Ternyata pemotretan yang dimaksud, masih dilakukan oleh anggota Star One. Parahnya, pemotretan tersebut tidak dilakukan di ruangan tadi, melainkan di luar gedung. Hanna tengah berada di kursi mobil berbentuk bus mewah yang juga tumpangi oleh Star One.
Ia sibuk memainkan ponsel pintarnya, tak mengindahkan obrolan mereka yang sangat berisik. Tampaknya mereka sesekali juga tengah syuting untuk program pribadi yang khusus dibuatkan oleh agensi tempat mereka bernaung untuk mereka. Hanna punya pekerjaan yang harus ia selesaikan dengan cepat. Karena tidak ada laptop, terpaksa ia harus menggunakan ponsel.
“Hei nona laki-laki. Kenapa dari tadi hanya diam saja saja?" Seseorang menepuk bahu Hanna. Ia menoleh ke arah laki-laki yang bernama Vlo itu.
“Namamu siapa, nuna?”
'Anjir, tampang gua setua itukah?' gumam Hanna dalam hati.
“Hanna,” jawabnya pendek.
“Oke nuna Hanna. Salam kenal. Aku Vlo” Hanna membalas jabatan tangannya. Masih sedikit heran kenapa namanya seperti nama cewek.
“Kau bekerja sebagai apa, nuna? Dari tadi aku lihat kau sibuk terus dengan hp-mu itu.” Dia menatap Hanna dengan penuh minat. 'Seperti anak Anjing saja,' gumamku. 'Kayak minta dikarungin saja.'
“Hanna. Cukup panggil dengan nama itu. Lagi pula aku pikir aku lebih muda darimu.” Hanna sedikit tersenyum.
“Haha. Siap Hanna. Memangnya kau lahir di tahun berapa?”
“Apa kau berniat untuk merayakan ulang tahunku?” Ia sedikit bercanda karena sepertinya Vlo suka bercanda.
“Tentu saja. Aku akan dengan senang hati melakukannya, kita masih bisa terus melanjutkan hubungan ini.” Mendengar perkataan Vlo yang terkesan mendramatisir itu, teman-temannya langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan Hanna bisa melihat Sura tertawa. Padahal ia tahu betul laki-laki itu dari tadi bersikap sangat acuh dan dingin. Hanna sedikit menaikkan bibirnya.
“Kau berusaha menggombalinya," ujar Jacop.
"Kau benar-benar terlihat seperti buaya sekarang, hyung." Jeno juga ikut mengejek Vlo. Laki-laki itu hanya tertawa saja dan masih menatap Hanna, menunggu jawaban gadis itu.
“1996.” Hanna hanya menjawab dengan satu kata tak berminat melanjutkan percakapan. Ia kembali menyibukkan diri dengan ponsel.
Hanna mulai jenuh dengan perjalanan ini. 'Kenapa dari tadi belum sampai-sampai juga?' Kenapa ia merasa bahwa dirinya tidak akan segera kembali ke kasur tercinta. Terlepas dari itu, ia sangat lapar. Perutnya terasa mulai memberontak. Hanna tersenyum miring. Sepertinya perutnya terakhir di isi kemaren sore. Ia tambah lapar saat melihat Jeno yang tengah sibuk memakan cemilannya. Mau memintapun Hanna juga gengsi.
“Kau bosan?” Jun bertanya pada Hanna.
“Sedikit.”
“Kau bisa tidur dulu. Perjalanannya masih panjang. Sekitar 3 jam lagi. Belum termasuk perjalanan menggunakan Kapal. Atau apa kau lapar?” tanyanya lagi.
“Astaga." Hanna berteriak kaget. "Memangnya kita mau kemana? Kenapa bisa selama itu?” Akhirnya kebiasaan mulut nyinyirnya datang. Sementara tangan gadis itu mengelus perut dengan sayang.
“Kita akan ke pulau Cheongsando.”
“Maksud oppa, kita akan menginap di sana?” Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja, sekarang sudah sore. Paling tidak kita baru akan sampai disana malam hari. Otak Hanna memang suka lemot kalau sudah capek.
“Memangnya PD Nim tidak memberi tahu kalau kita akan berada di sana selama tiga hari? Selain pemotretan, kita juga akan syuting di sana.” Dia malah balik bertanya. Hanna merasa dunia runtuh seketika. Ia merosot dari kursi yang tengah diduduki. Terlihat tak berdaya.
“PD Nim.” Hanna berteriak geram pada laki-laki gemuk yang duduk tidak jauh dari kursinya. Tampaknya dia tengah sibuk mengerjakan sesuatu.
“Kenapa kau berteriak-teriak, nona? Saya bisa mendengarmu dengan jelas.” Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar tabletnya, sementara jari-jarinya terlihat tengah sibuk mengetikkan sesuatu.
“Kenapa tidak bilang kalau kita akan ke Cheongsando?”
“Kau sendiri tidak bertanya dan hanya mengiyakan saat aku mengatakannya tadi.”
'Astagah. Aku merasa ingin membunuh orang. Kapan dia memberi tahuku? Memberi tahu apa sih? Mendadak aku tidak nyambung dengan PD Nim.'
“Seharusnya anda memberi tahu saya. Saya bahkan belum makan sehari ini, terlepas dari itu, bahkan saya tidak membawa apa-apa.”
'Bahkan aku tidak membawa dompetku.' Hanna semakin merosot dari kursi sembari mengusap perutnya dengan sedih.
“Nanti kita akan makan malam sebelum menyeberang. Nanti kau juga bisa mencari baju di toko terdekat.” Hanna ragu dengan kata toko terdekat. Ia membalikkan badan, tak mengacuhkan PD Nim yang juga tampak tak peduli terhadap Hanna.
“Aku akan membunuhmu, Ae Ri,” umpatnya dalam bahasa Indonesia. Tiba-tiba sebungkus roti mendarat di muka gadis itu. Ia kaget saat benda berbentuk persegi itu sukses menampar jidatnya. Hanna merasa kesal, terlebih saat melihat siapa yang melemparkannya. “Ya. Kau tak bisa memberinya dengan benar, oppa?” Gadis itu berteriak kesal. Ia tak bisa bermanis-manis lagi. Kalau dipikir-pikir ucapannya dari tadi tidak ada yang manis.
“Aku sudah memberikannya dengan benar," jawabnya singkat dan kembali tidur. Hanna menatap Sura dengan kesal. 'Oh Tuhan, ingatkan aku untuk tidak membunuh laki-laki ini. Hari ini benar-benar menguras emosi. Aku yang biasanya bisa mengontrol emosi sekarang menjadi lepas kendali. Sepertinya aku butuh istirahat dan makan.'
“Maaf ya. Sura hyung memang seperti itu. Maksudnya baik kok, tapi dia memang tidak terlalu pandai dalam mengungkapkannya,” ujar Jeno.
Hanna hanya tersenyum. Membuka roti yang tadi dilemparkan oleh Sura dan kemudian memasang headfree bloutooth-nya. Baru beberapa menit ia tenggelam dalam dunia yang damai. Tiba-tiba Jeimin sudah duduk di sebelah Hanna dan mengambil satu bagian headfree kemudian memasangkan ke telinganya sendiri dan ikut mendengar.
“Wah, lagunya bagus. Tapi aku tidak mengerti bahasanya. Ini lagu mana?”
“Ini lagu Indonesia.” Hanna memang tengah mendengarkan lagu lama yang dinyanyikan oleh Rossa dengan judul Hati yang Kau Sakiti.
“Kau lagi patah hati ya?”
“Bagaimana oppa bisa berkata seperti itu? Kan tidak tahu artinya.”
“Itu yang dinamakan telinga musisi dan hati seorang seniman.” Hanna tak bisa mengontrol tawanya saat mendengar ucapan Jacop yang ikut nimbrung. Laki-laki itu berdiri di atas lutut di kursi depan Hanna. Ia memandang Hanna dan Jeimin dengan penuh minat.
“Ya. Itu sama sekali tak terlihat seperti dirimu, oppa.”
“Ternyata kau bisa tertawa juga ya?” komentar Jeimin.
“Memangnya aku batu?” Hanna baru sadar jika suara tawanya cukup keras untuk mengundang perhatian.
“Nah, gitu dong. Kalau tersenyum gitu kan baru kelihatan kalau kau itu perempuan.”
“Ya, memangnya aku lelaki.” Hanna mendelik kesal pada Jeimin.
“Kau lupa perkataan PD Nim tadi pagi?” Jacop sedikit berbisik. Hana mengangguk setuju dan kembali memakan rotinya.. “Ini lagunya maknanya apa?”
'Astaga dia belum melupakan tentang lagu itu.'
“Tentang seorang perempuan yang disakiti oleh laki-laki dan ditinggalkan demi perempuan lain.”
“Aigo. Malang sekali nasibmu, nak.”
“Ya, aku tidak bilang kalau itu adalah aku.”
“Arasso..arasso. Mau dengar aku nyanyi nggak?” tawarnya.
“Oppa mau nyanyi?” Hanna memandanginya dengan penuh minat.
“Khusus untukmu.” Gadis itu kembali tertawa mendengar guyonan Jacop. Dia mulai menyanyikan sebuah lagu yang tidak Hanna ketahui tapi terasa tidak asing. Vlo yang semula tidur ikut bernyanyi, begitu juga dengan Jeno, Jeimin, dan Jun. Hanya Sura yang tampak acuh tak acuh. Sementara Rein, dia dari tadi sibuk membaca. Bus pun kembali ramai. Usai menyanyi mereka membuat kekonyolan-kekonyolan lain yang membuta Hanna tak bisa berhenti tertawa. Gadis itu baru sadar kalau mereka juga kembali mengambil video aktivitas mereka dari tadi. 'Dasar artis,' gumamnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari nama yang terpampang di layar ia bisa mengetahui bahwa itu merupakan telpon dari pusat. Tumben-tumbenan mereka menelepon, biasanya mereka akan mengirim e-mail jika ada pekerjaan. Jika yang ia dapatkan adalah telepon artinya ada urusan mendesak. Mendesak maksud Hanna di sini adalah versi bosnya.
Hanna segera berdiri untuk mencari tempat yang lebih sepi untuk mengangkat telepon. Sebenarnya ia ingin menyendiri, tapi setiap sudut dipenuhi orang kecuali kursi yang diduduki Sura yang tengah tidur. Kamar mandinya juga tengah dipakai. Ia tak punya pilihan lain dan memilih untuk berdiri dipojokan.
“Hello boss?” Hanna mengubah percakapan menjadi mode bahasa Inggris dengan suara sepelan mungkin sampai ia sendiri ragu. Apakah bos akan mendengar apa yang ia ucapkan atau tidak.
“Kau dimana?”
“Aku lagi diperjalanan menuju Cheongsando. Kenapa memangnya bos?”
“Ada pekerjaan mendadak di New York. Kau harus segera kembali sekarang juga. Aku akan mengirimkan tiket penerbanganmu.” Kepala Hanna mendadak pusing mendengar ucapan pria paruh baya itu.
'Bisa nggak hari ini saja aku beristirahat untuk pertama kalinya dalam hidupku. Bagaimana caranya aku ke bandara sekarang, sementara aku berada di tempat yang jaraknya sekian mill dari pusat kota.'
“Aku tidak bisa bos, suruh Robert saja.”
“Robert tengah berada di Yaman. Konflik kembali pecah di sana. Dia tengah menyelesaikan misi. Dia tengah menyelinap."
“Aku juga tengah menyelesaikan misi di sini bos," ujar Hanna asal.
“Kau tidak punya alasan untuk menolak. Sejak kapan Korea perang.” Gadis itu memutar bola mata saat mendengar ucapan bosnya. 'Memangnya semua yang berbau konflik itu harus perang?'
“Tapi aku tengah terdampar di bus antah berantah menuju pulau antah berantah juga bos. Bagaimana caranya aku bisa ke bandara sekarang juga bosku yang tercinta?” Hanna mulai gemas dan volume suaranya mulai berubah dari bisikan menjadi suara percakapan biasa yang tentu saja bisa di dengar oleh orang-orang yang duduk disekitarnya.
“Aku akan kirimkan helikopter untuk mengambilmu. Kau turun saja dimanapun sekarang kau berada dan kirimkan titik koordinatnya.”
“Ya, anda pikir aku anak Sapi, main diturunkan saja di tengah jalan lalu diambil.” Bahkan aku hanya bisa melihat rumput ilalang dari tadi. Cocok sekali jika aku menjadi Sapi disini, gumam Hanna tidak jelas.
“Nggak usah mengalihkan.”
“Pokoknya aku nggak mau. Aku mau segera bertemu dengan kasur dan tidur. Aku mau pergi ke warung makan dan menyantap semua makanan sampai perutku penuh.” Hanna mulai bersungut-sungut dan malah terkesan merengek.
“Jadi kau menolakku?” Dia mulai lagi. Kalimat yang paling Hanna benci ketika berurusan dengan ketua lembaga yang bertanggung jawab atas dirinya itu. Usianya boleh hampir kepala enam tapi alay-nya mengalahkan anak remaja 14 tahun. Makanya Hanna tidak pernah berbicara formal pada bosnya itu.
“Kau kan punya anak yang lain bos. Kenapa harus selalu aku yang kau panggil disaat mendesak versimu itu? Bahkan kau selalu memanggilku disaat yang tidak tepat.”
“Aku selalu memanggilmu disaat yang tepat,” kilahnya.
“Kau lupa, kau pernah memanggilku untuk menemuimu yang jauhnya ribuan mill di saat aku tengah tidur hanya untuk menyelesaikan masalah sepele yang bahkan anak magang sekalipun bisa menyelesaikannya. Kau juga pernah memanggilku disaat aku berada di tengah perang hanya untuk mencari Puzzle, Anjing kesayanganmu itu. Pokoknya aku nggak mau tahu. Kali ini aku nggak mau ke sana. Kalau ada urusan penting terkait pekerjaan, anda bisa mengirimkannya ke email-ku. Aku akan menyelesaikannya. Selamat subuh bos.”
Hanna buru-buru menutup telepon tanpa menunggu jawabannya. Kalau diladeni terus, pria paruh baya itu akan mengeluarkan senjata terakhirnya agar ia mau mengikuti keinginannya yang lebih banyak tidak masuk akal itu.
"Dasar laki-laki tua menyebalkan. Untung sayang, kalau nggak udah aku geprek," omel Hanna dalam bahasa Indonesia.
Hanna kembali ke tempat duduk dan menghempaskan p****t dengan kasar. Sehabis marah-marah, perutnya kembali kembali lapar. Tak mungkin lagi untuk meminta kue. Ia merasa sungkan. Ia menatap jalanan dengan nelangsa. 'Kapan kita sampai?' Hanna kembali merengut. Menurutnya tak ada yang berjalan lancar hari ini. Semua orang bertindak semaunya padanya. Mulai dari Ae Ri, PD Nim, Sura dan sekarang bosnya juga ikut menyumbang segala kekesalan Hanna.
Ngomong-ngomong soal Ae Ri. Gadis itu baru ingat tentang Ae Ri. 'Kemana ya gadis itu?' Tidak biasa-biasanya dia tak merecokiku.' Hanna pun memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat padanya.
Kau kemana? Kenapa meninggalkanku sendiri tadi? kirimnya pada Ae Ri.
Terkutuklah dengan PD Nim. Dia mengirimku jauh-jauh menangani pemotretan model lain. Kau sekarang dimana? balasnya.
Aku dalam perjalanan ke Cheongsando.
Ngapain kau kesana?
Aku diculik oleh PD Nim.
Pria tua b******k itu. Apa yang dia lakukan padamu? Ae Ri terlihat emosi. Ia mengirim pesan dengan capslock tak lupa stiker marah.
Aku disuruh bantu-bantu pemotretan Star One.
Kebiasaan sekali dia mengambil orang secara acak dan sembarangan.
Jadi bukan aku orang pertama?
Kau adalah orang kesekian. Bahkan dulu dia pernah salah mengambil orang yang pada akhirnya hanya membuat keributan saja.
Pokoknya Hanna. Kau tidak boleh mengiyakan semua yang dia mau. Dia akan keenakan. Kau harus bisa menolak. PD Nim tipikal workholic sejati.
Hanna hanya mengirimkan gambar stiker sebagai balasan bagi Ae Ri. Ia kembali menatap jalanan.
***