Keputusan yang Salah (?)

2085 Kata
Lantas kau anggap apa hubungan yang telah kita jalin selama ini? Dulu aku sudah memintamu untuk melepaskanku, tapi kau bersikeras untuk bertahan. Katamu, aku bisa mengambil kembali hati keluargamu. Tapi kenyataan apa yang aku dapatkan sekarang? Setelah lima tahun hubungan kita. Bukannya lamaran yang aku terima. Malah, sebuah foto pre-weddingmu yang aku terima notifkasinya dari akun media sosialku. Itu pun aku ketahui dari sahabatku semasa pondok dulu. Ah, dunia ini sungguh kejam Tuhan. Apa ini balasan yang harus aku terima atas dosa-dosa kita di masa lalu? Lalu kenapa kesannya seolah bahwa hanya aku saja yang harus menerima karma ini? Apa sebegitu bencinya Tuhan padaku? Belum kering pusara ibuku, belum hilang kesedihanku atas kehilangan orang yang paling aku sayangi. Kini kau juga meninggalkanku? Lantas di matamu, apa arti dari lima tahun hubungan ini? Hanya untuk melepas nafsu bejatmu itu? Atau hanya untuk mengisi kekosongan hatimu akibat dikhianati oleh cinta pertamamu? Bukankah itu terlalu kejam untukku? Kau pernah merasakan rasanya sakit ketika ditinggalkan, lantas mengapa kau juga melakukan hal yang sama padaku? Hanna berhenti menulis. Air matanya kembali mengalir karena mengingat kejadian empat tahun lalu, yang menurut ingatannya baru saja terjadi kemarin. Kejadian yang membuatnya berubah seutuhnya. Ah, aku terlalu larut dalam kesedihan. Untuk apa aku terus mengenang masa lalu. Toh, meskipun demikian, dia yang pergi tak akan pernah kembali. Aku juga tidak berniat untuk menjadi perusak hubungan rumah tangga orang. Aku lebih memilih kabur membawa segala kesedihanku dan hidup dalam sepi. Meski ini menyakitkan jiwaku. Bahkan sampai sekarang rasa sakit itu belum sembuh. Tak sedikitpun sembuh. Aku meragukan diriku sendiri. Saat aku pergi sejauh ini, apakah karena aku begitu membenci ataukah karena aku terlalu pengecut pada kenyataan hidup? Aku masih bertanya-tanya. Mengapa kau tak bisa bersikap dewasa? Mengapa kau tak mengakhiri hubungan kita dengan cara yang baik-baik? Mengapa kau tidak mengatakannya secara langsung padaku? Meskipun hal itu tetap akan terasa menyakitkan, tapi aku yakin rasanya tak akan sesakit ini. Sampai meninggalkan luka menganga yang terlalu besar untuk kuobati sendiri. Kau tak pernah bilang putus, tapi kau mengakhiri hubungan kita dengan cara yang keji. Coba sebutkan padaku. Apakah ada hal yang lebih keji yang dapat melukai perasaan perempuan, selain tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang diimpikannya untuk menjadi nahkodanya di masa depan malah meminang wanita lain? Kenyataan itu bahkan didapatkan hanya dari perantara peranti lunak yang bernama media sosial. Apa kau sudah tak punya mulut lagi atau kau tak punya keberanian untuk menyampaikan berita itu langsung padaku? Sebenarnya aku hanya berharap supaya kau dapat melayangkan sebuah pesan singkat kepadaku. Memberi tahukanku bahwa kau tak menginginkan masa depan untuk kita berdua. Bagiku hal itu sudah sedikit cukup untuk mengurangi rasa sakit di hatiku. Aku tak butuh kau untuk menjadi suamiku. Aku juga tak butuh kau untuk kembali padaku. Aku hanya butuh kabar langsung dari mulutmu. Kabar yang akan membuatku merasa sedikit lega. Bahwa ada sedikit kepastian darimu. Kabar yang akan meyakinkanku sendiri bahwa kau memang pergi meninggalkanku untuk selamanya. Setidaknya dengan begitu, mungkin aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku bisa memaafkan masa lalu. Menutup lembarannya dan memulai kembali hidupku. Meskipun aku sudah mencoba, tetap saja aku tak bisa melupakanmu. Hatiku memang sudah kututup rapat. Tapi tetap saja membuat semua kosong hingga aku tak bisa menerima kehadiran tamu lain untuk menetap di hatiku. Jika boleh aku ungkapkan, itu semua karenamu. Hanna kembali berhenti menulis. Ia mulai melamun kembali menerawang menatap langit-langit kamar apartemen yang ia tempati. Di sinilah ia sekarang, Korea. Negara yang dulu selalu menjadi impian nya bersana kawan-kawannya saat duduk di bangku sekolah. Negara penuh khayalan yang bersedia menemani masa remaja mereka. Negara yang dipenuhi oleh oppa-oppa yang siap memanjakan mata dan mewarnai hari-harinya. Ya, setidaknya itu yang bisa dilakukan oleh gadis remaja seperti mereka untuk mengusik kegalauan karena putus pacar atau sekedar mengatasi kesepian karena masih jomblo. Juga untuk melepas lelah karena harus belajar seharian dan juga menghafal. Mereka akan mengoleksi semua drama romantis terbaru, yang sering kali pada awalnya menguras air mata namun hampir semua selalu berakhir manis. Mereka memimpikan hidup yang seperti itu. Sebuah impian yang sangat picik tentunya. Karena sayang, kisah di drama tak sama dengan kisah cintanya yang kini berakhir tragis. Ha ha. Ia ingin menertawakan nasibnya. Tapi, ia sendiri tidak berani untuk tertawa. Hanna yakin banyak orang yang akan berkata; ini kan hanya drama, tak mungkin ada laki-laki yang seperti itu di kehidupan nyata. Hanna juga tidak menafikan kenyataan itu. Namun bagi jiwa remaja mereka, ada kecanduan tersendiri ketika mereka mengidolakan seseorang dan mengharapkan orang seperti itu ada di dunia nyata. Mereka akan berharap dapat bertemu atau bahkan hanya sekedar untuk memimpikannya. Menjadikan mereka panutan. Hanya untuk membuat mereka sedikit lebih kuat daripada biasanya. Acapkali mereka membawa itu menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang sering kali menimbulkan delusi sehingga terkadang membuat mereka terjebak antara dunia nyata dan dunia khayalan. Tapi tentu saja mereka tetap bangun dan melecut diri dengan kenyataan bahwa itu hanya mimpi. Bagi remaja seperti mereka, hal tersebut tidak masalah asal bisa memberikan sedikit kebahagian di tengah kesibukan belajar bahkan pekerjaan. Hanna sudah berada di negeri Gingseng kurang lebih selama dua bulan. Sebelumnya, ia sudah berpindah-pindah dari negara Qatar, Azerbaijan, Moscow, Yaman, Venezuela, Paris, L.A, California, dan masih banyak lagi. Hanna berpindah-pindah layaknya suku primitif yang menggantungkan hidupnya dari alam. Tentu saja hal itu bukan tanpa tujuan. Usai melanjutkan studi S2-nya di McGill, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di PBB dan diterima. Terlebih sebelumnya ia juga pernah magang di sana. Hanna ingin menjelajah sembari mempelajari kebudayaan dan bahasa. Selain pekerjaannya sebagai seorang ahli diplomasi dan penasehat tidak tetap di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hanna juga membuka pekerjaan sebagai penerjemah dengan menggunakan nama samaran. Semua itu terlihat mudah ia dapatkan tentu saja sebanding dengan usahanya ketika kuliah dulu. Ia membangun relasi dan juga belajar dengan giat sehingga ia dipercayakan memegang posisinya sekarang. Hanna memutuskan untuk menghabiskan hampir 24 jam hidupnya untuk bekerja dan bekerja. Kalau saja ia tak membutuhkan tidur, makan dan istirahat. Mungkin ia akan bekerja selama 24 jam sehari dan 366 hari dalam satu tahun. Meskipun ia bekerja di tempat bergengsi dengan pekerjaan sampingan yang tak kalah bergengsinya, tak ada seorangpun yang mengetahui pekerjaannya. Ia memutuskan untuk menyembunyikannya dari orang-orang, hanya keluarga dekatnya yang tahu. Terlebih ia juga mengubah dirinya. Maksudnya bukan mengubah secara signifikan seperti operasi plastik ataupun sesuatu yang seperti itu. Ia hanya mengubah penampilannya saja. Hanna yang dulu memakai jilbab dan rok kemana-mana dikarenakan tuntutan agamanya. Sekarang dengan berani, melepaskan hijab. Hanna memutuskan untuk memberontak pada norma dan agama yang ia sandang semenjak lahir. Hanna tahu bahwa sikapnya tersebut sangat kekanakan sekali. Ia mencoba menyalahkan kejadian yang menimpanya pada Tuhan. Hanna selalu berkata; itukan takdir yang telah digariskan Tuhan oleh padanya. Jadi ini bukan salahnya kalau ia sekarang tidak berhijab lagi. Itu juga sudah digariskan oleh Tuhan. Padahal ia sendiri tahu, Tuhan tidak salah apa-apa. Ini murni kesalahannya yang bertindak tanpa memikirkan resiko masa depan. Ini semua adalah kepengecutannya yang terlalu takut dan ingin lari dari kenyataan. Baginya sekarang yang terpenting adalah bagaimana ia bisa hidup bebas sebagaimana yang ia inginkan dulu. Melakukan hal-hal yang dulu hanya bisa ia bayangkan saja, karena terhalang norma, agama ataupun orang sekitarnya. Terlebih ia juga merupakan tamatan pondok pesantren. Kamu pasti bertanya-tanya. Kenapa ia bisa berpindah-pindah tempat jika memang pekerjaannya adalah seorang ahli diplomasi dan penasehat? Bahkan seorang pemilik perusahaan sekalipun harus bekerja menetap dalam satu tempat. Bagaimana orang sepertinya berpindah dari negara satu ke negara lain dalam jangka waktu dekat. Bahkan ia tidak menetap pada satu negara lebih dari dua bulan. Untuk menjawab rasa penasaran itu Hanna akan jelaskan. Bisa dibilang ia adalah seorang pekerja lepas. Hanna akan pergi ke negara yang membutuhkan keahlian berdiplomasinya. Negara yang membutuhkan nasehatnya dalam bernegosiasi dan memutuskan jalan keluar terbaik jika mereka tidak menemukan titik terang saat melaksanakan perundingan. Itulah sebenarnya pekerjaannya. “Rana Hanna, ayo cepetan! Aku sudah lumutan menunggumu dari tadi. Mau sampai kapan kamu berkencan dengan laptopmu itu?” Suara cempreng milik Ae Ri berhasil mengusik ketenangan gendang telinga milik Hanna. 'Astaga, aku pikir gadis itu sudah berangkat kerja dari tadi. Ternyata dia masih di sini. Aku bahkan tidak menyadari kehadirannya. Satu hal yang akan terjadi, ketika aku terlalu fokus dengan laptopku, apalagi jika aku juga melamun, maka tingkat kewaspadaanku juga akan ikut berkurang,' pikir Hanna. “Bisakah kau tidak teriak-teriak seperti itu?” Hanna memutar kursinya agar bisa menghadap ke arah sumber suara. Seorang gadis cantik khas wanita Korea tengah bersandar di pintu kamarnya dengan mulut yang sedikit mengerucut ke depan seraya menyilangkan kedua tangan di d**a, pertanda bahwa dia sudah berada dibatas kesabaran yang dimilikinya. Terlebih tadi dia memanggil Hanna dengan menggunakan nama lengkap. Ae Ri hanya melakukan itu jika dia sedang marah ataupun jengkel pada Hanna. “Aku sudah memanggilmu dari tadi. Tapi kau diam saja. Sibuk sekali berkencan dengan laptopmu, sampai panggilanku kau acuhkan. Ayok cepetan ganti bajumu dan ikut denganku," bentaknya dengan kesal. “Harus berapa kali lagi aku katakan, kalau aku nggak mau ikutan," teriak Hanna tak kalah kesal. Gadis itu sudah merongrongnya dari semalam. Ia memaksa Hanna untuk ikut dengannya. Entah mau kemana dia mengajak Hanna. Ia tak menanyakannya pada Ae Ri. “Ayolah! Berhenti berkencan dengan laptopmu itu. Sesekali kau juga perlu menghirup udara segar. Bagaimana mungkin, sudah dua bulan di sini, kau tak pernah keluar apartemen satu kali pun, kecuali untuk urusan pekerjaan yang entah apa itu.” Gadis itu bersungut-sungut lantas kemudian mulai memasang puppy eyes-nya. Satu hal yang paling Hanna benci. Kalau ia tidak mengiyakan keinginan Ae Ri sekarang, bisa-bisa dia akan mulai menangis. Dia memang ratu drama sekali. Semua keinginannya harus dituruti. Membuat Hanna sebal saja. “Oke. Tunggu lima menit,” putusnya kemudian. Tak ada salahnya juga menuruti kemauannya. Daripada bersikeras menolak. Yang ada malah kupingnya yang akan budeg sendiri nantinya. “Siap bos.” Ae Ri mengangkat sebelah tangannya seperti orang yang tengah hormat ala militer. Kemudian dia berlari keluar kamar sambil membanting pintu, meninggalkan bunyi dentuman keras dari pintu yang tak sempat diperlakukan dengan lembut. Memang kebiasaan, gadis itu selalu melakukan segala sesuatu dengan penuh kehebohan. Hanna punya firasat buruk, bahwa kali ini Ae Ri akan membawanya ke neraka dunia. Hanna bergegas mengganti baju tidur yang selalu ia gunakan saat di rumah dengan sebuah kaos hitam berlengan pendek yang kebesaran untuk ukuran tubuhnya Saking besarnya, ujungnya melebihi lututnya sendiri meskipun tinggi Hanna adalah 165 cm. Hanna memakai jins ketat dan walking shoes bewarna putih kesukaannya. Tak melupakan beanie hitam yang selalu ia gunakan untuk menyembunyikan rambut panjangnya. Hanna menyambar headsfree dan ponsel miliknya dan segera berlari menuju parkiran apartemen. Hanna yakin Ae Ri sudah mencak-mencak menunggunya karena ternyata ia menghabiskan waktu lebih lama dari perkiraan. Hanna membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk mengirim e-mail ke pusat. Saat ia akan mengunci pintu kamarnya tadi. Tiba-tiba bosnya menghubungi. Meminta Hanna untuk mengirimi laporan yang harus ia periksa saat itu juga. “Aigo, cepat sekali bapak-bapak kalau berdandan.” Hanna hanya tertawa menanggapi mulut gadis yang kalau berbicara selalu pedas itu. Ia segera masuk ke mobil yang dikemudikan oleh Ae Ri. “Mau pergi kemana kita, nyonya? Bukankah kau harus bekerja. Lalu ngapain aku diajak juga? Kau mau membantuku untuk menjadi artis?” ujar Hanna pada Ae Ri yang sudah bersiap menjalankan mobilnya. “Kita lihat saja nanti, tuan.” Bibirnya dipenuhi senyuman licik yang membuat perasaan Hanna menjadi tidak enak. Hanna merasa, keputusan untuk mengikuti kemauan Ae Ri adalah salah. Benar saja, dikemudian hari ia baru menyadari. Bahwa keputusannya untuk mengikuti Ae Ri pada hari ini telah membawanya pada dunia yang berbeda dari dunia yang pernah ia tempati sebelumnya. Hanna sendiri di masa depannya kadang berfikir bahwa ia menyesal telah ikut Ae Ri pada hari ini. "Entah mengapa aku merasa curiga dengan gelagatmu itu, Ae." Hanna memandang tajam Ae Ri. "Kau selalu saja dipenuhi oleh kecurigaan. Harusnya kau itu senang aku ajak seperti ini. Mau jadi apa kau bersemayam terus di kamar? Lama kelamaan nanti kau menjadi penunggu kamar. Aku nggak mau ya kalau sampai kau menghantuiku suatu saat nanti," celoteh Ae Ri tak jelas. "Ada apa sih denganmu? Aku pusing mendengar ucapanmu itu." "Kalau kau pusing, diam dan tidur saja. Aku akan membangunkanmu saat kita sampai nanti." "Ide bagus. Aku akan tidur. Jangan menggangguku." Tak menunggu jawaban dari Ae Ri, Hanna pun segera memperbaiki duduknya untuk mendapatkan posisi yang nyaman. Ia kemudian memejamkan matanya, mencoba untuk tidur sebentar. Ia belum tidur semenjak semalam. Bukannya tidak mengantuk. Ia hanya memiliki kebiasaan tidur yang buruk dan juga ia akan selalu bermimpi buruk jika tidur terlalu lama. Ia lebih banyak harus mengkonsumsi obat jika ingin tidur. Tapi Hanna tak sering melakukannya, ia takut akan kecanduan nantinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN