SANDIWARA DIMULAI

963 Kata
Keesokan harinya, suasana di kontrakan kecil itu terasa berbeda. Pengakuan 'mata-mata' Demio malam sebelumnya membuat Yuni menatap suaminya dengan penuh kekaguman. Beban yang dirasakan Demio semakin berat. Kebohongan yang ia ciptakan untuk menenangkan Yuni malah membuat istrinya itu melihatnya sebagai pahlawan yang berjuang sendirian melawan ketidakadilan. Demio tahu ia tidak bisa lagi bermain-main. Perasaan bersalahnya menggerogoti setiap detik. Namun, ia merasa belum siap. Jika ia mengaku sekarang, ia takut Yuni akan merasa dikhianati dan trauma lama Yuni terhadap kaum berada akan kembali, bahkan lebih parah. Ia harus menunggu waktu yang tepat, setelah misinya menemukan ketulusan sejati benar-benar tuntas. Pagi itu, Demio harus kembali ke ‘arena sandiwara’-nya. “Mas, sarapan sudah siap. Hari ini Mas jangan lupa pakai kaus kaki yang Mas sembunyikan di laci,” ujar Yuni sambil menyajikan teh hangat. Demio, yang sedang memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dompet lusuhnya (yang ia beli khusus untuk penyamaran), terkejut. “Kaus kaki? Kaus kaki yang mana, Sayang?” “Itu, Mas. Kaus kaki yang warnanya gelap sekali. Yang kainnya lembut seperti sutra. Aku menemukan kaus kaki itu di laci paling bawah. Mas pasti lupa membersihkannya, kan?” Demio menelan ludah. Itu adalah kaus kaki cashmere yang ia beli di Milan, harganya setara dengan sewa kontrakan mereka selama dua bulan. Ia pasti lupa membuangnya atau menyembunyikannya lebih baik. “Oh, itu… itu kaus kaki bekas, Sayang. Pemberian dari… dari mandor di pabrik dulu. Kainnya memang bagus, tapi sudah robek sedikit di ujungnya,” Demio berbohong cepat. Yuni tersenyum polos. “Aku sudah menjahitnya kok, Mas. Aku lihat kaus kaki Mas yang biasa sudah bolong semua. Nanti kalau Mas pakai kaus kaki yang bagus ini, pasti Mas jadi lebih semangat kerja.” Demio menatap kaus kaki mahal yang sudah dijahit rapi oleh tangan istrinya. Ia merasa seperti penjahat berhati dingin. “Terima kasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik Mas.” “Mas, sebentar. Ada yang Mas lupakan,” Yuni menghampiri Demio dan mengusap pipinya. “Itu, Mas. Ada sedikit arang di pipi Mas.” “Arang?” “Iya. Sepertinya Mas lupa cuci muka bersih-bersih setelah… setelah mencuci wajan tadi malam.” Yuni memicingkan mata, membersihkan kotoran itu dengan ujung jarinya. “Nah, sudah bersih. Hati-hati di jalan ya, Mas.” Demio memegang tangan Yuni. “Kamu juga, Sayang. Mas pulang tidak akan terlalu malam hari ini. Mungkin sekitar jam delapan. Mas janji.” “Baik, Mas. Kalau begitu, aku siapkan bekal makan siang Mas ya. Bekal rendang jengkol kemarin masih ada. Nanti Mas makan di kantin. Jangan sampai tertukar sama teman-teman kantor Mas yang lain.” “Siap, Nyonya Demio. Mas berangkat dulu.” Di D&W Group, Demio memulai shift-nya dengan membersihkan area parkir VIP. Ia memakai kaus kaki cashmere yang terasa aneh di balik sepatu bot safety-nya. “Mio! Pagi-pagi sudah mengkilap begitu!” sapa Bima, berjalan menghampirinya. “Pagi, Mas Bima. Mengkilap bagaimana?” tanya Demio, sambil menunduk menggosok genangan oli. “Itu sepatu lo! Sepatu lo kok mengkilap sekali hari ini? Lo semir pakai apa? Semir mahal?” Bima berjongkok, mengamati sepatu safety Demio. “Semir biasa, Mas. Mungkin karena baru saja kena air sedikit, jadi tampak basah,” Demio berbohong, padahal ia tahu. Yuni yang menyemir sepatunya dengan sangat teliti pagi tadi. Dodi ikut bergabung. “Aneh. Sepatu kita sama-sama dari jatah kantor, tapi punya lo kok beda? Eh, Mio, lo tahu nggak, hari ini Pak Handoko, salah satu shareholder utama dari Singapura, datang. Katanya mau ketemu Pak Dirut. Gila, auranya saja sudah beda. Bau uang!” “Oh ya? Baguslah. Semoga lancar,” jawab Demio, yang tahu betul siapa Pak Handoko. Pak Handoko adalah partner bisnis utamanya, dan mereka akan bertemu di ruangannya (sebagai CEO) sekitar pukul sepuluh. “Lo ini santai amat! Itu orang kaya banget lho. Lo harus hati-hati kalau ketemu di lorong, jangan sampai sapa, nanti lo malah dikira mau minta-minta,” Dodi memperingatkan. “Saya tahu, Mas Dodi. Saya tahu batasan,” Demio menanggapi dingin. Saat ia sedang menyapu, ponsel bututnya (yang ia beli untuk penyamaran) berdering. “Halo, Sayang? Kenapa?” Demio menjawab sambil menjauh dari Dodi dan Bima. “Mas Demio, Mas tidak lupa, kan? Hari ini ada Ibu Susi datang ke rumah. Katanya mau pinjam panci. Tapi aku lihat Ibu Susi pakai mobil bagus sekali, Mas. Mobilnya warna hitam mengkilap. Seperti mobil yang… yang menyerempetku dulu,” suara Yuni terdengar polos namun khawatir. Demio seketika tegang. “Mobil hitam mengkilap? Sayang, itu mungkin mobil tetangga. Jangan dipikirkan, ya. Kamu di rumah saja, jangan buka pintu untuk orang yang tidak kamu kenal, oke?” “Tapi Mas, tadi Ibu Susi bilang, mobil itu milik suaminya yang… yang ternyata manajer bank. Aku jadi takut, Mas. Takut kalau Ibu Susi dan suaminya itu kaya, dan nanti mereka menghinaku lagi,” Yuni merengek. Demio berusaha keras menenangkan dirinya. “Tidak, Sayang. Tidak akan ada yang menghina kamu. Kalau Ibu Susi macam-macam, kamu bilang saja, Mas akan segera pulang. Mas percaya sama kamu, Sayang. Sekarang, coba kamu tenang, ya.” “Baik, Mas. Aku akan coba tenang. Tapi Mas, aku taruh bekal Mas di loker, ya. Aku lupa bawakan bekal makan siang Mas tadi pagi.” “Bekal? Kamu datang lagi ke sini?” Demio nyaris berteriak. “Iya, Mas. Tadi aku naik angkot. Aku hanya sampai pos satpam kok. Aku sudah titipkan ke Satpam. Dia bilang nanti Mas ambil saja di loker,” kata Yuni, nadanya bangga karena berhasil menunaikan tugasnya sebagai istri. “Ya, ampun, Sayang. Kamu tidak perlu repot-repot! Sudah, sekarang kamu cepat pulang, ya. Mas tidak suka kamu sendirian di luar. I love you, Sayang,” Demio mematikan teleponnya dengan cepat. Ia mengumpat pelan. Yuni datang ke kantornya. Ini gawat. Saat jam istirahat tiba, Demio segera menuju ruang loker. Di sana, Dodi dan Bima sudah menunggunya dengan wajah aneh. BERSAMBUNG YA GUYS
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN