"Turunkan saya di halte depan, Dikta."
Suara Rumi memecah keheningan di dalam Mercedes-Benz Maybach yang berharga lebih dari 9 miliar rupiah itu, melaju pelan membelah kemacetan pagi Sudirman. Tangannya mencengkeram sabuk pengaman, matanya menatap nanar ke arah kerumunan pekerja kantoran yang berjalan kaki di trotoar.
Dikta, sang sopir, melirik ragu melalui spion tengah, mencari persetujuan tuannya.
Jagad, yang sedang membaca berita di tablet, bahkan tidak mau mendongak. "Jalan terus. Masuk lewat lobi utama."
"Tapi," Rumi menoleh, menahan gejolak amarah di dadanya, “gosip di kantor sudah tidak terkendali. Kalau mereka melihat kita keluar dari mobil yang sama lagi, saya akan semakin…"
"...terlihat seperti simpananku?" potong Jagad santai. Dia akhirnya menoleh, bibirnya melengkung membentuk senyum puas yang menyebalkan. "Bukankah itu bagus? Semakin mereka yakin kau milikku, semakin tidak ada lelaki rendahan yang berani mendekatimu. Lagipula itu benar kan?”
"Itu pembunuhan karakter, Jagad! Aku punya harga diri!" desis Rumi, mulai tidak sabar.
Jagad menutup tabletnya menimbulkan bunyi klik yang nyaring. Dia menggeser duduknya, menghimpit Rumi ke pintu mobil.
"Harga diri?" bisiknya, tangannya menelusuri rahang Rumi yang menegang, “memangnya kamu masih punya? Harga dirimu sudah kubeli bersamaan dengan tanda tanganmu di kontrak itu. So, nikmati saja perannya, Sayang. Menjadi 'wanita'-nya Jagad Syailendra adalah impian setengah populasi wanita di kota ini. Seharusnya kamu merasa beruntung tidak perlu berkompetisi dengan mereka.”
Mobil berhenti tepat di depan lobi utama menara Syailendra Group. Tanpa menunggu doorman, Jagad membuka pintu.
"Keluar," perintahnya.
Rumi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menelan amarah seperti gunung berapi hendak erupsi. Begitu kakinya menapak aspal, puluhan pasang mata di lobi langsung tertuju padanya. Bisik-bisik terdengar seperti dengungan lebah.
Jagad berjalan di depan dengan dagu terangkat, sementara Rumi mengekor di belakang, merasakan setiap tatapan sinis yang menusuk punggungnya seperti jarum.
Jagad menang. Dia selalu menang.
*
Siang harinya, ketenangan semu di ruangan Jagad terusik.
Pintu ganda ruangan CEO terbuka lebar tanpa ketukan. Suara tawa renyah yang hangat masuk lebih dulu, kontras dengan atmosfer dingin ruangan itu.
"Wah, wah, wah! Lihat siapa yang jadi headline berita bisnis minggu ini!" sebuah suara riang seorang pria terdengar.
Seorang pria bertubuh jangkung dengan setelan jas abu-abu muda melangkah masuk. Wajahnya tampan dengan senyum secerah mentari yang mampu melelehkan es kutub, Javier Zaydan. Di belakangnya, mengekor sosok lain yang membuat suhu ruangan terasa anjlok sepuluh derajat di bawah nol setelah sebelumnya leleh oleh senyum Javier, kembali membeku.
Devarya Luxford, spesialis bedah jantung sekaligus CEO perusahaan yang bergerak sebagai supplier peralatan rumah sakit. Pria itu mengenakan kemeja hitam pekat, lengan digulung sesiku. Wajahnya datar, matanya sedingin kematian, jauh lebih mengintimidasi daripada Jagad.
Rumi yang sedang mengetik di mejanya tersentak kaget, refleks berdiri.
"J!" Javier langsung saja menghempaskan bokongnya ke sofa tamu, “kau benar-benar gila. Itu beneran kau membuang Nadya Sutanto seperti sampah plastik?”
Jagad tidak terusik dari kursi kebesarannya. Dia hanya mendengkus, memutar pulpen mahalnya. "Dia memang sampah, Vier. Plastik dan silikon."
Devarya tidak duduk. Dia berdiri menyandar di dinding, matanya yang tajam langsung mengunci sosok Rumi di sudut ruangan. Tatapan itu membuat Rumi merasa seperti kelinci yang sedang diincar ular sanca.
“Ada yang berbeda di ruangan ini, J. Jadi, ini orangnya? Wanita yang membuatmu jadi gila?” tanya Devarya, membuat Jagad dan Javier fokus melihat ke arahnya.
“Aah, ada orang baru ternyata.” Kata Javier, tetap riang.
"By the way J, kau sengaja menghancurkan reputasi Nadya, bukan?" suara Devarya terdengar berat, serak, dan curiga. "Video itu. Kau benar-benar mengirimnya ke Sutanto?"
Tangan Rumi yang sedang memegang berkas gemetar. Dia menajamkan telinga. Video? Video apa?
Jagad menyeringai kejam. Dia bangkit, berjalan menuju meja bar mini di sudut ruangan untuk menuang whiskey kemudian duduk di sebelah Javier.
"Hanya gertakan kecil aja itu," jawab Jagad santai, seolah sedang membicarakan hal yang tidak penting baginya. "Aku menyuruh orangku menjebaknya dengan si Billy, vokalis teler itu. Nadya terlalu bodoh. Diberi sedikit obat penenang dan pujian, dia langsung lupa daratan. Bukan salahku kan?”
Jagad menyesap minumannya, lalu menatap kedua sahabatnya dengan kilatan bangga.
"Aku berikan foto-foto itu ke Bapaknya. Dan voila, Sutanto langsung berlutut menyerahkan apa pun yang kuminta. Termasuk..."
Mata Jagad melirik ke arah Rumi, "...penggantinya."
Jantung Rumi mencelos. Mendengar langsung dari mulut Jagad betapa mudahnya pria ini menghancurkan hidup seorang wanita membuatnya mual. Nadya mungkin bukan wanita baik, tapi cara Jagad menjebaknya sungguh keterlaluan.
"Rumi," panggil Jagad.
Rumi tersentak kaget, "y-ya, Pak?"
"Buatkan kopi untuk Javier dan air mineral dingin untuk Devarya. Jangan pakai es."
Rumi mengangguk kaku, bergegas menuju pantry kecil di dalam ruangan itu. Tangannya gemetar hebat saat menuang bubuk kopi. Dia berada di sarang penjahat. Tiga pria di ruangan ini adalah predator puncak di dunia bisnis Jakarta, dan dia hanyalah mangsa kecil.
Saat Rumi kembali membawa nampan, Javier menatapnya dengan senyum lebar yang tulus.
"Halo, Cantik. Akhirnya kita ketemu juga. Kenalkan, aku Javier,” sapa Javier ramah saat Rumi meletakkan cangkir di depannya. "Maaf ya kalau Jagad sering membentak gak jelas gitu. Dia memang kurang kasih sayang sejak kamu meninggalkannya.”
Rumi tertegun. Sudah lama sekali tidak ada orang yang tersenyum setulus itu padanya.
"T-terima kasih, Tuan."
"Panggil Javier saja. Atau Vier ' juga boleh," canda Javier, mengedipkan sebelah mata.
BRAKK!
Gelas whiskey Jagad mendarat keras di meja, membuat kopi Javier sedikit tumpah.
"Jaga mulutmu, Vier," geram Jagad. Matanya menatap tajam ke arah sahabatnya, aura posesif yang gelap menguar kuat. "Dia asistenku, milikku!”
Javier mengangkat kedua tangan, tertawa geli, “wow, santai, Mas Bro. Posesif sekali sih? Baunya seperti... cemburu? Gitu gak sih, Dev?” tanya Javier, mencari dukungan dari Devarya yang sedari tadi mengamati Rumi.
"Cemburu?" Jagad mendecih, melirik Rumi dengan tatapan merendahkan yang dibuat-buat, “pada dia? Jangan konyol. Aku hanya tidak suka barangku disentuh orang lain. Walaupun cuma dengan kata-kata."
Rumi menunduk, meremas nampan di pelukannya. Barang. Lagi-lagi dia disebut barang.
Rumi beralih ke Devarya, menyodorkan gelas kristal berisi air mineral dingin. Pria itu tidak tersenyum juga tidak mengucapkan terima kasih. Beda sekali dengan Javier tadi yang memberi senyum tulus, di depan Devarya, Rumi merasa ketakutan. Devarya hanya mengambil gelas itu, namun matanya yang mengerikan menatap lurus ke dalam mata Rumi, seolah sedang membedah jiwanya.
"Lituhayu Nirbita Rumi," gumam Devarya pelan, menyebut nama lengkap Rumi dengan intonasi yang membuat bulu kuduk berdiri.
Rumi mematung. Dari mana dia tahu nama lengkapnya?
Devarya meminum airnya sedikit, kemudian melangkah mendekati Rumi, mengabaikan Jagad dan Javier. Tubuhnya yang tinggi besar membuat Rumi harus mendongak.
"Kau terlihat tegar," bisik Devarya, suaranya hanya bisa didengar Rumi, “tapi matamu berteriak minta tolong."
Rumi menahan napas. Devarya mencondongkan tubuh, seringai tipis yang jauh lebih menakutkan dari Jagad muncul di wajah super tampannya.
"Hati-hati, Nona. Jagad mungkin terlihat seperti monster yang ingin memakanmu," Devarya melirik Jagad sekilas, lalu kembali menatap Rumi, "...tapi dia ceroboh. Aku bisa melihat apa yang dia tidak lihat pada dirimu. Juga rahasia kecilmu..."
Mata Devarya turun sekilas ke arah d**a Rumi, lalu kembali ke matanya. Tatapan itu seolah tahu segalanya.
"Mungkin tidak akan aman selamanya jika kau terus memancing singa tidur. Simpan rahasia 'kesucianmu' itu rapat-rapat, Nona. Karena jika Jagad tahu dia akan jadi yang pertama menyentuhmu, obsesinya tidak akan lagi sekadar penjara, tapi akan menjadi peti mati untukmu.”
Devarya menegakkan tubuh, lalu berbalik menatap Jagad dengan wajah datar.
"Dia menarik, J.," ucap Devarya, membuat Jagad seketika menegang, “kalau kau bosan dengannya, lempar padaku. Aku butuh sekretaris baru yang tidak banyak bicara agar hariku damai.”
Rahang Jagad mengeras hingga urat lehernya timbul, kesal dengan candaan dua sahabatnya ini. "Langkahi dulu mayat Vier!" bentak Jagad, suaranya menggelegar memenuhi ruangan, kesal campur marah tapi tahu Devarya hanya bercanda.
“Kok aku sih?” tanya Javier, tidak terima menjadi korban.
Sementara Devarya menatap Jagad dengan tatapan datar yang penuh arti. Di sudut ruangan, Rumi berdiri mematung. Yang paling menakutkan, Devarya tahu sesuatu tentang dirinya. Sesuatu yang dia jaga selama ini.