Sejak mimpi buruk pembantaian membayangi keluarganya, terutama sang kakak terkasih, Lopita kehilangan setiap inchi keberanian untuk melawan. Ia terperangkap dalam jaring-jaring ketakutan yang tak kasatmata, memilih kepatuhan buta pada setiap dekrit Elson. Dunia di sekelilingnya kehilangan warna, meredup menjadi monokrom keputusasaan. Ia adalah eksistensi tanpa jiwa, terombang-ambing di lautan kegelapan, menanti ombak siksaan neraka berikutnya menghantamnya. Di tengah hiruk pikuk pameran seni yang dipenuhi gemerlap kekayaan dan keangkuhan kaum elite, Lopita terisolasi dalam sebuah ruang privat yang ironisnya didesain untuk kenikmatan duniawi, namun baginya menjelma menjadi sel penyiksaan pribadi. Sofa-sofa beludru yang seharusnya memanjakan tubuh justru menjadi saksi bisu ketidakberdayaan

