DIPAKSA MENIKAH DENGAN PRIA MISKIN
Ada dua hal yang tidak dipercayai oleh Ratu Purbaningrum, satu hantu dan dua cinta. Menurutnya apa pula yang dinamakan cinta. Benda aneh apa itu yang sampai membuat wanita dan pria saling berdekatan sama lain. Membayangkannya saja membuatnya muak. Bukan apa-apa, tapi bertekuk lutut di hadapan pria menurutnya adalah barang haram yang harus dijauhi seperti babi.
Menurut buku yang dia baca, tidak ada yang namanya benar-benar cinta. Jika seseorang mencintai orang lain karena orang lain itu mencintainya, itu bukan cinta tapi empti, Jika cinta karena uang, itu bukan cinta tapi sekadar tertarik. Jika cinta karena penampilan, itu dinamakan obsesi, dan jika cinta karena pandangan pertama, itu juga bukan cinta tapi gairah. Kata orang mencintai itu hal yang mudah dan menyenangkan. Tapi bagi seorang Ratu Purbaningrum, yang membuatnya bahagia adalah uang.
Tapi sudah capek-capek cari uang yang menurut Ratu bisa membahagiakan kedua orang tuanya, eh orang tuanya malah bilang kalau yang bisa membahagiakan mereka adalah melihat Ratu menikah.
“Apa tidak ada hal lain, Bu, Yah? Ratu bisa loh belikan gedung baru, atau pesawat pribadi. Tapi please jangan nikah!” bantah Ratu.
“Lah kamu pikir, Ayah dan Ibu juga ndak bisa beli sendiri?” sanggah Pak Danaswara.
Ratu memutar bola matanya. Selalu saja seperti ini. Kadang Ratu bingung sendiri mau memberi hadiah apa kepada orang tuanya, orang mereka juga bisa beli sendiri.
“Sampai kapan kamu jadi perawan terus, Rat? Umurmu sudah tiga puluh, lho,” tambah Bu Danaswara – ibu kandung Ratu sendiri.
“Cowok itu semuanya b******k kecuali Ayah, Bu. Ya masa Ratu mau nikah sama mereka. Yang benar saja. Mereka pasti kalau nikah cuma mau mengincar harta Ratu, ya kan? Nggak ada yang namanya cinta. Ratu juga nggak mau ya takluk sama cowok.”
Mempunyai nama Ratu itu sebuah kebanggan sendiri. Ratu berbeda dengan seorang putri. Ratu tidak perlu meminta untuk diselamatkan oleh siapa pun. Tidak seperti putri yang sedikit-sedikit meminta diselamatkan oleh pangeran. Ketika di istana yang dan disekap naga saja, putri hanya menunggu, sedang kalau seorang ratu pasti melawan. Dia berjalan di atas kakinya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Maka dari itu Ratu tidak percaya cinta, dia hanya percaya kekuasaan.
“Ada satu pria teman ayah yang tidak pernah peduli pada harta, Rat. Dan kamu harus menikah dengannya. Kalau tidak, semua aset ayah, akan ayah jual dan sumbangkan ke dinas sosial,” tandas Pak Danaswara. Dia sudah sangat bosan menasehati putri semata wayangnya. Sedari umur dua puluh tujuh sampai sekarang, dia tidak pernah absen sehari pun menasehati putrinya untuk menikah, tapi hasilnya? Nol besar.
“Tapi Yah!”
“Keputusan Ayah sudah bulat. Menikah atau semua aset akan Ayah berikan kepada dinas sosial,” ulang Pak Danaswara. Dia meletakkan sebuah foto di depan Ratu sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan putrinya sendirian. Istrinya pun mengikuti Pak Danaswara dari belakang.
Ratu menghela napas. Dia pun mengambil foto yang diberikan ayahnya. Sebuah foto yang menampilkan seorang pemuda dengan perawakan tinggi, hidung mancung, rambut cokelat, dan mata biru.
“Really?” desah Ratu.
Dia tak menyangka harus menikah dengan orang yang ada di foto ini. Memangnya siapa dia sampai Ayah Ratu bisa yakin dengan pria seperti. Siapa gerangan pemuda dengan senyum sedikit manis seperti ini mampu membuat ayahnya yakin akan menjadikannya mantu.
“Aku akan cari tahu siapa lelaki ini? Seberapa pantas sih kamu jadi calon aku. Enak aja mau jadi bagian dari keluarga Ratu,” desis Ratu kesal.
Ratu menaruh foto yang diberikan ayahnya ke dompetnya. Dia jinjing tas shopper bag-nya dan pergi. Ada latihan taekwondo yang harus dia hadiri hari ini.
***
“Heran deh, kenapa Ayah yakin banget kalau pria itu bisa jadi suamiku,” caci Ratu. Dia melampiaskan amarahnya dengan memutar tendangannya dan mematahkan papan yang dipegang oleh temannya, Ami.
Bagi Ratu inilah seni bela diri yang paling cocok adalah taekwondo. Dia bisa menghajar para lelaki b******k di luar sana tanpa harus mengotori tangannya. Taekwondo yang menitik beratkan kekuatan kaki membuat Ratu yakin kalau hanya kaki yang pantas menyentuh para lelaki tak tahu diri.
“Mungkin memang dia sebaik itu. Katamu, kamu punya fotonya, coba lihat!” pinta Ami.
Ratu mengembuskan napasnya. Dia pun pergi ke kursi istirahat lalu mengambil handuk kecil. Ratu juga mengambil foto dari dompetnya lantas dia berikan kepada Ami.
“Ya ampun, ganteng banget. Masa sih, kamu nggak tertarik sama dia. Mustahil!” decak Ami kagum.
“Mau itu seganteng pangeran di negeri dongeng, aku juga nggak bakalan tertarik, Mi. Kamu kan tahu sendiri kalau aku nggak percaya cinta. Cinta itu bulshit. Coba gantengan mana sama cowok yang ngejar-ngejar aku dulu?” tanya Ratu.
“Gantengan cowok itu, sih,” jawab Ami.
“Kan …. Kayanyanan juga cowok yang kemarin. Lah ini asal-usulnya aja nggak jelas. Dari pakaian yang dia pakai juga kayaknya orang pas-passan. Aku heran kenapa Ayah bisa mau nikahin aku dengan dia. Kalau maksa nikah, kenapa nggak sama orang kaya juga,” cerocos Ratu.
Ami hanya bisa mengangkat bahunya. Kendati Ratu mau curhat sampai mulutnya berbusa pun, Ami tak tahu apa yang harus dia lakukan.
“Ikut aku yuk! Kita selidiki sebenarnya siapa pria yang membuat Ayah sampai yakin aku harus menikah dengannya!”
“Ok. Nanti kalau kamu nggak mau, biar buat aku aja!”
“Terserah!” kata Ratu masih ketus dengan keputusan ayahnya.
Setelah bersih-bersih badan, kedua orang itu pun menaiki Mobil Rubicon milik Ratu. Ayahnya hanya menunjukan foto si pemuda, namun dengan cepat Ratu mengetahui siapa namanya dan di mana dia kerja. Hobinya yang menyelidiki suatu masalah membuat dia segera sigap mengatasi segala macam masalah terutama soal informasi.
“Ini beneran dia kerja di sini?” tanya Ami tak percaya ketika melihat sebuah bangunan yang sedang dibangun.
Ratu mengangguk. “Makanya aku tambah heran kenapa pula Ayah mau menikahkan dengan kuli seperti ini?” decak Ratu. Dia pun segera masuk ke area konstruksi. Meski awalnya dilarang, tapi Ratu memaksa.
Seorang pria dengan wajah gagah serta mata biru yang menyala pun mendatangi gerbang. Dia yang tengah menjelaskan perkembangan bangunan kepada investor pun mendatangi Ratu. Pria itu menyerahkan urusannya kepada wakilnya.
“Ada apa ini?” tanyanya.
Ratu dan Ami pun menoleh. Mereka dapat melihat orang yang mereka cari sedari tadi. Pria dengan jambang halus, mata biru, dan hidung mancung. Tubuhnya tegap dan ototnya terbentuk sempurna. Bagi Ami keringat yang menghiasi wajah si pria, menambah kesan keperkasaan yang dia miliki. Baru kali ini Ami melihat pria gagah di bangunan kotor seperti ini. Dia seperti melihat berlian di antara tumpukan sampah. Ami yakin jika taraf ketampanan pria ini diukur, maka alat pengukurnya akan rusak, karena sama sekali tak dapat menakar wajahnya. Gantenganya terlalu maksimal.
Namun berbeda dengan Ratu. Kesan yang sampai di benaknya adalah pria ini jorok. Lihat saja wajahnya yang penuh dengan keringat dan juga debu.
Dia daritadi menjelaskan semua bentuk bangunan kepada para investor dengan penampilan acak-acakkan seperti ini? Benar-benar tak masuk akal.
“Ini, Pak. Tadi mereka mau menemui Anda, tapi karena tidak memiliki izin, jadi saya larang masuk,” jelas satpam.
Si pria pun memandang Ratu. Ratu pun menantang pandangan si pria. Dalam kamus hidupnya, dia paling sebal diperlakukan seperti ini. Dipandang rendah, apalagi oleh seorang pria.
“Bu, kalau mau menemui saya, harus buat izin dulu, ya. Dan harus mengenakan perlengkapan kerja.” Pria itu pun mencopot helmnya dan mengenakannya ke Ratu.
Ratu tercengang. Dia tidak percaya kalau dirinya dipanggil Bu, apakah dandanannya setua itu? Padahal jika disuruh memakai seragam SMA, Ratu yakin dirinya masih pantas. Tapi kenapa pria yang katanya akan jadi suaminya malah memanggilnya, Bu?
Ratu melepas helm bangunan yang dipakaikan pria di hadapannya. Dia sangat risih diperlakukan seperti ini. “Langsung saja! Berapa uang yang kamu berikan kepada Ayah sampai dia mau menikahkan pria miskin sepertimu denganku?” tandas Ratu. Dia benar-benar tak betah berada di area konstruksi seperti ini. Kotor, panas, dan berdebu.
Si pria tertawa. “Uang? Ibu pikir uang saya seberapa? Saya hanya seorang karyawan.”
“Stop panggil saya Ibu! Anda itu lebih tua dari saya!” bentak Ratu. Tak peduli dengan wajah ramah milik lawan bicaranya, tak peduli dengan mata birunya yang begitu menawan, yang ada dalam hati Ratu sekarang hanyalah kebencian.
“Kita kan belum kenalan, jadi boleh dong saya panggil Bu,” seringai si pemuda.
Ratu melemparkan tatapan sinis. “Saya tak sudi berkenalan dengan pemuda seperti Anda ya, apalagi menikah denganmu!” Ratu pun balik badan dan bersiap pergi. Dia menyeret Ami yang masih saja terpaku menatap ketampanan calon suami Ratu.
Si pemuda menaikkan kedua alisnya. Dia tertawa, “Baiklah, jika itu yang kamu mau, Ratu Purbaningrum. Tapi yakin bisa batalin pernikahan kita yang akan digelar satu bulan lagi?”
Ratu menghentikkan langkahnya. Dia pun membalikkan badannya lagi. “Satu bulan?” tanyanya tak percaya. Baru pagi ini dia mendengar bahwa akan dinikahkan. Rasa kagetnya pun masih belum hilang, lalu kini dia dikagetkan lagi dengan kabar waktu pernikahan. Yang benar saja!