[Masa Lalu dan Kenangannya]
"Aku gak selingkuh, Nya. Sumpah aku enggak selingkuh." Dengan sangat yakin ia ucapkan kalimatnya kepada perempuan yang lima tahun menjalin hubungan dengannya.
"Bohong terus! Muak aku dengernya! Muak!" Berseru keluarkan kecewa berikut amarah yang telah membelenggu selama beberapa bulan ini, tepat setelah mengetahui kebusukan pacarnya.
"Buat apa aku bohong sama kamu? Apa untungnya?" Nada frustrasi itu tak jua buka hati Vanya yang telah tertutup oleh kabut kecewa. "Dia bukan selingkuhan aku. Sumpah, Nya. Percaya aku please ... aku gak selingkuh."
"Terus cewek di rumah kamu itu siapa? Mama kamu? Mustahil, Za! Aku liat sendiri dia c1um kamu! Pasti kamu juga udah tidur sama dia! Iya, kan?" Napas Vanya menggebu sebab emosi telah mendominasi.
"Bener 'kan kamu udah tidur sama dia? Gak mungkin kalian gak ngelakuin apa-apa, sedangkan kalian tinggal bareng!!" Leher telah tonjolkan urat, tunjukkan besarnya amarah yang ia miliki sekarang. "Jawab, Erza Bimantara!" Sang pria terdiam, alih-alih ungkapkan bukti dari pernyataannya.
"Bener 'kan? Kamu selingkuh!" Tidak ada lagi pembelaan dalam bentuk apapun, hanya sorot masygul yang tidak ingin Vanya pedulikan. "Kita sampe sini aja. Muak aku dibohongin terus sama kamu." Angkat kaki dirasa keputusannya telah benar agar ia bisa keluar dari lingkaran toxic hubungan mereka.
Vanya tidak menyangka kesetiannya dipermainkan seperti ini.
Erza Bimantara, pria itu berani mengkhianatinya.
Andai Vanya tidak peka akan perubahan Erza yang sering hilang kabar, Vanya akan terus terjebak di hubungan ini, dan tidak akan tahu bahwa selama ini Erza berselingkuh dengan perempuan lain.
Bahkan pria itu berani menempati selingkuhannya di rumahnya. Vanya yakin Erza tidak hanya menidurinya, tapi juga meniduri wanita lain.
***
Mimpi.
Lagi.
Mimpi yang merupakan rekaman masa lalu kembali hadir; hantui malam indahnya yang tidak pernah ia dapatkan sekalipun besok adalah hari libur.
Keberadaan air minum di atas nakas Vanya raih sebelum meneguknya hingga tandas guna hilangkan degupan dahsyat di dadanya.
"Kenapa mimpi itu lagi?" Pangkal hidung dipijat, denyut pusing hadir sakiti kepalanya.
Dirasa pusing di kepala mengangsur-angsur membaik, atensi ia alihkan ke jendela. Terdengar di luar jendela suara petikan gitar dengan nada syahdu yang familier di rungunya.
"Perasaan rumah samping kosong." Bergumam dengan berbagai tanya menyangkut di kepala, perlahan kakinya membawanya ke arah jendela.
Gorden berwarna navy dia singkirkan, berharap menemukan sumber suara dari arah samping kamarnya. “Your morning eyes, I could stare like watching stars
I could walk you by, and I’ll tell without a thought. You’d be mine, would you mind if I took your hand tonight?” Lirik lagu tersebut hadirkan desir pada benak Vanya.
Deretan bulu halus di atas mata ciptakan kerutan pada kening, sementara wajah melukiskan riak penuh tanya. "Kayak kenal sama suaranya." Ingin melihat lebih jauh si pemilik suara, tapi tidak bisa Vanya lakukan mengingat jam telah menunjukkan pagi telah tiba.
***
"Pagi-pagi udah rusuh bikin kue. Buat kemana, sih?" Vani mencomot asal kue yang baru dikeluarkan dari pemanggang. "Akh, panas!"
"Instan karma." Saka bercelatuk di sela tawa puas akan derita sang adik.
"Ada acara?" Kini Vanya ajukan tanya. Biasanya sang ibu membuat kue apabila ada acara bersama teman kerjanya.
Decapan lidah menguar, tidak menyangka anak-anaknya tidak mengetahui kabar apapun. "Masa kalian gak tau?"
"Tau apa coba? Orang belom dikasih tau, gimana mau tau?" Vani menjawab dengan tangan belum juga menyerah untuk menikmati kue buatan ibunya.
"Kalo mau dipotong dulu. Jelek ntar kuenya." Vanya menegur, tidak suka akan kelakuan Vani.
"Sabar, Vani." Aghni berujar, buat Vani memberenggut.
"Tau lo. Kayak gak pernah makan kue aja." Saka menambahkan buruknya suasana hati Vani.
"Mau dikit doang," kilahnya yang tidak digubris Aghni.
"Rumah kosong yang di samping itu udah ada penghuni baru." Akhirnya Aghni menjawab rasa penasaran mereka.
"Siapa?" Vani bertanya penasaran, terlihat sebuah harapan di wajahnya.
"Mama enggak tau jelas siapanya. Tapi setahu Mama dia ini cowok lajang yang udah punya bengkel di mana-mana." Dengan telaten Aghni hias semenarik mungkin brownies coklat buatannya.
"Vanya kamu beli sarapan, gih." Mengangguk patuh, Vanya taruh plastik segitiganya sebelum melepaskan sarung tangannya.
"Lo lanjutin ini." Memerintah Vani yang dibalas penolakan berupa ekspresi memberenggut. "Atau mau beli sarapan? Tapi gak pake mobil."
"Lo aja sana udah." Mau tak mau Vani ambil alih pekerjaan Vanya.
***
"Erza?" Vanya sebutkan nama pria yang kini menjadi sumber trauma kala netranya menangkap profil sosok itu di rumah samping.
"Ck, enggak mungkin. Gue pasti halu." Berusaha menyangkal. Namun, rasa penasaran meliputi diri yang membuatnya sembunyikan diri untuk melihat gerangan yang sedang mengobrak-abrik motor.
"Tapi kayak Erza." Dari rambut, postur tubuh, bahkan suaranya masih terekam jelas sosok Erza Bimantara yang telah hancurkan hidupnya empat tahun lalu.
"Enggak, Vanya. Dia bukan Erza." Tarik oksigen sedalam-dalamnya guna hilangkan tegang dalam benak.
Tidak ingin melihat lebih jauh penghuni baru itu, Vanya langkahkan kaki untuk menjauh.
"Mas Erza! Aku bawa bubur kesukaan Mas Erza!"
Dan teriakan perempuan yang entah siapa itu berhasil luluh lantakkan harapan Vanya.
Vanya segera tolehkan kepada ke arah rumah itu. Tertangkap oleh matanya sosok yang hanya ia lihat dari belakang kini wajahnya terlihat jelas.
Dia, Erza Bimantara.
Pria yang telah menghancurkan hidup Vanya tiada sisa.
Dan karena pria itu, Vanya harus kehilangan satu-satunya harapan ia hidup, sumber bahagianya serta sosok yang Vanya yakin akan membuat hubungan mereka merekat.
***
"Bentar, deh, Sayang." Lindu berujar resah, hal tersebut dapat Vanya rasakan ketika mobil yang Lindu kendarai berhenti di tepi jalan.
"Mogok?" Bertanya panik mengingat jam kerjanya sebentar lagi akan mulai.
"Akh, sial." Mengumpat alih-alih menjawab pertanyaan Vanya. "Kamu naik ojol aja, ya? Aku pesenin."
Kepala menggeleng. Vanya tidak mau menunggu Lindu yang sudah mau mengantarnya ke kantor, padahal kantor mereka berlawanan arah.
"Kita ke bengkel aja. Aku lihat kemaren ada bengkel baru di depan. Aku ke sana, ya?" Tanpa mau mendengarkan Lindu, Vanya berlalu begitu saja, jam kerja ia abaikan karena baginya Lindu lebih penting.
"Nah ini bengkelnya." Langkah kakinya melangkah lebih cepat begitu nama bengkel dia lihat; hadirkan percikan tenang.
"Permisi." Beberapa orang di sana pusatkan pandang padanya. "Ini, mobil saya mogok di sana. Saya minta bantuannya. Bisa 'kan?" Menunjuk arah mobil Lindu yang jaraknya tak jauh dari bengkel.
"Bisa-bisa." Salah seorang karyawan di bengkel itu menyanggupi. "Ayo saya cek mobilnya." Dengan senang hati Vanya arahkan karyawan bengkel itu ke arah mobil mereka.
"Zihar lo jaga bengkel aja. Itu biar gue yang handle. Gabut banget gue dari tadi." Suara seorang yang sangat rungu Vanya kenali getarkan hatinya. Perlahan kepala Vanya menoleh ke sumber suara tersebut sebelum dentuman keras hadir di benak.
"Erza?" Vanya belum mampu hilangkan ketakutan setelah tahu bahwa Erza tetangganya, dan kini pria itu hadir tepat di hadapannya.