Part 11. His S*x Toys

2452 Kata
Di ruangan CEO, ketegangan belum surut. Jagad kembali duduk di kursinya, menuang ulang whiskey ke gelas kristalnya, memainkan gelas hingga cairan itu berputar. "Jadi J.," Devarya memecah keheningan, suaranya datar namun tajam, penuh rasa penasaran. Dia masih berdiri di tempatnya, memasukkan tangan ke saku celana, “gadis tadi yang membuatmu jadi gila bertahun lalu? Kukira spek bidadari kahyangan, J., ternyata biasa aja. Apa yang kamu lihat dari dia?” Jagad picingkan mata ke arah Devarya, mendesah kesal dengan ucapan Devarya yang cenderung menghina Rumi, yeaah walaupun selama ini dia tidak pernah memuji Rumi secara eksplisit tapi tidak berarti orang lain bisa menghina Rumi. Baginya, hanya dia yang boleh menghina Rumi. Titik. “Itu yang kalian lihat. Coba kalian ambil mataku dan lihat Rumi, kalian bisa tahu apa yang kurasakan pada Rumi. Dulu, bahkan mungkin sampai sekarang,” Jawab Jagad, lirih, menunduk dengan dua tangan meremas kepala. Baru kali ini dia merasa sefrustasi ini. “I see J., cup cup, jangan nangis…” entah sejak kapan tiba-tiba Javier sudah berada di dekatnya dan menepuk punggungnya membuat Jagad mendelik kesal dan menunjuk ke arah sofa agar Javier kembali duduk. “Heuum, kalau begitu, no wonder kau membuang putri konglomerat minyak demi 'asisten' masa lalumu itu. Mengingat betapa kamu sangat mencintai Rumi.” Kali ini Devarya yang berucap, menegak air mineral dinginnya. Jagad mendengkus, kembali menyesap whiskey, "aku gak buang Nadya. Aku hanya mengembalikan sampah ke tempatnya. Sedangkan Rumi... , dia bukan pengganti. Dia memang target utamaku." Kata Jagad, angkuh seperti biasa. "Target?" Devarya menaikkan satu alisnya, “benarkah begitu, J.? Yang aku lihat, kamu terdengar seperti pemburu yang kebingungan. Katanya kamu membenci Rumi, sangat ingin menghancurkannya, tapi nyatanya, kamu mengikatnya di sisimu 24 jam, bahkan memberinya jabatan. Dan jangan lupa, kamu menikahinya walau secara siri." “Gak undang kami pula, tega banget kamu J.!” timpal Javier, mendukung Devarya. Devarya melangkah maju, menatap sahabatnya dengan sorot peringatan yang dingin. "Hati-hati, J. Senjata makan tuan itu nyata. Kamu berniat menyiksanya dengan kedekatan ini, tapi kamu sendiri lupa... kalau kamu belum sembuh dari lukamu. Jangan sampai malah kamu yang terbakar sendiri oleh api yang kamu nyalakan.” Jagad membanting gelasnya ke meja, suara denting nyaring terdengar. "Jangan sok menasihatiku, Dev! Kau pikir aku bodoh? Aku tidak punya perasaan apa-apa lagi selain dendam! Rasa cintaku sudah hilang bersama Rumi yang berkhianat.” "Benarkah?" Devarya tersenyum miring, senyum yang penuh kepahitan, “aku bisa bicara begini karena aku bagai melihat cermin saat melihatmu. Kita sama, J!" Devarya menatap kosong ke arah jendela, aura gelap di sekelilingnya menebal. Kepalan tangan di sakunya hingga membuat tangannya bergetar. "Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahanku? Shanaya hamil anakku dan aku tidak mau kehilangan anakku lagi, walau aku tidak menginkan Shanaya. Mama memaksaku menikahinya siri demi nama baik keluarga Luxford, demi bayiku.” Jagad dan Javier terdiam. Mereka tahu masalah pelik sahabatnya itu. Devarya terjebak antara tanggung jawab pada bayi yang sangat dia inginkan dan cinta matinya pada masa lalunya. "Aku tidak mencintai Shanaya, tapi aku tidak mau kehilangan darah dagingku. Aku ingin membenci Shanaya,” lanjut Devarya, suaranya serak, “kamu membenci Rumi. Tapi lihat aku J., semakin aku membencinya, semakin aku terikat dalam neraka yang kubuat sendiri. Saranku, lepaskan Rumi sebelum kamu jadi gila sepertiku." "Cih," Jagad meludah ke samping, wajahnya mengeras, kesal dengan asumsi Devarya yang asal. "Kasus kita beda, Dev. Rumi yang mengkhianatiku. Jangan samakan aku dengan kebodohanmu!” Di sofa, Javier yang sedari tadi diam mendengarkan drama dua sahabatnya yang toxic itu, akhirnya menegakkan punggungnya. Dia meletakkan cangkir kopinya, wajah tampannya terlihat prihatin. "Hei, hei…, sudahlah," Javier mencoba menengahi, suaranya lembut dan menenangkan. "Dev, ingat, kita ke sini kan ingin berikan selamat ke Jagad, bukan malah menambah kegilaannya. Lagian, kenapa sih kalian berdua ini terlalu rumit? Kenapa tidak coba cara sederhana, MLL?” kata Javier. “Apa itu MLL?” tanya Devarya. “Maafkan, lupakan dan lepaskan. Hidup itu indah loh, kalau kalian tidak memelihara dendam. J., kalau kamu masih cinta Rumi, bilang saja. Kamu, Dev, coba buka hatimu untuk Shanaya, kas…” "Tutup mulutmu, Vier!" Jagad dan Devarya membentak bersamaan membuat Javier kaget. Satu bentakan Jagad sudah mampu membuat merinding, apalagi ini ditambah Devarya yang lebih mengerikan. Jagad dan Devarya menatap Javier dengan tatapan iri yang disamarkan dengan amarah. "Kau tidak punya hak bicara di sini, Tuan Hidup Sempurna," desis Jagad tajam. "Kau punya istri cantik yang mencintaimu, yang setia menunggumu pulang, yang tidak punya lelaki lain dalam hidupnya. Kau bisa tidur nyenyak setiap malam memeluk wanita yang kau cintai tanpa beban! Jadi kau tidak pernah tahu apa yang kami rasakan!” Jagad berdiri, menunjuk pintu keluar. "Kau tidak pernah merasakan jantungmu dicabik-cabik oleh wanita yang paling kau percaya, yang paling kau inginkan untuk menjadi istrimu. Kau tidak pernah merasakan rasanya ingin membunuh sekaligus memeluk wanita yang sama di waktu bersamaan. Jadi simpan nasihat bijakmu itu untuk seminar motivasi!” Javier terdiam, senyumnya memudar perlahan. Dia mengangkat bahu, menyadari bahwa cahaya logikanya tidak akan mampu menembus kegelapan hati kedua sahabatnya. "Baiklah, baiklah, aku akan diam," Javier berdiri, merapikan jasnya. "Tapi ingat kata-kataku, Jagad. Saat kau sadar bahwa kebencianmu itu hanyalah topeng dari rasa takut kehilangan Rumi, semoga saat itu belum terlambat." Javier menepuk bahu Devarya sekilas, lalu melangkah hendak keluar ruangan. Meninggalkan Jagad dan Devarya, dua pria berkuasa yang memiliki dunia di telapak tangan mereka, namun gagal menaklukkan hati mereka sendiri, masih terjebak dalam kebingungan. Javier belum benar-benar pergi. Dia berhenti di ambang pintu, tangannya masih memegang gagang pintu, menoleh ke belakang saat mendengar suara berat Devarya kembali memecah keheningan. Devarya Luxford berjalan perlahan mendekati meja kerja Jagad. Devarya bukan hanya pebisnis berdarah dingin karena dia juga seorang dokter bedah jantung brilian sebelum malam kehilangan yang membuatnya mencerca dunia. Mata tajamnya menelusuri wajah Jagad dengan presisi klinis, membedah ekspresi sahabatnya seolah sedang membedah jaringan tubuh di meja operasi. "J., pupil matamu melebar saat kau menyebut nama Rumi. Denyut nadimu di leher terlihat jelas, memburu setiap kali kau bicara tentang menyiksanya," analisis Devarya dingin, menunjuk Jagad dengan dagunya. "Sebagai dokter, aku bisa memberitahumu satu hal, J. Itu bukanlah tanda-tanda kebencian melainkan gejala biologis dari obsesi gelap dan cinta yang kau tutupi sampai membusuk." "Tutup mulutmu, Dev. Apa yang aku rasakan, hanya aku yang tahu." Desis Jagad rendah, tangannya mencengkeram erat gelas whiskey hingga buku jarinya memutih. "Berhentilah membohongi dirimu sendiri," lanjut Devarya tanpa gentar. Dia mencondongkan tubuh di atas meja, menatap lurus ke dalam mata Jagad. "Jujurlah, kau tidak ingin menghancurkannya. Kau hanya marah karena dia menghancurkan egomu. Jagad Syailendra, mengakulah kalau kau mencintai Rumi, tapi kau terlalu pengecut untuk mengakuinya." "CINTA?!" Jagad berdiri dengan emosi mendengar analisa Devarya. Napas Jagad memburu, dadanya naik turun menahan amarah yang meledak. "Jangan gunakan kata menjijikkan itu di sini! Dia pengkhianat, Dev! Dia menjual tubuhnya pada laki-laki lain yang lebih kaya! Menurutmu, apa yang pantas tersisa untuk dicintai dari wanita bekasan seperti itu, hah?" Tapi Devarya nekat, dia tidak mundur. Dia justru menyipitkan mata, menatap Jagad dengan tatapan menyelidik yang berbahaya. "Kau yakin dia berkhianat, heuum? Kau yakin matamu melihat kebenaran? Atau itu karena egomu yang membutakan matamu, J.?" tanya Devarya pelan, namun menusuk. "Aku melihat wanita itu tadi. Dia punya sorot mata yang jujur. Terlalu jernih untuk seorang penipu. Terlalu terluka untuk seorang pelakor. Lebih baik kamu cari tahu kejadian di masa lalu yang sebenarnya sebelum menyesal seumur hidupmu.” Devarya menegakkan tubuhnya, merapikan kemejanya. "Cari tahu lagi, Jagad. Gali lebih dalam. Jangan cuma percaya pada asumsi liarmu. Karena kalau ternyata dugaanmu salah, kalau ternyata wanita sepolos itu tidak pernah melakukan apa yang kau tuduhkan...," Devarya memberi jeda yang mencekam, "...penyesalanmu tidak akan ada obatnya. Kau akan hidup dalam neraka penyesalan seumur hidupmu." "Cih!" Jagad menatap Devarya dengan nyalang, “kau terlalu banyak bergaul dengan pasien sekarat, Dev. Imajinasimu liar. Aku tidak butuh investigasi. Aku hanya butuh Rumi berlutut! Aku ingin dia merangkak di kakiku, menangis darah dan memohon ampun atas apa yang dia lakukan padaku bertahun-tahun tahun lalu!" Keheningan kembali menyergap ruangan itu. Javier, yang sejak tadi diam di pintu, akhirnya melepaskan gagang pintu dan berbalik sepenuhnya. Wajahnya yang biasanya murah senyum kini terlihat serius. "Oke, Jagad," suara Javier tenang, kontras dengan emosi Jagad yang meledak-ledak, "anggaplah rencanamu berhasil. Anggaplah besok atau bulan depan, Rumi akhirnya hancur seperti yang kamu inginkan. Dia berlutut, dia menangis, dia minta maaf sampai suaranya habis." Javier melangkah maju satu langkah, menatap sahabatnya lekat-lekat, "setelah itu apa? Apa itu akan memuaskanmu? Apa setelah Rumi hancur dan minta maaf, kau akan melepasnya? Membiarkannya pergi mencari kebahagiaan lain? Atau apa, J.?” Pertanyaan itu sederhana tapi mematikan. Jagad terdiam. Dia menatap pantulan dirinya di jendela kaca yang gelap karena langit mulai mendung. Melepaskan Rumi? Membiarkan Rumi pergi setelah wanita itu minta maaf? Bahkan tidak dalam mimpinya sekali pun! Sebuah senyum miring perlahan terukir di wajah Jagad. Senyum yang bukan berasal dari kewarasan, melainkan dari kegelapan terdalam jiwanya yang menyeruak. Dia berbalik menatap kedua sahabatnya, matanya berkilat mengerikan. "Memuaskanku? Tentu saja tidak," desis Jagad, "permintaan maaf hanyalah permulaan, Vier." Jagad menempelkan tangannya ke kaca dingin, seolah sedang mencengkeram bayangan Rumi di kejauhan. "Setelah dia hancur, setelah dia tidak punya harga diri dan setelah dia sadar bahwa tidak ada satu pun tempat di dunia ini yang mau menampungnya..." Jagad menoleh, seringainya melebar, membuat Javier dan Devarya merasakan dingin merambat di punggung mereka, "...saat itulah aku akan mengurungnya selamanya bersamaku. Karena aku tidak akan pernah mengizinkannya bahagia, kecuali kebahagiaan itu aku yang berikan. Hingga...,” Jagad mengetuk pelipisnya sendiri, “... dia lupa caranya hidup tanpa napasku." Seringai gelap tercetak di bibir Jagad. "Kamu gila, J.!" Dua suara bariton itu meledak bersamaan, memantul di dinding-dinding kaca yang dingin. Javier menatap Jagad dengan mata melebar tak percaya, seolah sahabat yang dikenalnya belasan tahun lalu telah dirasuki iblis. Sementara Devarya, meski ekspresinya tetap datar, memiliki kilatan jijik dan kasihan di matanya. Tidak menyangka segila itu obsesi dendam Jagad pada Rumi. Tapi Jagad tidak tersinggung juga tidak membela diri. Dia justru mengangguk pelan, sambil mengangkat gelasnya yang kosong seolah bersulang untuk vonis itu. "Ya," aku Jagad, suaranya tenang namun mematikan, “aku memang gila. Kewarasanku sudah ikut mati malam itu, saat dia memilih pergi meninggalkan cincin lamaranku demi mengejar uang lelaki lain. Hati yang kalian cari di sini..." Jagad menepuk d**a kirinya sendiri, tepat di jantung, dengan kepalan tangan yang keras, "...sudah lama membeku. Jadi jangan berharap ada kehangatan yang tersisa." Javier menggelengkan kepala, kehabisan kata-kata. Dia memijat pelipisnya, merasa mual melihat kehancuran sahabatnya sendiri. Tanpa bicara lagi, Javier berbalik dan melangkah cepat keluar ruangan, tidak sanggup lagi menghirup udara yang dipenuhi racun obsesi itu. Namun Devarya tidak langsung pergi, ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Jagad. Pria yang memiliki aura kegelapan melebihi Jagad, berhenti tepat di ambang pintu. Dia memutar tubuhnya setengah, menatap punggung Jagad yang kini kembali menghadap jendela, membelakanginya, menatap kota Jakarta yang mulai temaram. "Kau pikir kau bisa menahan Rumi dengan rantai kebencian, J.?" tanya Devarya, suaranya rendah seperti gumaman mantra kutukan. Jagad diam, bahunya menegang, menunggu lanjutan perkataan Devarya. "Rumi itu manusia, seorang wanita yang punya hati. Dia punya batas," lanjut Devarya dingin. "Tidak ada manusia yang sanggup bertahan hidup dengan lelaki kejam tanpa cinta, J. Rumi bukan robot. Suatu hari nanti, dia akan menyerah dan cahayanya akan padam." Devarya melangkah satu langkah mendekat, memastikan kata-katanya tertanam di otak keras kepala sahabatnya, "dan saat hari itu tiba J., saat dia akhirnya menyerah dan benar-benar pergi meninggalkanmu, itu terjadi bukan karena lelaki lain, tapi karena dia lebih memilih mati daripada hidup bersamamu…” Devarya sengaja menjeda. Jagad mengepalkan tangannya di samping tubuh hingga terdengar bunyi krak sendi-sendi jari. "...kau akan menangis darah, Jagad," bisik Devarya, sebuah nubuat yang sangat mengerikan. "Kau akan berteriak sampai pita suaramu putus, memohon waktu untuk diputar kembali. Tapi saat itu, penyesalanmu tidak akan ada harganya. Kekayaanmu tidak akan mampu untuk membayar itu semua, J." Tanpa menunggu balasan, Devarya berbalik. Langkah kakinya yang berat menjauh, lalu pintu tertutup meninggalkan Jagad sendirian di menara gadingnya. Jagad berdiri mematung selama beberapa menit. Kata-kata Devarya berdengung di telinganya seperti lalat yang mengganggu. Menangis darah? Penyesalan? "Omong kosong," desis Jagad. Dia menyalakan rokok dengan tangan yang sedikit gemetar, getaran yang dia tolak untuk diakui sebagai rasa takut. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana, Rumi," bisiknya, “Devarya salah. Kau akan bertahan denganku. Karena aku tidak akan pernah mengizinkanmu mati seperti aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi lagi!” Jagad menyeringai, di benaknya sudah ada rencana untuk Rumi, sebuah rencana menistakan martabat gadis itu. * Rumi masuk ruangan Jagad setelah memastikan Javier dan Devarya tidak ada lagi di ruangan Jagad. Dia mendesah lelah, ingin sekali kembali ke kampung, kembali bersama ibu dan adiknya, hidup sederhana tanpa semua masalah pelik ini. "Kunci pintunya, Rumi," perintah Jagad tiba-tiba. Suaranya serak, rendah, dan membuat bulu kuduk Rumi meremang. Rumi berhenti bergerak, “tapi Pak, ini masih jam kanto…" "Kunci. Atau aku akan melakukannya dengan pintu terbuka biar Dikta bisa menonton kita?" ancam Jagad dengan suara berat. Ancaman itu efektif karena dengan tangan gemetar, Rumi memutar anak kunci hingga terdengar. Saat ia berbalik, mata Jagad menggelap, kakinya terbuka lebar, posturnya angkuh dan menantang. "Kemarilah," panggil Jagad, menunjuk ruang kosong di antara kedua kakinya. Rumi menelan ludah, langkahnya berat, “ada apa, Pak? Saya harus menyelesaikan laporan…" "Lupakan laporan. Tugas utamamu bukan mengetik," potong Jagad dingin, “kau tentu tidak lupa dengan statusmu bukan? Kau istriku. Istri siri yang sudah kubayar lunas." Jagad menepuk pahanya sendiri, “sekarang, suamimu ini sedang butuh 'bantuan’." Darah Rumi berdesir kencang. Dia tahu arah pembicaraan ini. Dia mundur selangkah, menggeleng pelan. "Tidak di sini, Jagad. T-tolong..." Jagad terkekeh dingin. Dia bangkit, bukan untuk mendekati Rumi, tapi untuk duduk di tepi meja kerjanya yang kokoh. Jagad melonggarkan ikat pinggangnya dengan gerakan lambat yang menyiksa, matanya terus mengunci manik mata Rumi. Ketika celana kainnya sudah melorot sampai lutut dan menampakkan juni.ornya di balik boxer, Rumi palingkan wajah dengan pipi merona. "Kenapa? Malu?" cibir Jagad, “kau pikir aku akan menidurimu? Jangan mimpi, Rumi. Aku sudah pernah bilang, aku tidak memakai barang bekas untuk kesenangan batinku. Aku hanya butuh pelepasan fisik dan kamu bisa gunakan tangan juga mulutmu..." Jagad menyeringai kejam, "...anggota tubuhmu itu sudah dibayar untuk melayaniku. Jadi, berlututlah dan segera lakukan tugasmu. Buat aku puas, tapi jangan harap aku akan menyentuhmu balik. Kau hanyalah alat, Rumi. Tidak lebih." Kata-kata itu menampar Rumi. Alat. Jagad menempatkannya tak lebih dari sekadar s*x toy yang bernyawa. Pria itu ingin menegaskan bahwa Rumi tidak berharga, bahwa tubuhnya hanya berguna untuk membuang hasrat Jagad tanpa melibatkan perasaan atau keintiman sedikit pun. Nyatanya, ini bukan tentang seks. Ini tentang kuasa dan penghinaan. Jagad ingin melihat Rumi merendahkan diri, membuang harga dirinya demi patuh pada perintah "suami", untuk apa pun itu. "Cepat," desis Jagad, ketidaksabaran mulai mewarnai nadanya. "Atau kau mau aku panggilkan satpam untuk memegangimu dan mereka akan menonton kita berdua?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN