Part 9. Jalang Beda Level

2629 Kata
‘Rumi kabarnya jadi ‘ani-ani’ CEO Syailendra, tuh. Jalang emang beda level!' * Sebuah kekehan kecil tapi terasa ironis dan getir, lolos dari bibir Rumi. "Kau bodoh, Jagad..." bisik Rumi pada kesunyian ruangan itu, “kau pikir kau menghukumku? Kau justru menyelamatkanku." “Kau tidak tahu apa yang kau miliki, Tuan Suami," gumam Rumi sambil merapikan rambutnya. "Dan aku akan pastikan... kau akan menyesal seumur hidupmu saat kau akhirnya tahu kebenarannya." Usai berpakaian rapih dengan dress yang dibawa simbok sesaat lalu, dengan langkah mantap, Rumi membuka pintu, melangkah masuk ke panggung, mulai mainkan peran sandiwara terbesar dalam hidupnya, menyimpan rahasia besarnya sebagai senjata terakhir yang paling mematikan. * Suasana di ruang rapat direksi lantai 40 terasa lebih dingin mencekam dari biasanya, meski pendingin ruangan disetel di suhu standar. Di meja oval panjang yang terbuat dari kayu mahogany hitam, dua belas pasang mata menatap Rumi dengan berbagai arti, sebagian besar meremehkan, penasaran dan lapar. Ini hari kelima Rumi bekerja. Hari ini, Jagad sengaja ingin melemparkannya ke kandang singa. "Laporan keuangan kuartal kedua menunjukkan penurunan efisiensi di kilang Balikpapan," suara Jagad menggema, terasa berat dan mengintimidasi. Dia tidak duduk. Dia berjalan perlahan mengelilingi meja, membuat para direktur berkeringat dingin. Tiba-tiba, Jagad berhenti tepat di belakang kursi Rumi. Dia meletakkan kedua tangannya di sandaran kursi Rumi, seolah mengurung wanita itu, namun matanya menatap tajam ke arah Direktur Operasional. Tentu saja apa yang dilakukan Jagad menarik perhatian dewan direksi lain. "Tapi saya rasa, data ini bias," lanjut Jagad. Kemudian dia menunduk, menatap puncak kepala Rumi yang rambutnya digelung kecil, "bagaimana menurutmu, Nona Lituhayu? Kau sudah membaca berkasnya, bukan? Atau kau hanya sibuk memoles kuku?" Suasana semakin hening. Beberapa direktur tersenyum kecil, mengejek. Mereka tahunya Rumi hanyalah "bawaan" dari akuisisi Sutanto Corp, yang rumornya hanya dijadikan pajangan cantik oleh Jagad. Yang mereka tidak tahu, betapa encernya otak Rumi. Ini jebakan, Rumi tahu itu. Jagad memberinya tumpukan data mentah tadi malam tanpa instruksi apa pun. Jika dia gagap, Jagad akan memermalukannya. Jika dia diam saja, Jagad akan menganggapnya bodoh. Rumi menarik napas tenang. Dia tidak membuka berkas di depannya tapi dengan lincah jemari lentiknya membuka file yang sudah dia siapkan semalam. Tepat dugaannya, Jagad berniat mengerjainya. Dengan gerakan anggun, Rumi mengotak-atik tabletnya sehingga terhubung ke layar proyektor utama. "Bapak benar. Datanya memang bias," suara Rumi terdengar tenang, jernih dan profesional. Rumi berdiri. Dia tidak terlihat seperti ketakutan. Malahan dia terlihat seperti seorang eksekutif wanita muda yang cerdas dan elegan, siap memasuki arena yang dominan pria. "Penurunan di Balikpapan bukan karena inefisiensi mesin, melainkan karena adanya kemacetan, bottleneck pada rantai pasok logistik dari vendor pihak ketiga yang baru dikontrak dua bulan lalu," jelas Rumi sambil menunjuk grafik di layar dengan laser pointer. "Perhatikan angka ini. Jika dilihat dari cross-reference data pengiriman dan output harian, ada keterlambatan rata-rata 4 jam per truk. Ini menyebabkan downtime kumulatif sebesar 12% per minggu. Solusinya bukan memotong gaji buruh seperti usulan Direktur HRD, tapi meninjau ulang kontrak vendor logistik tersebut, bila perlu kita bisa tender ulang vendor.” Katanya tegas. Ruangan itu seketika sunyi senyap. Senyum mengejek di wajah para direktur seketika lenyap, tidak menyangka pada ketajaman analisa Rumi. Jagad terdiam. Matanya terpaku pada siluet samping wajah Rumi yang serius menjelaskan grafik itu. Ada kilatan cahaya di sana, kecerdasan analisa yang tajam, logika yang runtut dan keberanian yang seksi. Yaah, bagi Jagad, Rumi jadi semakin seksi karenanya. Ngomong-ngomong soal seksi, Jagad menelan ludah dan mengumpati diri sendiri karena mendadak terbayang mulusnya tubuh Rumi. Andai saja usai akad dia tidak dihadang oleh dendamnya, pasti dia sudah menikmati tubuh Rumi berkali-kali. Selama satu detik yang berbahaya itu, jantung Jagad berdesir kagum. Dia melihat bayangan Rumi yang dulu dia puja, gadis cerdas yang sering diajaknya diskusi soal masa depan. Gadis yang setara dengannya. Namun, satu detik berikutnya, bayangan Rumi yang "mengkhianatinya" kembali menutupi kekaguman itu. Dia pintar. Tentu saja. Dia menggunakan otak pintarnya itu untuk memanipulasi lelaki, batin Jagad sinis, mencela Rumi tanpa kentara. "Cukup," potong Jagad dingin, sengaja mematikan layar proyektor dengan remote di tangannya. Rumi berhenti bicara, menoleh pada Jagad dengan kening berkerut, cenderung kesal. "Huuh, analisis standar mahasiswa semester satu," hina Jagad datar, meski dia tahu analisis itu brilian. "Duduk. Jangan membuang waktu kami dengan teori dasarmu itu." Rumi mengatupkan rahangnya. Dia tahu dia benar, dan Jagad pun tahu itu, dewan direksi pun tahu itu. Tapi dia memilih duduk kembali tanpa mau membantah. Heuum… menang tanpa perlu bersorak, pikir Rumi. Rapat berlanjut lagi. Selama dua jam berikutnya, Jagad membantai habis kinerja para direkturnya, sementara Rumi mencatat setiap poin dengan efektivitas tinggi, menjadi pendengar yang sempurna dan tanpa cela. Di menit ke-121, akhirnya rapat selesai. "Rapat bubar." Dua kata dari Jagad membuat semua orang bernapas lega. Mereka bergegas membereskan barang, ingin segera keluar dari aura mencekam sang CEO sebelum Jagad berubah pikiran dan melanjutkan rapat mereka. "Dikta, siapkan mobil. Kita ke site proyek dalam sepuluh menit," perintah Jagad sambil berjalan cepat keluar ruangan, meninggalkan Rumi yang masih merapikan tumpukan berkas di meja. "Rumi, bereskan ini dan susul aku di lobi. Jangan lelet," seru Jagad tanpa mau menoleh, menghilang di balik pintu diikuti Dikta. Rumi menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang berdenyut. Selain karena kakinya pegal luar biasa karena berdiri dengan heels setinggi 7 cm yang diwajibkan Jagad, dia juga kelaparan. Rumi sibuk memasukkan tablet ke dalam tas kerjanya ketika sebuah tangan gempal yang keriput dan berbulu tiba-tiba menumpuk di atas tangannya. Rumi tersentak kaget, refleks menarik tangannya. "Aduh, jangan kaget begitu, Cantik..." Di sebelahnya, berdiri Burhan, salah satu Direktur Investasi yang paling tua di ruangan itu. Pria berumur 50-an dengan perut buncit dan senyum m***m yang membuat Rumi mual. "Maaf, Pak Burhan. Saya harus segera menyusul Pak Jagad," ucap Rumi sopan tapi tegas, menepis tangan Burhan dan mencoba melangkah pergi. Burhan menggeser tubuh gempalnya, sengaja memblokir jalan Rumi. Aroma parfum menyengat bercampur bau rokok menguar dari tubuhnya, membuat Rumi semakin mual dan sangat ingin menamparnya. "Buru-buru sekali? Jagad itu galak, ya?" Burhan terkekeh, matanya yang menyipit menelusuri lekuk tubuh Rumi dari atas ke bawah dengan pandangan kurang ajar. Dia bahkan menelan ludah dan jakunnya bergerak naik turun, "saya perhatikan kamu tadi saat melakukan analisa. Pintar sekali. Sayang banget kan kalau otak secerdas itu hanya jadi seorang asisten." "Permisi, Pak," Rumi mencoba lewat dari sisi kiri, tapi Burhan kembali menghalanginya. Tangan pria tua itu kini berani menyentuh lengan atas Rumi, mengelusnya pelan, tapi Rumi mengedik, menepis tangan Burhan. "Kalau kamu capek dimarahin Jagad terus, main-mainlah ke ruangan saya di lantai 30," bisik Burhan, wajahnya mendekat. "Saya bisa kasih kamu posisi yang lebih santai, loh. Uangnya? Bisa kita atur, asal kamu bisa bikin saya puas." Senyum menyebalkan Burhan terbit, sekarang malah nekat berusaha menyentuh pipi Rumi. Darah Rumi mendidih, kali ini dia sungguh marah. Dia menepis tangan Burhan kasar. "Jaga sopan santun Bapak! Saya is…," Rumi menghentikan ucapannya. Dia tidak bisa bilang dia istri Jagad, walau siri. Teringat pada ancaman Jagad saat akad nikah mereka. "Saya asisten pribadi Pak Jagad. Jangan sentuh saya!" "Halah, jangan munafik," cibir Burhan, kesabarannya habis sudah. Dia mencengkeram pergelangan tangan Rumi dengan kuat, “semua orang juga tahu kamu itu 'simpanan' yang dibawa dari Sutanto. Kalau sama Jagad mau, masa sama saya nggak mau? Saya bayar cash berkali-kali lipat dari yang diberikan Jagad!” "Lepas!" Rumi meronta, panik. Tenaga pria tua ini ternyata kuat. Burhan menarik Rumi mendekat, hendak mencium pipinya secara paksa. Rumi mengangkat tangannya, siap menampar wajah keriput itu. Namun, sebelum tangan Rumi mendarat, pintu ruang rapat terbuka dengan bantingan keras yang menggema seperti ledakan bom. BRAKK!! Burhan dan Rumi menoleh bersamaan ke arah pintu. Di ambang pintu, Jagad berdiri kaku, tidak bergerak juga tidak berteriak. Tapi aura hitam yang menguar dari tubuhnya begitu pekat hingga udara di ruangan itu seolah tersedot habis. Wajah Jagad datar, tanpa ekspresi, namun mata elangnya menatap tangan Burhan yang masih mencengkeram pergelangan tangan Rumi. Tatapannya bukan tatapan marah. Itu tatapan seorang pembunuh yang sedang memilih alat penyiksaan yang akan dia pakai untuk menyiksa lawan hingga menyesal telah memilih lawan yang salah. "Tuan Jagad..." Burhan yang mendadak gemetaran, seketika melepaskan tangan Rumi, wajahnya memucat drastis seperti tanpa dialiri darah. "S-saya cuma... cuma bercanda sama Rumi kok." Jagad melangkah masuk. Berjalan pelan tapi langkahnya mematikan. Setiap ketukan sepatunya di lantai marmer terdengar seperti hitungan mundur menuju kiamat. Dia berjalan melewati Rumi tanpa melirik sedikit pun dan berhenti tepat di depan wajah Burhan yang kini lututnya gemetaran. Jagad jauh lebih tinggi, membuat Burhan harus mendongak, penuh ketakutan. Jagad merapikan kerah jas Burhan dengan gerakan yang sangat pelan, lembut, namun terasa mengerikan. "Pak Burhan..." suara Jagad terdengar santai, tapi nadanya sedingin es di kutub utara, "tangan mana tadi yang menyentuh milikku?" Hening yang mencekam menyelimuti ruangan itu, hanya dipecahkan oleh suara napas Burhan yang tercekat, menyadari dia baru saja membangunkan iblis yang salah. “T-tidak, Tuan Jagad. S-saya tadi beneran hanya bercanda.” “Bercanda katamu, heuum? Ini hukuman bagi orang yang menyentuh milikku walau hanya bercanda!” Seringai Jagad, sedetik kemudian terdengar suara tulang patah dan jeritan yang menyayat hati dari mulut Burhan. * Kabar tentang nasib Burhan menyebar lebih cepat daripada virus. Sejak saat itu, Direktur Investasi itu tidak lagi terlihat. Ruangannya dikosongkan, namanya dicopot dari pintu. Rumor yang beredar, dia dimutasi paksa ke kantor cabang di Libya, di tempat yang penuh pemberontakan bersenjata. Sebuah kebetulan yang mengerikan sekaligu pesan tersirat dari Jagad untuk tidak main-main menyentuh ‘kepemilikannya’. Namun, alih-alih membuat karyawan lain segan pada Rumi, kejadian itu justru menjadi bensin bagi api gosip yang sudah menyala. Di mata mereka, Rumi bukan korban pelecehan. Dia justru seorang w*************a yang berbahaya. "Simpanan kesayangan CEO" yang bisa membuat seorang direktur senior dipecat hanya dengan satu aduan manja di ranjang sang CEO. Itulah kabar yang beredar di kantor. Rumi merasakan perubahan atmosfer itu begitu dia melangkah masuk ke lobi. Tatapan para resepsionis yang biasanya ramah kini berubah dingin. Saat Rumi lewat, mereka saling menyikut, berbisik di balik tangan dengan mata yang melirik sinis ke arah rok span di bawah lutut dan kemeja sutra Rumi yang memang mewah dan mahal, pemberian Jagad yang terlalu mewah untuk ukuran seorang asisten. "Itu dia, titipan dari Sutanto." "Katanya servisnya luar biasa, sampai Pak Bos yang anti-perempuan itu bisa takluk." "Kasihan ya, Nadya Sutanto. Tunangannya direbut sama karyawannya sendiri, karyawan rendahan pula.” Rumi mendengar semuanya. Telinganya berdenging, panas. Tapi dia tidak menoleh. Dia menegakkan punggungnya, mengeratkan pelukan pada tablet di dadanya dan terus berjalan lurus menuju lift khusus eksekutif. Wajahnya datar, topeng profesionalisme yang rapuh di dalam namun sempurna di luar. Dia tidak akan memberi mereka kepuasan melihatnya hancur. Mereka tidak tahu saja apa yang sudah lewati selama ini. Jam makan siang bukan waktu istirahat bagi Rumi, melainkan waktu pengasingan. Kantin lantai 15 adalah zona terlarang, satu meja panjang bisa mendadak kosong dan hening hanya karena Rumi meletakkan makannya di sana. Maka, pantry kecil di lantai eksekutif menjadi satu-satunya tempat ia bisa menarik napas, atau begitulah pikirnya. Rumi sedang mengaduk kopi instan, satu-satunya hal hangat yang bisa ia rasakan hari ini, ketika dua staf HRD masuk sambil tertawa. Tawa itu mati seketika saat melihat punggung Rumi. "Eeh eeh ini kenapa mendadak udaranya jadi beda ya," sindir salah satu dari mereka, tidak mau repot-repot berbisik, “bau parfum murahan campur ambisi jalur ranjang." Temannya terkikik pelan, “hush, hati-hati kalau ngomong, nanti kamu dimutasi. Kita kan nggak punya 'bakat khusus' buat merayu Bos Besar." Tangan Rumi membeku, hentikan kegiatannya mengaduk. Dadanya sesak oleh teriakan yang tertahan. Ingin rasanya ia berbalik, menumpahkan kopi panas itu ke wajah mereka dan berteriak bahwa dia adalah istri sah Jagad Syailendra, walau istri siri. Bahwa dia tidak menggoda si CEO. Tapi, janji adalah janji. Rumi hanya menunduk, menelan harga dirinya bulat-bulat bersama ludah yang terasa pahit. "Permisi," ucapnya lirih, melangkah keluar melewati mereka. Akhirnya Rumi ke rooftop, ada satu spot tempat yang lumayan terlindungi dari terik matahari. Dia duduk di atas beton dingin yang berdebu, ditemani dengung mesin AC sentral yang monoton. Di pangkuannya terbuka kotak bekal sederhana, nasi dingin dan telur dadar juga sayur tauge yang sempat dia masak tadi pagi. Saat ia menyuap nasi yang terasa seret di tenggorokan, ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup chat kantor Sutanto, grup yang dia lupa keluar. Mereka sedang membicarakan dirinya. [‘Gila ya si Rumi. Kabarnya dia jadi ‘ani-ani’ CEO Syailendra, tuh. Jalang emang beda level.’] Rumi meletakkan sendoknya. Selera makannya seketika lenyap digantikan mual. Di roof top yang sepi itu, benteng pertahanannya runtuh. Bahunya bergetar hebat, dia menangis pilu. "Demi Rully..." bisiknya parau, merapal satu nama itu seperti doa keselamatan, “biar mereka meludahiku, asal Rully selamat, aku kuat. Aku kuat." Pukul satu siang, Rumi kembali ke ruangan dengan mata yang sudah kering dan wajah yang kembali datar. Jagad berdiri menghadap jendela besar, membelakangi pintu. Asap rokok mengepul tebal di sekelilingnya, menciptakan aura kelam. Rumi kembali ke ruangan Jagad tepat pukul satu siang. Matanya sudah kering, wajahnya sudah dipoles ulang dengan bedak. Begitu dia masuk ruangan Jagad, dia melihat Jagad sedang berdiri menghadap jendela besar, membelakanginya. Asap rokok mengepul di sekeliling pria itu. "Dari mana?" tanya Jagad tanpa berbalik, seolah sudah tahu bahwa yang masuk ke ruangannya adalah sang istri. "Makan siang, Pak," jawab Rumi formal, berjalan menuju mejanya. Jagad berbalik. Mata elangnya menatap Rumi tajam, seolah ingin menembus pakaian dan melihat jiwa Rumi yang lelah. "Di mana? Aku cek cctv kantin, kamu tidak ada. Aku cek restoran di lobi, kamu juga tidak ada." Rumi terdiam sejenak, “saya makan bekal sendiri." Saat di kantor, Rumi akan formal kepada Jagad. "Iya, makan di mana?" desak Jagad. "Di roof top." Jawaban itu membuat alis Jagad terangkat. Ada kilatan emosi yang tak terbaca di matanya, marahkah? Atau mungkin, tersinggung? Tapi kenapa? Jagad mematikan rokoknya di asbak dengan gerakan kasar. Dia berjalan mendekati meja Rumi, lalu duduk di tepi meja itu, menatap Rumi dari atas. "Kenapa di roof top? Kau malu terlihat bersamaku? Atau kau tidak tahan dengan omongan sampah karyawan di luar sana?" Rumi tetap menatap layar laptopnya, jari-jarinya mengetik cepat meski entah mengetik apa. u*****n ke Jagad mungkin? “Saya hanya mencari ketenangan, Pak. Itu hak saya di jam istirahat." Jagad tertawa sinis. Dia mengulurkan tangan, menutup layar laptop Rumi dengan paksa hingga jari Rumi terjepit pelan, membuatnya mendongak. "Ketenangan?" Jagad mencibir. "Ciih, kau diasingkan, Rumi. Kau dikucilkan. Tidak ada yang mau berteman dengan seorang 'wanita simpanan'. Kau sadar itu, kan?" Rumi nekat menatap Jagad dengan sorot mata terluka namun berani, “lalu siapa yang menciptakan situasi ini, Tuan Jagad? Siapa yang membuat saya terlihat seperti w************n di mata mereka?" "Aku," jawab Jagad enteng, tanpa penyesalan sedikit pun. Dia mencondongkan wajahnya, seringai posesif terukir jelas, "dan aku menyukainya." Mata Rumi membelalak, “kamu gila." "Mungkin," bisik Jagad, "tapi dengan begini, kau sadar satu hal, Rumi. Di gedung pencakar langit ini, bahkan di kota ini, kau tidak punya siapa-siapa kecuali aku." Jagad menyentuh pipi Rumi, ibu jarinya mengusap pelan di sana. Sentuhan yang seharusnya lembut tapi bagi Rumi terasa bagai disentuh rantai berduri, “mereka membencimu. Keluargamu sudah tidak peduli padamu. Satu-satunya orang yang bicara padamu, satu-satunya orang yang melihatmu dan satu-satunya tempatmu kembali, hanya aku." Jagad menarik diri, menegakkan tubuhnya kembali dengan kepuasan yang mengerikan. "Jadi berhentilah mencari teman di pantry atau makan di roof top. Makanlah itu, tadi Dikta membelikanmu makan siang.” Kata Jagad, menunjuk satu buah tas kertas berlogo restoran premium. Sesungguhnya, Jagad tidak tega Rumi tidak makan, tapi tidak mampu berkata manis untuk menunjukkan perhatiannya. Di balik wajah datarnya, ada setitik rasa hangat yang menjalar di d**a Jagad. Rasa lega yang aneh saat melihat Rumi mau makan makanan yang dibeli Dikta. 'Makanlah yang lahap, Rumi,' batin Jagad, suaranya di dalam hati terdengar jauh lebih lembut, kontras dengan kekejaman yang baru saja ia ucapkan. Jagad menyunggingkan senyum tipis, yang hanya bisa dilihat oleh bayangannya sendiri di kaca. 'Kau tidak boleh sakit, Rumi. Kau harus tetap sehat dan kuat, agar kau sanggup bertahan menghadapi betapa gilanya caraku mencintaimu nanti.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN