Part 12. Her Redemption

1273 Kata
Dengan napas tercekat menahan mual, Rumi melangkah maju. Kakinya gemetaran, dalam hati dia bersumpah serapah, mengumpati Jagad semua kosa kata kotor yang dia punya. Rumi tidak punya pilihan. Melawan fisik Jagad hanya akan berakhir dengan kekerasan yang lebih parah. Dengan terpaksa, Rumi berlutut di atas karpet tebal yang dingin itu, tepat di depan Jagad yang menjulang angkuh. Sesaat sebelum dia memulai menjilati juni.or Jagad, Rumi melihat tepat ke wajah Jagad yang malah menyeringai. Aroma maskulin Jagad bercampur dengan musk yang tajam memenuhi indra penciumannya, membuat perut Rumi bergejolak. Tidak hanya tangah tapi tubuhnya gemetaran saat melakukan apa yang diperintahkan Jagad. Sesungguhnya Rumi mual dan sangat ingin muntah, tapi dia paham akibatnya jika dia berhenti saat Jagad belum mendapatkan kepuasannya. Mau tidak mau, dia harus bertahan, membuang harga dirinya. Selama proses yang menjijikkan itu, Jagad tidak memejamkan mata. Yang dia lakukan hanyalah terus menatap Rumi yang sedang berlutut di bawahnya, menikmati pemandangan wanita yang ia benci sekaligus ia gilai itu berlutut tak berdaya. Jagad mendesah kasar, bukan sebuah desahan penuh cinta, melainkan erangan d******i dan kepuasan ego setinggi langit. Sedikit dari pemuasan dendamnya pada Rumi. "Lihat dirimu," bisik Jagad di sela napasnya yang memburu, tangannya menjambak pelan rambut Rumi, memaksa wajah wanita itu mendongak untuk menatap wajahnya yang penuh gairah namun matanya dingin. "Kau cocok sekali di posisi ini, Rumi. Di bawahku, untuk melayaniku. Tanpa aku perlu repot-repot memuaskanmu." Rumi mematikan perasaannya, menulikan telinganya. Dia membiarkan air mata menggenang di pelupuk mata tapi menahannya sekuat tenaga agar tidak jatuh. Dia menyuruh otaknya untuk membayangkan dirinya ada di tempat lain. Di rumah di kampung bersama Rully dan ibu juga adiknya, atau di taman, atau di mana saja asal bukan di neraka ini bersama Jagad Syailendra. Ketika Jagad akhirnya mencapai puncaknya, pria itu menghempaskan tubuhnya ke belakang, napasnya tersengal, manjadikan lengannya sebagai tumpuan di meja kerjanya. Jagad menyeringai penuh kepuasan, dia mengambil tisu di meja, membersihkan dirinya sendiri dengan santai, lalu menaikkan celananya dan memasang gesper, seolah tidak ada yang terjadi sesaat lalu. "Bereskan. Lalu kita pulang," perintah Jagad datar. Jagad merapikan pakaiannya dan memasang kembali topeng CEO yang berwibawa. Rumi merasa kotor, merasa hina, sungguh merasa jijik pada kelakuan tidak bermoral Jagad yang mengatasnamakan istri siri. Tapi di balik rasa jijik itu, ada api membara yang membakar dadanya. Rumi bangkit perlahan. Dia tidak mau menangis. Rumi mencuci tangannya di kamar mandi khusus di ruangan itu dengan sabun berkali-kali, menggosoknya hingga kulitnya memerah. Dia juga berkumur berkali-kali hingga hampir muntah. Setelah itu, Rumi kembali ke mejanya. Dia mengambil tasnya, menatap Jagad yang sudah siap untuk pulang seolah tidak terjadi apa-apa. "Kita pulang sekarang," suara Jagad memecah keheningan. Rumi yang berjalan di belakang Jagad, sungguh ingin menikam lelaki itu dari belakang. Sungguh dia merasa hina dan rendah, walaupun dia istri siri Jagad tapi tidak begini caranya dia diperlakukan. Jalanan Jakarta malam itu basah sisa hujan, memantulkan cahaya lampu kota yang buram di aspal hitam. Di dalam kabin Mercedes-Benz Maybach yang melaju mulus membelah kemacetan, udara terasa jauh lebih dingin daripada suhu AC yang tertera di dashboard. Tidak ada musik. Tidak ada percakapan. Hanya derum halus mesin mobil yang nyaris tidak terdengar dan suara ban yang menggilas genangan air. Rumi menyandarkan kepalanya ke jok kulit yang empuk, matanya terpejam rapat berharap dia bisa tidur di mobil ini. Batin dan fisiknya sungguh lelah. Benar-benar terlalu lelah untuk membuka mata, terlalu muak untuk melihat wajah tampan pria di sebelahnya yang duduk tanpa rasa bersalah sama sekali. Menutup mata adalah satu-satunya cara Rumi membangun benteng pertahanan terakhirnya sekaligus sebuah penolakan pasif untuk mengakui eksistensi Jagad di sisinya. Dikta mengemudi dalam diam seperti biasa. Di kursi belakang, Jagad sedang memijat pangkal hidungnya, terlihat pening. "Dikta," panggil Jagad tiba-tiba. "Ya, Tuan?" "Soal Rumi..." Jagad melirik Rumi yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Otak Jagad berputar kembali ke saran Devarya. Cari tahu. Investigasi. Logikanya berteriak bahwa ada yang janggal. Rumi terlalu tenang, terlalu tulus, seperti kata Devarya. Apakah aku harus menyuruh Dikta menyelidiki ulang soal Rully? Soal masa lalu itu? batin Jagad. Namun, saat matanya menatap wajah damai Rumi, egonya yang besar kembali mengambil alih kemudi. "Tuan? Ada perintah soal Nona Rumi?" tanya Dikta lagi, nadanya sedikit berharap tuannya akan meminta investigasi itu. Jagad menggeleng pelan, kembali menyandarkan punggungnya. "Tidak jadi," jawab Jagad acuh, “lupakan saja. Tidak ada yang perlu dicari tahu. Dia sudah ada di sini, itu sudah cukup bagiku." Dikta menghela napas samar di depan, kecewa. Dasar Tuan Jagad bodoh, rutuk Dikta dalam hati. Egomu itu bom waktu, tinggal meledak aja, tahu rasa. Tanpa Rumi tahu, Jagad tidak bisa diam. Secara fisik, dia duduk tenang dengan kaki menyilang. Namun, aura kegelisahan menguar kuat darinya. “Tidak ada manusia yang sanggup bertahan hidup dengan lelaki kejam tanpa cinta, J.” “Kau akan menangis darah...” Kembali kata-kata Devarya tadi siang berdengung di telinganya seperti tawon yang terperangkap membuatnya terganggu. Jagad mendengkus kasar, membuang muka ke jendela yang gelap. Dia hanya melihat pantulan wajahnya sendiri yang keruh. Tiba-tiba Jagad menoleh ke samping kirinya. Mata elangnya menelusuri wajah Rumi yang terlelap, nampak kelelahan. Dia melihat bayangan keunguan di bawah mata Rumi yang tertutup bedak tipis. Dia melihat bagaimana bahu wanita itu merosot, kehilangan postur tegak menantangnya selama ini yang coba dipertontonkan gadis ini. Rumi terlihat kecil dan tetap menarik hatinya. Dan entah kenapa, itu mengganggu Jagad. "Hhh..." Sebuah desahan berat lolos dari bibir Jagad. Bukan desahan marah, melainkan desahan panjang yang sarat beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Di kursi kemudi, Dikta yang sedari tadi fokus menyetir, refleks melirik ke spion tengah. Matanya sedikit membelalak. Selama hampir sepuluh tahun mengabdi pada Jagad Syailendra, Dikta hafal semua jenis suara tuannya. Dia tahu geraman marah Jagad, bentakan frustrasinya atau tawa sinisnya. Tapi mendesah? Mendesah panjang seperti orang yang sedang kalah? Itu baru dia dengar! Dikta melihat pantulan mata Jagad di spion. Tuannya itu sedang menatap Rumi dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara keinginan mencekik dan juga memeluk. Jagad menyadari tatapan Dikta di spion, "fokus ke jalan, Dikta," tegur Jagad datar, tapi tidak ada sengatan tajam dalam suaranya. Dikta langsung mengalihkan pandangan, “baik, Tuan." Jagad kembali menatap Rumi. Tangannya terangkat sedikit, jari-jarinya sungguh ingin menyentuh pipi Rumi yang pucat. Menyentuh kulit itu. Memastikan wanita ini nyata, bukan hantu masa lalu yang akan menghilang saat disentuh. Tapi kemudian, ingatan tentang 'pengkhianatan' itu kembali mampir di otaknya. Tangan Jagad terkepal di udara, lalu jatuh kembali ke sisinya dengan frustrasi. "Hhhh..." Lagi. Desahan itu keluar lagi. Lebih terasa frustrasi dari sebelumnya. Jagad benci ini. Dia benci bagaimana Rumi bisa membuatnya merasa gelisah hanya dengan diam dan memejamkan mata. Dia benci bagaimana peringatan Devarya terasa masuk akal di tengah keheningan ini. Kenapa aku peduli dia lelah? Dia pantas mendapatkannya, batin Jagad, mencoba menyalakan kembali api kebenciannya yang mulai meredup tertiup angin keraguan. Lagipula, dia yang memilih pergi. Dia yang memilih laki-laki lain. Aku hanya memberinya pelajaran. Mobil berbelok memasuki gerbang tinggi mansion Syailendra. Penjaga menunduk memberi hormat, pagar besi terbuka otomatis. Saat mobil berhenti di depan pilar besar lobi rumah, guncangan halus rem membuat kepala Rumi terkulai ke samping kiri, nyaris membentur kaca jendela. Dengan gerakan refleks yang sungguh sangat cepat, bahkan jauh lebih cepat dari logikanya, tangan besar Jagad terulur. Telapak tangannya menahan kepala Rumi sepersekian detik sebelum menyentuh kaca mobil itu. Rumi tersentak bangun karena guncangan itu, matanya terbuka lebar, napasnya tertahan kaget. Dia menoleh, mendapati tangan Jagad berada di samping wajahnya, melindunginya dari benturan dan juga betapa dekat wajah Jagad dengan wajahnya, seolah bibir Jagad hanya berjarak satu inchi dari bibirnya. Rumi bahkan bisa merasakan hangatnya napas Jagad menerpa wajahnya. Mata Jagad fokus hanya ke bibir Rumi yang pucat, dia majukan bibirnya ke bibir Rumi, menyentuhnya lembut. Waktu seolah berhenti pada mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN