Obat bius yang menggerogoti tubuh Lopita membuatnya limbung, namun bara perlawanan dalam dirinya belum padam. Otaknya berputar cepat, mencari celah untuk lolos dari cengkeraman maut yang mengalir dalam nadinya.
Elson mencampakkan tubuh Lopita ke sofa, seolah hanya sebongkah boneka tanpa bobot. Di tengah sisa kesadarannya yang menipis, secercah ingatan melintas kalau ada semprotan sunscreen di dalam tas yang tergeletak di punggungnya. Mungkin benda kecil itu bisa menjadi penyelamatnya dari ruangan neraka ini.
Sementara itu, Elson menindih tubuh Lopita, hawa nafsu dan gairah membakar matanya. Tangannya tak sabar menjelajahi setiap inci kulit Lopita yang halus, seolah menikmati kelembutan di setiap pori-porinya. Saat Elson terlena dalam permainannya yang menjijikkan, tiba-tiba pekikan kesakitan memecah keheningan. Matanya perih, membutakan akibat semprotan sunscreen yang mengenainya tepat sasaran. Dengan geram, Elson terhuyung mundur dari tubuh Lopita, namun amarahnya tertahan oleh perih yang menusuk matanya.
Tak sudi menjadi santapan pria jahat itu, Lopita meraih vas bunga di meja dan menghantamkannya ke kepala Elson. Tubuh Elson kembali tersungkur, ringisan kesakitannya menggeramkan sumpah serapah, "b***h!"
Dengan tubuh sempoyongan, Lopita berjuang keluar dari kamar terkutuk itu. Di lorong hotel, dorongan untuk berteriak meminta tolong begitu kuat, namun ia menggigit bibirnya, menyimpan tenaga untuk meloloskan diri dari kejaran Elson. Pandangannya kian kabur, tubuhnya terasa semakin berat dan membara, namun ia terus menyeret langkahnya, mencoba membuka setiap pintu kamar, mencari pertolongan sebelum kegelapan benar-benar menelannya.
Pintu pertama terkunci rapat, begitu pula pintu kedua dan ketiga. Keputusasaan mulai mencengkeram hatinya, tubuhnya terasa tak lagi bisa dikendalikan. Namun, di pintu berikutnya, saat tangannya meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Tubuh Lopita ambruk ke dalam pelukan seorang pria yang sigap menahannya, meski harus mundur beberapa langkah, namun keduanya selamat dari jatuh. Pintu kembali tertutup.
Pria itu, Leon, hanya menghela napas dalam. Ia sudah menduga kemungkinan ini. Hanya saja, wanita ini sungguh keras kepala.
"Selamatkan aku ...." desis Lopita dengan napas tersengal, tubuhnya justru semakin merapat pada Leon, mencari kehangatan dan perlindungan. Bahkan, tangannya mulai berani menyentuh bagian depan tubuh Leon dengan gerakan yang ambigu.
Melihat reaksi aneh wanita itu, Leon menjauhkan tubuh Lopita, meneliti gestur wajah dan tubuhnya dengan saksama. Seketika, ia mengerti jenis obat apa yang telah meracuni wanita ini.
"Sepertinya efek obatnya mulai bekerja," Leon berdecak pelan.
Kepala Lopita terkulai di bahu Leon tanpa permisi, suaranya parau dan berat. "Panas sekali ..., tubuhku seperti terbakar ...," desahnya penuh keputusasaan dan hasrat yang membara. "Tolong aku ..., ini menyiksa ..., tolong ...," tangan Lopita semakin berani merayapi tubuh Leon, memohon tanpa sadar, kesadarannya telah sepenuhnya dikuasai oleh pengaruh obat misterius dari minuman Elson.
Wajah Lopita memerah padam, tak mampu lagi menahan gejolak dalam dirinya. Ia seperti wanita liar yang merindukan sentuhan, tubuhnya menggeliat tak terkendali, menempel erat pada Leon.
Pria normal mana yang bisa menolak godaan di situasi seperti ini? Bibir Leon tertarik ke atas, membentuk seringai dingin, seolah siap menerkam mangsa yang tersesat. "Jika itu maumu," ucapnya singkat, kesadarannya penuh, namun lawannya telah sepenuhnya terjerat pengaruh obat perangsang.
Tanpa ragu, Leon menenggelamkan kepalanya di leher Lopita, memberikan gigitan nakal yang memicu erangan lirih dari bibir wanita itu. Tangannya mulai menjelajahi setiap lekuk tubuh Lopita, membawanya menuju ranjang king size yang mewah tanpa melepaskan cumbuan panasnya.
Tubuh Lopita terpental kecil saat Leon melemparnya ke atas kasur, lalu pria itu menindihnya, kembali melumat bibirnya dengan kasar. Di bawah pengaruh obat yang kuat, tak ada perlawanan berarti dari Lopita, justru ia merindukan pemuasan hasratnya, meski dalam keadaan tak sadar. Dengan gerakan tak sabar, Leon melucuti pakaian Lopita satu per satu, lalu dengan gairah yang membara, ia melepaskan jas dan kancing kemejanya.
Awalnya, Leon hanya bermain-main, mengimbangi pengaruh obat itu. Namun, semakin lama, ia terhisap ke dalam pusaran kenikmatan yang tak terduga, hingga akhirnya ia merobohkan batas di antara mereka, membuat Lopita mengerang kesakitan.
"Sakit ...,"
Leon membeku setelah tubuh mereka menyatu sepenuhnya. Ia menatap Lopita, menyadari betapa luar biasanya wanita di hadapannya. Sesaat itu, Leon terpaku, terpesona oleh Lopita. Lalu, ia kembali bergerak perlahan, menenggelamkan diri dalam gelombang gairah yang meledak-ledak di situasi yang tak pernah terbayangkan.
Begitulah mereka menghabiskan sisa malam, terjerat dalam kenikmatan yang memabukkan, hingga pengaruh obat itu benar-benar sirna.
Keesokan harinya, seberkas sinar matahari pagi menyelinap di antara celah gorden, membangunkan sang putri tidur yang kelelahan usai pertempuran panas semalam. Di balik selimut hangat tanpa sehelai benang pun, kepalanya terbaring di tubuh seorang pria yang bahkan belum pernah ia kenal sedekat ini. Perlahan, matanya terbuka, rasa pegal linu menjalar di sekujur tubuhnya. Ia berusaha mengingat kembali kepingan-kepingan kejadian semalam, hingga kesadarannya tersentak saat menyadari kepalanya berada di tubuh orang lain. Jantungnya berdebar kencang, hampir melompat keluar dari rongga dadanya. Seketika, ia terduduk, dan kengerian kembali menghantamnya saat melihat tubuhnya telanjang, begitu pula pria di sampingnya yang kini tertidur lelap di balik selimut—Leon. Parahnya lagi, bercak darah menghiasi sprei tempat mereka berbaring. Wajah Lopita pucat pasi, matanya mulai mendung menahan air mata yang begitu saja basah, jantungnya bergemuruh membayangkan masa depannya yang hancur berkeping-keping.
Merasakan pergerakan, Leon terbangun tanpa sedikit pun rasa bersalah. Ia terduduk, mengusap wajahnya sekali, lalu memijat pelan matanya, berusaha mengumpulkan kesadarannya sepenuhnya. Ia memperhatikan Lopita yang tampak tak lagi di bawah pengaruh obat, namun Leon berpura-pura bodoh. "Apa kamu masih mau lagi? Apa semalam belum cukup?"
Reaksi pertama Lopita adalah tamparan keras yang mendarat di pipi Leon, sebuah respons spontan yang dipenuhi rasa jijik, amarah yang membara, dan luka yang menganga, beriringan dengan air mata yang tak tertahankan membasahi pipinya.
Leon yang mengelus bekas tamparan itu dengan gerakan cepat kembali menindih tubuh Lopita, menguncinya dalam cengkeramannya hingga tak mampu bergerak. Hembusan napas mereka saling bertautan, hanya berjarak beberapa senti.
Dengan kesadaran penuh, Lopita memberontak, berusaha menghindari cumbuan kasar dari Leon. Ia berteriak dan menjerit, namun semua sia-sia karena kamar itu kedap suara.
"Teruslah berteriak, aku suka teriakanmu," ucap Leon dengan nada liar.
"Lepas! Tolong! Tolong!" Lopita meronta, mencoba melepaskan diri.
Bukannya panik, Leon justru menyeringai sinis. "Akan kukembalikan ingatanmu tentang semalam, agar kau mengingat setiap detail apa yang kita lakukan sepanjang malam," kemudian Leon semakin gencar menyatukan dirinya dan wanita itu dalam kesadaran penuh.
Hingga akhirnya, Leon berhasil merobek paksa kehormatan Lopita, bersamaan dengan tangisan kesakitan wanita itu. Leon tak peduli, ia lebih memilih menikmati setiap erangan kesakitan mangsanya yang terdengar begitu nikmat di telinganya.
Tubuh Leon terus bergerak maju mundur dengan penuh gairah dan tanpa belas kasihan. Bahkan, tanpa sadar, beberapa kali Leon mengerang nikmat di tengah perlawanan sia-sia Lopita, yang sesekali tubuhnya sendiri berkhianat, menikmati sentuhan paksa dan brutal dari Leon.