yuni sambil memerhatikan sekeliling. “Ini gedung tinggi sekali, Mas. Perusahaan apa ini?”
“Ini… ini perusahaan besar, Sayang. Namanya D&W Group. Mas cuma kerja di bagian kebersihan saja, Yun.”
“Tapi, Mas. Kenapa aku lihat tadi banyak orang yang memandang Mas dengan sebelah mata?” Wajah Yuni tiba-tiba berubah sendu. “Tadi aku lihat Mas Dodi dan Mas Bima. Mereka membicarakan Mas dan aku. Mereka bilang aku ‘istri yang kabur’ dan Mas ‘tidak punya masa depan’.”
Demio menghentikan kunyahannya. Darahnya mendidih. Ia tidak menyangka ucapan Dodi sampai ke telinga istrinya.
“Mereka iri, Yun. Iri karena Mas punya kamu.”
“Bukan cuma mereka, Mas. Tadi aku juga melihat seorang perempuan berdandan rapi. Dia memanggil Mas dan menyuruh Mas berjongkok. Mas terlihat… terlihat tertekan sekali, Mas.” Air mata Yuni mulai menggenang. “Aku tahu rasanya dihina, Mas. Aku tahu rasanya direndahkan. Aku lari dari Sragen karena tidak tahan. Aku pikir, kalau aku menikah dengan orang biasa, kita bisa sama-sama merasakan kedamaian dan tidak lagi diinjak-injak oleh orang kaya.”
Yuni meraih tangan Demio. “Mas, kalau Mas tidak sanggup, Mas keluar saja dari pekerjaan ini. Kita cari pekerjaan lain. Kita bisa jualan nasi uduk di pinggir jalan. Setidaknya, kita tidak perlu lagi dihina dan dilecehkan.”
Demio merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Tangan Yuni yang menggenggamnya terasa dingin. Ia melihat pantulan dirinya di mata Yuni: seorang laki-laki miskin, tertindas, namun tulus.
“Sayang… dengarkan Mas,” Demio memegang kedua tangan Yuni erat-erat. “Mas bekerja di sini, bukan karena Mas tidak punya pilihan. Mas bekerja di sini, justru untuk mencari sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.”
“Mencari apa, Mas? Ketenangan?”
“Ya. Ketenangan. Dan… ketulusan. Yuni, Mas janji sama kamu. Mas tidak akan membiarkan kamu dihina lagi. Mas janji. Mas tidak akan membiarkan kita berdua direndahkan. Bertahanlah sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi. Ada hal besar yang harus Mas lakukan di perusahaan ini. Ada rahasia yang Mas simpan. Bukan untuk menyakitimu, tapi untuk melindungi kamu.”
“Rahasia apa, Mas?” Yuni menatapnya dengan pandangan penuh pertanyaan dan sedikit ketakutan.
Demio menelan ludah. Ini adalah momen yang paling sulit. Ia harus berbohong lagi. Kebohongan terakhirnya, sebelum ia bisa mengungkapkan segalanya.
“Rahasia… rahasia kalau Mas sebenarnya sedang mencari tahu kebobrokan di perusahaan ini, Yun. Mas diperintah oleh bos besar untuk menyamar. Mas dikasih tugas untuk menyelidiki kecurangan inventaris. Makanya Mas harus jadi cleaning service, supaya tidak ada yang curiga.”
Wajah Yuni berubah dari khawatir menjadi takjub. “Mas… jadi Mas itu mata-mata?”
“Sebut saja begitu, Sayang. Jadi, Mas harus tahan sebentar. Tahan dihina, tahan dicaci. Demi menyelesaikan tugas ini. Kalau tugas ini selesai, Mas akan diangkat menjadi pengawas, bahkan manajer, dan kita akan pindah dari kontrakan kecil itu, Yun.”
Yuni terdiam sebentar, lalu tersenyum, senyum tulus yang membuat Demio merasa lebih bersalah dan lebih mencintai.
“Mas Demio… Mas memang hebat. Aku selalu tahu Mas itu bukan laki-laki biasa. Mas, aku bangga sama Mas. Aku akan dukung Mas. Tapi, janji sama aku, jangan sampai Mas terluka.”
“Mas janji, Sayang. Mas janji.”
Demio memeluk Yuni erat-erat. Di balik pelukan itu, ia berdoa dalam hati," Maafkan aku, Yun. Sebentar lagi. Aku akan segera keluar dari kebohongan menyakitkan ini. Dan saat aku keluar, aku akan membuatmu menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, tanpa perlu takut dihina lagi."
BERSAMBUNG YA GUYS