bc

YOU'RE MY OBSESSION

book_age18+
19
IKUTI
1K
BACA
billionaire
revenge
dark
family
HE
arrogant
badboy
heir/heiress
drama
bxg
serious
like
intro-logo
Uraian

Kesalahan fatal dalam menerima sebuah pekerjaan tanpa disadari menyeret Lopita ke jurang dunia kelam. Takdir kejam memaksanya menanggalkan kebebasan dan menyandang status istri seorang mafia bengis yang namanya menggetarkan jagat hitam. Pernikahan yang seharusnya sakral, baginya adalah rantai dingin yang mengikat, sebuah pengorbanan pahit demi keselamatan nyawa sendiri dan orang-orang terkasihnya. Mampukah Lopita bertahan dalam cengkeraman sang penguasa kegelapan, ataukah ia akan terperangkap selamanya dalam labirin ketakutan dan keputusasaan?

chap-preview
Pratinjau gratis
PLAYING VICTIM
Di balik jendela mobil BMW M760i xDrive yang meluncur mulus, seorang pria menyunggingkan senyum samar, menyimpan rapat kepuasan atas negosiasi perdagangan ilegal yang baru saja ia menangkan. Sorot matanya yang dingin menyapu lanskap kota yang terlewati, sebelum akhirnya terpaku pada sebuah pemandangan menarik di pinggir jalan. "Tepikan mobilnya," titahnya singkat, sebuah perintah yang langsung dipatuhi sang sopir. Sementara itu, di sebuah gang sempit yang remang, drama kecil tengah berlangsung. Dua bocah lelaki berusia sepuluh tahun terlibat dalam pertikaian sengit. Yang satu bertubuh gempal, mendominasi lawannya yang lebih kecil dengan serangkaian pukulan dan tendangan yang membuat bocah itu kewalahan. Namun, kejayaan bocah besar itu terhenti tiba-tiba. Sebuah tangan kekar berbalut jas hitam mahal mencengkeram tubuhnya, membuatnya tak berkutik. Bocah yang lebih kecil hanya bisa terpana melihat lawannya tertahan. Kebingungan jelas terpancar di wajahnya. "Pukul hidungnya," suara dingin Leon mengarahkan. "Kesempatan tak datang dua kali," imbuhnya, menyiratkan ketidaksabaran. Seolah terhipnotis, bocah kecil itu mengumpulkan keberaniannya dan melayangkan tinju tepat ke batang hidung lawannya yang terkunci. Darah segar seketika menyembur dari kedua lubangnya. Sebelah sudut bibir Leon tertarik ke atas, membentuk seringai tipis, seiring dengan isak kesakitan bocah besar yang meronta sia-sia dalam cengkeraman pria kekar itu. "Ulangi lagi," perintah Leon, tampak menikmati pemandangan di hadapannya. Dengan senyum penuh kemenangan yang baru tumbuh, bocah kecil itu mengepalkan tangannya, bersiap melayangkan pukulan kedua. Namun, suara lantang seorang wanita tiba-tiba menginterupsi. "Johson!" Nada marah Lopita menggema saat ia menghampiri kedua bocah itu, rasa ingin tahu membayang di wajahnya. Merasa terganggu, Leon melepaskan bocah besar yang kini terisak. Mata Lopita membulat sempurna, bibirnya ternganga melihat darah yang mengalir di wajah bocah itu. "Ada apa ini?" serunya, segera mendongakkan kepala bocah yang terluka. Tangan bocah itu terulur, menunjuk Johson, si bocah kecil. "Dia memukulku," rengeknya di antara isakan. "Johson?" Tatapan tak percaya Lopita beralih pada bocah yang lebih kecil. Tak ingin menanggung seluruh kesalahan, Johson menunjuk ke arah pria yang sudah berbalik, hendak pergi dengan santainya. "Dia yang menyuruhku," bela Johson. Pandangan Lopita mengikuti arah telunjuk Johson, tertuju pada pria yang kini berjalan menjauh. Tak ingin membiarkannya lolos, Lopita segera mengejar dan menghadangnya. "Apa yang sudah kamu lakukan?" tanyanya penuh tekanan, menarik lengan jas mahal Leon hingga pria itu terpaksa berbalik, menatap wanita itu tanpa sedikit pun rasa bersalah. Dengan emosi yang meluap, Lopita mencerca Leon tanpa ampun. "Apa bocah ini lawan yang sepadan bagimu, huh? Apa nyalimu terlalu kecil hingga tak berani mencari lawan yang selevel!" Matanya berkilat marah, siap membakar siapa saja yang menghalanginya. "Bawa dia ke rumah sakit, atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi!" ancamnya dengan nada serius. Leon sama sekali tak terpengaruh. Bahkan ancaman itu tak mampu membuatnya bergeming. Ia justru mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan melakukan panggilan. "Kemari," ucapnya singkat sebelum menutup telepon. Lopita, dengan kedua tangan terlipat di depan, menatap pria itu dengan kebingungan. Ia tak mengerti maksud dari sikap dingin dan acuhnya. "Apa kamu ibunya?" tanya Leon dengan nada datar. "Bukan," jawab Lopita cepat. "Apa dia anakmu?" tanya Leon lagi. "Tidak," jawab Lopita. "Lalu, apa masalahmu?" sahut Leon enteng, sebuah respons yang mengejutkan Lopita. Tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik, berniat masuk ke dalam mobil hitam yang baru saja berhenti di ujung gang. Lopita tak ingin membuang waktu berdebat dengan pria sedingin es itu, sementara bocah yang terluka terus menangis dan darah tak berhenti mengalir dari hidungnya. Ia memutuskan untuk segera bertindak, memeriksa kondisi bocah itu dan mencari solusi. Baru saja Leon mendudukkan diri di jok belakang setelah pintu dibukakan oleh sopirnya, tiba-tiba Lopita, menggandeng bocah besar yang masih terisak, menyela masuk ke dalam mobil. Ia mendesak Leon untuk bergeser, memberi ruang bagi dirinya dan kedua bocah itu. Ia tak peduli tubuhnya menabrak pria itu dan membuatnya terimpit di sudut kursi. Yang terpenting adalah segera membawa bocah itu ke rumah sakit. Sopir yang terkejut nyaris meraih pistolnya, namun isyarat tangan Leon menghentikan niatnya. "Seperti yang kamu lakukan. Aku tidak peduli. Sekarang bawa kami ke rumah sakit!" kecam Lopita, seolah membajak mobil mewah itu. Kini, jok belakang terasa sesak oleh empat orang, ditambah tangisan bocah yang membuat situasi semakin tak terkendali. Sopir masuk ke dalam mobil dan bertanya kepada atasannya, "Kita akan pergi ke mana, Mr. Leon?" "Rumah sakit," sahut Lopita tak sabar. "Apa kamu tidak melihat anak ini berdarah-darah?" protesnya. "Apa kalian tidak bisa pindah ke depan satu?" tanya Leon, merasa tidak nyaman dengan invasi mendadak ini. "Oh, tidak. Aku tahu pasti kamu akan mempermainkan kami lagi," jawab Lopita ketus. Sopir hanya melirik wajah Leon melalui kaca spion, menunggu instruksi. Tak lama kemudian, mobil itu melaju menuju rumah sakit. Selama perjalanan, Lopita terus mengamati kondisi bocah besar itu sambil sesekali menginterogasi Johson, tanpa sedikit pun mempedulikan kehadiran pria dingin di sampingnya. "Kamu dalam masalah besar, Johson. Ibumu pasti akan sangat marah padamu. Dan kamu harus siap berurusan dengan polisi karena hal ini," ujar Lopita dengan nada kesal, berusaha menakut-nakuti bocah kecil itu. Namun, ucapan Lopita justru memperburuk suasana. Johson ikut menangis, membuat kesabaran Leon menipis. "Sepertinya aku harus menjual organ tubuhmu untuk membayar semua ini," ancam Leon, tatapannya dingin dan serius. Lopita menoleh tajam ke arah Leon, matanya menyipit penuh selidik. "Apa kamu juga ingin membuatku menangis seperti bocah-bocah ini?" jedanya sejenak. "So funny!" tekannya, sama sekali tak gentar. Sebenarnya, membunuh wanita dan dua bocah ini adalah perkara mudah bagi Leon, namun ia merasa tantangan itu terlalu remeh dan membosankan. Akhirnya, mereka tiba di rumah sakit. "Ayo turun. Jika kamu mencoba kabur, maka akan aku kejar kamu sampai ke ujung dunia," ancam Lopita kepada Leon. Anehnya, Leon tampak tenang, seolah menganggap kejadian ini hanyalah sebuah permainan kecil. Sopir yang membukakan pintu segera berkata, "Mari, saya akan menyelesaikan administrasinya." Lopita melirik sinis ke arah Leon sebelum mengikuti sopir itu masuk ke dalam rumah sakit. Sementara itu, Leon merapikan jas mahalnya, mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Bocah besar itu segera mendapat penanganan medis di kamar VIP, lukanya ternyata tidak terlalu serius. Ketika bocah itu sendirian di ruangan, Leon datang menghampirinya. Rasa takut, bingung, dan trauma jelas terpancar di wajah bocah itu. "Kamu suka ruangan ini?" tanya Leon sambil berjalan mendekati tempat tidur. Bocah itu mengangguk kecil, ketakutan. Sementara Leon menatapnya dengan sorot mata dingin. "Main-mainnya sudah cukup hari ini." Ia duduk di tepi ranjang. "Kesabaranku sudah menipis. Kamu tidak mau kan jika aku benar-benar mengambil organ tubuhmu?" Seketika, keringat dingin membasahi dahi bocah itu. Ia menatap Leon dengan mata penuh ketakutan, lalu menggelengkan kepala dengan cepat. "Good," gumam Leon sambil mengangguk-angguk. "Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik." Setelah menyampaikan pesannya dengan singkat, Leon keluar dari ruangan itu tepat ketika orang tua Leon tiba bersama Lopita dan orang tua Johson. Diam-diam, Lopita merasa curiga dengan kepergian pria itu, namun ia harus mendampingi keponakannya untuk menyelesaikan masalah ini. Dan benar saja, cerita yang disampaikan bocah besar itu jauh berbeda dari kejadian sebenarnya di gang sempit tadi. "Iya, Ma. Tadi kami hanya bermain di gang, lalu tidak sengaja aku terpeleset dan menghantam lantai di sana. Johson malah berusaha membantuku," jelas bocah itu, kebohongan yang kentara. Namun, Lopita memilih untuk tidak memperkeruh suasana, mengingat tidak ada cedera serius dan semua biaya kamar VIP telah dilunasi oleh pria misterius itu. Rasa penasaran yang membuncah, bahkan setelah suasana mencair perlahan, mendorong Lopita untuk mencari sosok pria misterius berhati dingin itu. Ia bertekad mendapatkan jawaban atas pengakuan polos bocah kecil yang terindikasi kuat menyembunyikan kebohongan. Dengan langkah tergesa, Lopita berlari menuju lobi, namun sayang, matanya hanya menangkap siluet mobil mewah pria itu yang menghilang ditelan jalanan, tepat sebelum ia berhasil mencegatnya. Usahanya pun kandas, menyisakan tanya yang kembali menggelayut di benaknya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.6K
bc

TERNODA

read
198.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.9K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
34.5K
bc

My Secret Little Wife

read
131.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook