Bab 3. Penyelamat

1524 Kata
"Hah, heh, hah, heh doang," ucap Anjani. "Iya kamu!" Anjani berkata lagi sambil menunjuk ke arah pria itu. "Kamu mau kenalan denganku?" Pria itu berkata sambil melihat tidak suka dengan Anjani. "Apa tidak boleh?" Anjani berkata dengan nada suara datar, seolah dia tidak melakukan hal yang salah. "Hei, Nona! Siapa kamu yang berani memerintahku?" Pria itu terlihat berusaha menahan dirinya untuk tidak berkata kasar pada wanita yang sekarang berjalan mendekatinya. "Baiklah, kalau begitu aku akan memperkenalkan diriku! Aku Anjani Ranita!" Anjani menggantungkan tangannya di udara, berharap pria itu akan senang hati menjabat tangannya, tapi sayangnya itu nihil! Pria itu menatapnya sedingin es, membuat Anjani merasakan keribg di kerongkongannya. "Kamu lupa? Aku siang tadi gak sengaja nyiram teh ke kamu." Anjani memutar otak agar tidak terlihat memalukan. "Apa maksudmu?" Pria itu bertanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihat Anjani dengan pandangan meremehkan. "Apa kamu beneran gak inget?" Anjani lalu mengerutkan keningnya. Dia tidak salah lihat, pria itu sama persis dengan pria siang tadi. "Pakai cara yang bagus untuk berkenalan dengan orang asing Nona! Trik murahanmu tidak akan berhasil denganku!" Dia lalu menekan tombol lift dan pintu lift segera tertutup. Tinggal Anjani terdiam disana. Tidak mungkin dia salah lihat. Pria itu benar-benar mirip, apa dia ada saudara kembar? Tiba-tiba Anjani merasakan perutnya kembali berbunyi untuk minta diisi, dia lalu tidak mengubrisnya dan berjalan keluar untuk mencari makan. *** Anjani awalnya ingin mencari restoran di sekitaran tempat tinggalnya, tapi saat melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, kemungkinannya kecil sekali untuk makan di restoran ataupun tempat makan yang nyaman. Wanita itu lalu masuk ke tenda kaki lima yang menjual nasi goreng, mie tumis dan pecel lele, di sana terlihat masih ada dua orang yang duduk untuk makan dan mereka datang mungkin sendiri karena Anjani melihatnya makan dengan fokus dan tanpa bicara dengan kanan dan kiri. "Nasi goreng teri satu ya, Bang, makan di sini, terus pesen mie tumisnya bungkus satu jangan kasih telur ya!" Anjani memesan makanannya. "Baik, Mbak, ditunggu dulu ya." Pria itu terlihat sibuk dengan urusannya yang membuat minuman untuk pelanggannya. Pesanan Anjani semuanya untuk dirinya sendiri, satu untuk dimakan di sini dan satu lagi jelas untuk bekal lebih malam lagi atau besok pagi! Bisa di simpan di kulkas dan dihangatkan di microwave! Aneh memang, tapi Anjani dulu sering melakukannya. Tentunya bersama dengan mantan terindah yang keluarga pria itu sangat membenci dirinya. Miris memang tapi begitulah, dulu dia sangat buta dengan kata cinta. Memutuskan kembali lagi ke Indonesia memang tidak mudah, dia berpikir kalau dirinya harus tetap menghadapi kenyataan, dia setidaknya bisa menunjukkan pada orang yang menghinanya dulu kalau dirinya bukan wanita lemah dan tidak berdaya yang tidak mampu melakukan apapun, dia harus membuktikan kalau dia adalah wanita yang pintar dan punya kekuatan untuk memukul balik pertahanan lawan. Bukan maksud ingin membalas dendam, tapi dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi mereka akan dirinya yang sekarang kalau takdir mempertemukan mereka kembali secara kebetulan. "Ini nasi gorengnya, Mbak. Minumnya apa?" Penjual itu bertanya pada Anjani, sekaligus membuyarkan pikirannya tentang sang mantan. "Eh makasih ya, minumnya ... jeruk anget aja Bang," jawab Anjani lalu mulai memakan nasi goreng yang dia pesan. Handphonenya berdering dari dalam tas, Anjani merogohnya dan melihat Raza menghubunginya, dia kemudian menepuk keningnya sebelum menerima panggilan itu. "Ah, iya lupa bilang kalo udah sampe," gumamnya. "Hei! Kamu udah sampe gak bilang-bilang sih?" Raza protes pada Anjani. "Eh, iya maaf, kelupaan. Aku tadi siang sampenya." Lalu Anjani tertawa kecil. "An, apa kamu kerja di DAB?" Raza bertanya tanpa basa-basi padanya. "PT. Digital Anak Bangsa," jawab Anjani, lalu dia baru menyadari sepertinya Raza menggunakan Akronim. "Iya maksudku itu, eh ... kamu tahu gak sih kemarin aku ketemu sama Pak Santosa yang punya DAB, katanya dia mau ada kerjasama dengan tempat kerjaku untuk pengembangan chatbot milik kami," cerocosnya. "Pengembangan chat robot yang berbasis kecerdasan buatan dalam pelayanan sesi curhat itu, kan? Kalo yang itu aku tahu, tadi aku sudah lihat draft proyeknya." "Iya! Eh by the way An, kemarin aku lihat mantan kamu, sepertinya dia sudah nikah lagi." Raza berkata begitu jelas, membuat getaran hebat dalam diri Anjani. "An ... kamu denger aku?" Suara Raza menggema di telinga Anjani. "Maaf aku gak maksud gimana-gimana untuk cerita ini sama kamu tapi kupikir kamu perlu tahu dan benar-benar harus segera move on." Raza seperti sebelumnya, dia yang selalu memberikan semangat pada Anjani, kalau dipikir lagi Tuhan mengirimkan Raza padanya untuk selalu menghiburnya. "Ah, iya aku denger kok. Dia nikah lagi ya urusan dia, aku gak peduli." Anjani memanipulasi perkataannya, jelas walaupun sedikit pasti dia sangat sakit hati. "Ya udah, nanti kalo sempet aku main ke tempatmu ya! Bye! Kayaknya udah kemaleman nih, istirahat yang cukup besok bekerja harus dengan tenaga yang fit." Dia berpesan lalu segera mematikan sambungan telpon itu. Anjani menarik nafas dalam, entah kenapa tiba-tiba dia merasa kalau nafsu makannya jadi berkurang drastis saat mendengar Darren menikah lagi. "Ternyata orang bisa dengan mudah melupakan," gumam Anjanin perlahan oada dirinya sendiri. Dia melanjutkan makannya walaupun tidak selera setidaknya dia harus menghabiskan makanan ini untuk mengisi tenaga. Setelah menghabiskan makanannya dan mendapatkan pesanan yang dibungkus, Anjani merogoh tasnya, tapi berulang kali dia melihatnya, dia tidak menemukan dompetnya, padahal dia benar-benar sudah memastikannya sebelum pergi. "Astaga! Dimana dompetnya sih?" Anjani mulai terlihat panik, tidak mungkin dia membatalkan pesanan yang sudah dia makan dan yang ada ditangannya ini. "Kenapa Mbak?" tanya penjual itu. "Aduh ... itu Bang, dompet saya kok gak ada ya," jawab Anjani masih berusaha mencari ke dalam tas itu. "Bang, gimana kalo tunggu dulu?" Anjani berkata dengan tidak enak hati. "Transfer atau bayar pake wallet bisa kok, Mbak, ini saya ada kode QR nya buat scan." Penjual itu masih berkata ramah. Anjani terdiam, bukan masalah wallet atau bagaimana, dia baru saja tiba hari ini ke tanah air, untuk nomor rekening dan lainnya masih belum punya, rencananya baru besok dia akan pergi ke bank untuk membuat akun baru dan wallet yang dikatakan penjual itu, tentu dia juga belum punya. "Tapi itu ...." Anjani tersenyum tidak enak hati susah untuk menjelaskannya. "Mbak gak sedang bercanda, kan?" Wajahnya mulai terlihat tidak ramah. "Nggak, tunggu sebentar." Anjani lalu mengambil handphonenya dan menghubungi Raza, sayang sekali temannya itu tidak bisa dihubungi lagi. Beberapa kali Anjani mulai berpikir tapi dia masih belum menemukan solusinya. "Ah, begini aja Bang, Pak, Mas ... eh, aduh ... maksudnya gini Bang, boleh gak aku balik dulu, nanti aku dateng lagi buat bayar." Anjani berkata gugup. "Tapi Mbak, Mbak kan bawa handphone? Biasanya orang-orang kalo gak bawa cash ya tinggal scan kode QR aja. Lagian ini murah kok Mbak cuma 37 ribu aja." "Iya, tapi aku beneran gak bawa duitnya dan wallet-wallet-an itu aku juga belum punya, aku baru sampe dari luar negeri hari ini Bang eh Pak dan aku—" "Tinggalin KTP aja Mbak," kali ini ibu-ibu penjual yang bertugas masak itu mendekati mereka. "Ya kan adanya di dompet, Bu. Saya beneran ketinggalan dompet." Anjani berusaha untuk tetap tenang. "Mbak, bukan cuma satu atau dua orang yang dateng dengan alasan seperti Mbak ini, kami ini cuma penjual kecil untungnya juga sedikit terus darimana kami percaya kalau Mbaknya akan balik lagi?" Wanita itu berkata dengan nada sinis. Tidak salah apa yang dikatakan penjual itu, tapi bagaimana menjelaskannya kalau dirinya tidak akan kabur karena makanan seharga 37 ribu itu? "Iya Bu maaf, tapi gimana ya, saya beneran gak bohong Bu, dompet saya memang ketinggalan." Anjani masih berusaha untuk menjelaskan. "Memang Mbaknya tinggal di mana?" "Di apartemen king slyeze Bu," jawab Anjani membuat penjual wanita itu tertawa sinis. "Mbak jangan bohong deh, kalo mbak tinggal di sana ngapain mbak mau makan di tempat kami ini?" hardiknya. "Apa gak boleh?" Anjani mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Mana mungkin orang kaya mau makan di tempat seperti ini." Wanita penjual itu terlihat kesal. "Hei Nona, sini biar aku yang bayarin aja." Pria dengan wajah penjahat kelamin itu langsung merangkulkan tangannya di pundak Anjani membuatnya terkejut. "Hei! Apa-apan kamu!" Anjani berusaha mendorongnya tapi tidak bisa. "Kamu jangan sombong, kalau kamu tinggal di sana dan makan di sini bisa jadi kamu adalah simpanan orang kaya dan artinya—" "Hei! Jaga mulut kamu!" Anjani sangat kesal, tapi pria itu nampak sangat santai dan Anjani berusa untuk melepaskan diri dari tangan pria itu. "Berapa bayaranmu, Cantik?" Dia lalu melihat ke arah Anjani dengan seringai menggoda. "Lepas!" Anjani makin kesal. "Bayar 37 ribu Pak, urusan setelahnya biar kalian selesaikan di luar lapak kami." Wanita penjual itu berkata seolah tidak terjadi apapun. Anjani nampak sangat miris empati orang benar-benar sangat tipis. "Ini namanya pelecehan!" Anjani marah, dia juga sangat kesal karena penjual itu. "Aku yang akan membayarnya tunggulah dulu aku tidak akan lari hanya karena 37 ribu!" Anjani berontak, tapi pria tadi sudah mengeluarkan uangnya. "Ambil saja kembaliannya," ucapnya pada penjual itu setelah menyerahkan uang 50 ribu. "Hei lepaskan!" Anjani terus berontak tapi pria itu kekuatannya luar biasa, dia lalu membawa Anjani keluar dari tenda kali lima tersebut. "Jangan tidak sopan dengan orang yang menolongmu Cantik." "Kamu bukan penolong! Kamu itu penjahat kelamin! Lepaskan atau aku akan lapor polisi!" Anjani berkata dengan suara melengking. "Lepaskan tangan kotormu!" Suara bariton itu terdengar, sontak Anjani melihat ke sumber suara dan dia terkejut dengan orang yang datang itu. Dewa penyelamat datang!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN