NEGOSIASI

1560 Kata
Di jantung gemerlap malam, panggung megah berbentuk huruf T membentang, bermandikan sorot lampu yang siap menari di atas keanggunan para model dalam balutan gaun. Dentuman ritmis musik DJ yang penuh energi memecah keheningan, menandai dimulainya parade keindahan. Satu per satu, para model muncul dari balik tirai, melenggak-lenggok anggun di atas catwalk, memamerkan pesona kaki jenjang yang terbungkus dalam siluet busana yang memukau. Awalnya, mata Leon hanya mengamati dengan tatapan datar, menyapu setiap detail busana yang lewat. Namun, sebuah kejutan tak terduga menghantamnya. Di antara para dewi malam itu, ia mengenali sesosok wanita yang beberapa hari lalu bertemu di gang sempit itu. Kini, wanita itu menjelma menjadi bintang panggung. Gaun atasannya yang berani mengekspos belahan depan berwarna lavender, dipadu dengan high heels senada, menciptakan harmoni yang memukau. Potongan gaun yang menjuntai anggun menyapu lantai di bagian belakang, berpadu kontras dengan belahan tinggi di bagian depan yang dengan berani memamerkan keindahan kakinya. Rambutnya tergerai bebas, menari liar mengikuti langkah lebar Lopita, berhasil menghipnotis seluruh pasang mata yang hadir. Leon membeku di tempatnya, tatapannya terpaku pada Lopita, seolah terhipnotis oleh metamorfosis yang terjadi di hadapannya. Sementara itu, Lopita merasakan sorot mata ratusan pasang mata tertuju padanya. Gugup menyeruak di tubuhnya, ini adalah debutnya sebagai model profesional. Matanya bergerak gelisah, mencari pijakan dalam keramaian, hingga tanpa sengaja bertumbukan dengan tatapan dingin Leon yang menusuk dari barisan depan. Pesona Lopita malam itu tak terbantahkan. Setiap gaun yang dikenakannya seolah bercerita, meninggalkan jejak kekaguman di benak para hadirin, memicu bisik-bisik penasaran tentang siapa gerangan wanita misterius ini. Usai fashion show yang memukau, para tamu undangan dan para model diarahkan menuju sebuah ruangan yang dipenuhi dengan hidangan mewah, sebuah surga kuliner tempat interaksi dan perbincangan hangat mengalir bebas. Di tengah kesibukannya memilih hidangan lezat, Lopita dikejutkan oleh kehadiran Leon yang tiba-tiba, tanpa permisi. Pria itu berdiri di hadapannya, segelas wine merah di tangan. "Kamu sudah salah karena berada di sini," ucapnya datar, seolah keduanya pernah menjalin hubungan sebelumnya. Lopita menarik napas dalam, mencoba meredam gejolak emosi yang tiba-tiba menyeruak. Ia menoleh, menatap tajam pria di hadapannya. "Apa kamu orang tuaku?" lontarnya sinis, mengulang pertanyaan yang sama seperti saat pertemuan tak mengenakkan mereka di gang sempit beberapa hari lalu. "Jangan pernah main-main denganku lagi," mata Lopita menyipit, sebuah peringatan bisu namun sarat ancaman. Leon tak menggubris nada ketus Lopita. "Aku menawarkanmu sesuatu," tatapannya intens, seolah sedang memegang kendali penuh atas percakapan ini. "Pergi dari sini sebelum semuanya terlambat." Alih-alih gentar, Lopita justru tertawa sinis, meremehkan peringatan Leon. "Kau pikir aku anak kecil yang bisa kau gertak? Jika aku mau, organ tubuhmu bisa kujual sebagai bayarannya. Oh, tidak," nada bicaranya berubah sinis, "rasanya aku ingin menangis melihat betapa bodohnya dirimu," cercanya, tanpa menyadari kebenaran pahit di balik kata-katanya sendiri. Leon menghela napas panjang, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Aku memperingatkanmu bukan karena belas kasihan, anggap saja ini caraku mengakhiri 'permainan' yang sudah ku mulai di gang sempit itu." Ia memberi jeda, menatap Lopita dengan sorot mata yang menusuk. "Jika kau anggap ini lelucon, jangan pernah berharap bisa keluar dari situasi ini dengan selamat," imbuhnya dengan nada dingin yang mengancam. "Anak kecil saja kamu ancam hingga membuat pengakuan palsu. Dan sekarang kamu mencoba bernegosiasi denganku?" Mata Lopita menyipit tak percaya, menantang Leon dengan tatapan merendahkan. "Apa kau iri melihat karirku melejit di sini?" Di tengah ketegangan yang menggantung di udara, seorang pria berjas rapi menghampiri mereka, membawa segelas wine di tangannya. "Hai, cantik," sapanya ramah kepada Lopita, lalu beralih ke Leon. "Halo, Mr. Leon, Anda menikmati acara ini?" Ia menyapa tamu VIP-nya dengan nada hormat. Leon hanya mengangguk ringan sebagai jawaban. Merasakan aura kecanggungan yang mulai menyelimuti mereka, pria yang ternyata adalah Jackson, manajer acara, kembali bertanya, "Everything is ok?" "Yeah, Mr. Jackson," sahut Lopita dengan senyum ramah, mengingat Jackson adalah orang yang memberinya kesempatan emas ini. "Ok, emh," Jackson melirik Leon dengan ekspresi tidak nyaman. "Sebenarnya ada yang ingin bertemu denganmu, Lopita, tetapi jika Mr. Leon sudah ...," "It's ok. Saya tidak punya urusan dengannya dan juga tidak mengenalnya," sela Lopita cepat, merasa lebih aman berada di dekat Jackson. "Ok," Jackson tersenyum lega, berniat memberikan gelas wine yang dibawanya kepada Lopita. Namun, sebelum gelas itu sampai ke tangan Lopita, Leon dengan gerakan cepat merebutnya dari tangan Jackson. "Aku yakin dia belum pernah meminum ini sebelumnya," ujar Leon dingin, seolah memiliki pengetahuan tersembunyi tentang isi gelas tersebut. Jackson membeku di tempatnya, tak berani membantah. Ia tahu betul siapa sebenarnya sosok Leon di balik fasad tamu VIP. Sementara itu, Lopita menatap Leon dengan tatapan protes, merasa terhina dengan sikap dingin dan arogannya. "Akan kubuktikan kalau aku juga pantas berada di sini!" bisik Lopita dengan nada rendah namun sarat amarah, lalu berbalik badan, meninggalkan Leon dan Jackson yang tampak canggung di belakangnya. Sejujurnya, Leon tidak terlalu peduli dengan nasib wanita itu. Pertemuan singkat di gang sempit itulah yang membuatnya merasa terusik, sebuah firasat buruk bahwa wanita itu mungkin akan terjerumus ke dalam dunia kelam. Namun, ia telah mencoba memperingatkan, meski peringatannya disambut dengan penolakan. Setidaknya, setelah malam ini, ia tidak akan lagi bersinggungan dengan wanita keras kepala itu. Sebelum benar-benar pergi, mata Leon menangkap sosok pria yang sedang berbicara dengan Lopita. Sebuah kilatan kesadaran melintas di benaknya: pria itu adalah salah satu pesaing bisnisnya yang licik. Leon meneguk habis wine-nya, menganggap permainannya di malam ini telah usai, dan kembali memfokuskan diri pada intrik dunia bawah yang menjadi kesehariannya. Leon kemudian memutuskan untuk kembali ke kamar hotelnya, meninggalkan kemeriahan acara yang belum mencapai puncaknya. Sementara itu, Lopita tampak menikmati setiap detik acara dan jamuan mewah yang tersaji. Apalagi, ia baru saja berkenalan dengan seorang pria bernama Elson yang berhasil membuatnya merasa nyaman dan terhubung dalam obrolan yang mengalir begitu saja. Diam-diam, Elson memberikan isyarat penuh minat kepada Jackson, sebuah kode nonverbal yang tak mungkin salah diartikan. Satu lirikan mata itu cukup bagi Jackson untuk mengerti maksud tersembunyi tamunya. Ia segera menghampiri Lopita dan Elson. Jackson berdehem pelan, mencoba menarik perhatian keduanya. "Excuse me, everyone." Lopita menoleh, teralih dari percakapannya dengan Elson. "Iya, Mr. Jackson?" tanya Lopita polos, tanpa menyadari bahaya tak kasatmata yang mulai mengintai di sekitarnya. "Lopita sayang, ada satu hal penting yang perlu kamu ketahui. Acara malam ini adalah bagian dari pekerjaan yang lebih besar," ucap Jackson dengan nada dibuat-buat serius, membuat jantung Lopita berdebar cemas, takut jika ia melakukan kesalahan tanpa disadari yang bisa berujung pada pemecatan. "Saya melihat Mr. Elson sangat terkesan denganmu, Lopita. Jadi, bagaimana kalau kita percepat saja penandatanganan kontraknya?" "Tanda tangan kontrak?" Lopita mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan Jackson. Tiba-tiba, Elson meraih tangannya dengan sentuhan lembut namun terasa asing. "Bekerja sama dengan perusahaan milikku," jelas Elson dengan senyum sopan yang berusaha meyakinkan. "Dan tentu saja, gaji yang akan kamu terima dua kali lipat dari bayaranmu malam ini," imbuhnya, menawarkan iming-iming kekayaan yang menggiurkan. Alih-alih curiga, mata Lopita justru berbinar bahagia mendengar tawaran tak terduga ini. Menjadi model semalam saja bayarannya sudah lumayan besar, apalagi jika diterima bekerja di salah satu perusahaan ternama. "Kapan saya bisa mulai bekerja?" tanya Lopita antusias, tak sabar menyambut peluang emas di hadapannya. "Dokumen kontrak ada di kamar saya. Saya tidak mungkin membawa berkas pekerjaan ke acara seperti ini," ucap Elson tenang dan sopan, menyembunyikan maksud tersembunyi di balik kata-katanya. Lopita menoleh ke arah Jackson, tatapannya penuh keraguan, seolah memberi isyarat bahwa ia tidak nyaman untuk pergi ke kamar seorang pria asing. "Tenang, cantik," Jackson mencoba meyakinkan dengan senyum palsu, "sebagai agensi terpercaya, tentu saja aku akan menemanimu selama proses ini." Lopita merasa sedikit lega mendengar jaminan Jackson. Baru kali ini Lopita menginjakkan kaki di kamar hotel seluas dan semewah ini, dengan d******i warna putih yang memancarkan kemewahan dingin. Ia duduk di sebuah sofa empuk bersama Jackson yang tampak sumringah. Sementara itu, Elson bergerak menuju meja, mengambil beberapa berkas yang katanya adalah dokumen kontrak untuk Lopita. "Ayo minum dulu supaya wajah tegangmu hilang," tutur Jackson sambil menyodorkan segelas minuman bening tanpa warna kepada Lopita. Begitu menyesapnya, Lopita langsung memuntahkan isinya. "Apa ini?" Lopita merasakan sensasi terbakar yang aneh di tenggorokannya. "Tequila," jawab Jackson singkat, tanpa ekspresi. "Dia tidak seperti kamu, jangan beri minuman yang macam-macam," tegur Elson sambil menghampiri Lopita dengan segelas orange juice. Ia menyerahkan minuman itu kepada Lopita sebelum duduk dan meletakkan beberapa berkas dokumen di atas meja. Lopita meneguk orange juice yang terasa manis dan menyegarkan. Tiba-tiba, ponsel Jackson berdering. Ia berpamitan untuk mencari tempat yang lebih tenang sebelum menjawab panggilan tersebut, meninggalkan Lopita berdua dengan Elson. "Baca dulu perjanjiannya dengan teliti, setelah itu kamu bisa menandatangani kontrak ini," jelas Elson sambil tersenyum tipis. Lopita pun meraih dokumen itu dan mulai membaca halaman pertama. Saat membuka lembar kedua, kepalanya mulai terasa berat dan pusing. Tubuhnya terasa panas, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar dan fokus pada barisan kalimat di hadapannya. "Ada apa?" tanya Elson pura-pura khawatir, menyadari pandangan Lopita mulai mengabur. Dengan sisa kesadarannya yang menipis, Lopita berusaha bangkit sambil memanggil nama Jackson dengan suara tercekat. "Mr. Jackson? Mr. Jackson ...," Elson dengan sigap merengkuh tubuh Lopita yang mulai limbung. "Jackson sedang ada urusan, Sayang ...," bisiknya dengan nada rendah yang mengancam. Lopita meronta lemah, mencoba melepaskan diri dari dekapan Elson, namun tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Kini, kesadaran pahit menghantamnya: ia telah diberi obat bius. Apa yang dikatakan Leon bukanlah isapan jempol belaka, ia berada dalam bahaya besar. Tanpa menunggu lebih lama, tangan Elson mulai menjelajahi, bibirnya mulai mengecupi setiap jengkal tubuh Lopita yang tak berdaya di tengah kesadarannya yang semakin menghilang. Oh, tidak!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN