Ruangan seketika hening. Senyum Nadya luntur seolah hujan turun di ruangan itu dan melunturkan make-upnya, “maksudmu apa, Jagad?”
“Aku tetap akan menyuntikkan dana triliunan rupiah ke perusahaan ini. Aku tetap akan menyelamatkan kalian dari kebangkrutan,” Jagad menatap Pak Sutanto intens dengan mata setajam elang, “tapi aku tidak akan menikahi Nadya.”
“Apa?!” Pak Sutanto berdiri, wajahnya memerah karena kaget dan marah. “Kau memermainkan putriku? Perjanjian kita adalah pernikahan keluarga!”
“Pernikahan tetap terjadi. Tapi antara aku dengan karyawan perusahaan ini,” Jagad melempar map berisi profil Rumi yang baru saja didapat ke atas meja. Foto Rumi terpampang di sana. “Namanya Lituhayu. Staff administrasi di sini.”
Pak Sutanto dan Nadya menatap foto itu dengan bingung dan meremehkan.
“Aku menginginkan dia sebagai mempelai wanitanya, bukan Nadya.” Kata Jagad, tegas. Nadanya kentara sekali mendominasi, tidak mau dibantah.
“Siapa perempuan kampung ini? Karyawan rendahan kan? Kau gila, Jagad! Kau menolak putriku demi seorang staff biasa?” teriak Sutanto, "aku tidak setuju! Ini penghinaan! Aku batalkan kerja sama ini! Kamu hanya boleh menikahi putriku saja!” pekiknya, mulai panik.
Tapi Sutanto salah memilih lawan. Jagad tidak gentar sedikit pun. Dia justru tertawa pelan. Tawa yang terdengar kering dan menakutkan.
“Karyawan rendahan, huh? Kalian lupa siapa yang memegang leher perusahaan ini sekarang?” Jagad berdiri, mencondongkan tubuhnya ke depan. Aura dominasinya memenuhi ruangan, membuat Sutanto menciut dan kembali duduk ke kursinya.
“Silakan tolak permintaanku dan besok pagi saham Sutanto Corp. akan kujadikan debu di lantai bursa. Kalian akan kehilangan segalanya. Rumah, mobil, kehormatan dan masa depan putrimu yang manja ini.” Kata Jagad, nadanya dominan mengancam yang halus.
Jagad merapikan kerah jasnya, matanya berkilat penuh kemenangan, “jadi pilihannya hanya satu dan itu sangat sederhana, Pak Tua. Berikan Lituhayu Rumi sebagai calon istriku dan paksa dia menyetujuinya bagaimana pun caranya, atau…,” Jagad menyeringai seram, “kalian bersiap jadi gelandangan minggu depan.”
Jagad berdiri, namun baru satu langkah dia berkata tajam tanpa mau melihat ke arah Sutanto, “oh ya, satu lagi, berani kalian berkata jelek tentang Rumi, kalian akan terima akibatnya!”
Karena hanya aku yang berhak lakukan itu!
Jagad berbalik menuju pintu, meninggalkan keheningan mencekam di belakangnya. Sebelum keluar, dia bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Persiapannya sudah selesai. Saatnya menjemputmu pulang, Rumi dan kita akan mulai pesta kita.”
*
Keesokan hari di ruangan kantor Jagad
Suara gelas kristal yang pecah berkeping-keping menghantam dinding ruang kerja Jagad, menciptakan gema nyaring yang memekakkan telinga.
"Aku bukan barang dagangan yang bisa kamu tukar seenak jidat, Jagad!" Nadya berteriak, napasnya memburu, dadanya naik turun menahan histeria, "papa sudah bilang tidak! Sutanto Corporation tidak akan setuju kalau mempelainya bukan aku!" teriaknya mengamuk.
Jagad tidak beranjak dari kursi kebesarannya. Dia bahkan tidak berkedip saat pecahan kristal mendarat hanya beberapa sentimeter dari sepatu kulitnya yang mahal. Pria itu hanya sedikit memiringkan kepala, menatap Nadya dengan kebosanan yang menghina.
"Sudah selesai tantrumnya?" tanya Jagad datar, seolah sedang bertanya pada balita yang merengek ngamuk minta permen.
"Kamu pikir kamu siapa?!" Nadya maju, menggebrak meja kerja Jagad. "Kamu butuh Papa untuk akses tambang itu! Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena kamu naksir karyawan rendahan itu! Mempelaimu hanya aku. AKU!" Nadya malah semakin tantrum.
Jagad menegakkan punggungnya. Aura dingin seketika menguar, membuat nyali Nadya menciut. Jagad mencondongkan tubuh, menatap Nadya lekat-lekat.
"Koreksi, Nadya. Papamu yang butuh aku agar kalian tidak jadi gelandangan. Sedangkan kamu..." Jagad menunjuk d**a Nadya dengan pena emasnya, tanpa mau tangannya menyentuh gadis itu seolah dia kotoran, “kamu terlalu berisik untuk seleraku. Keluar." Penanya menunjuk ke arah pintu.
Nadya menghentakkan kaki, berbalik dengan angkuh dan mengancam, “kita lihat saja. Karena undangan tetap akan dicetak dengan namaku!"
Pintu dibanting, keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Jagad memutar kursi, menatap pemandangan kota Jakarta dari balik kaca. Dia menekan intercom.
"Dikta. Masuk."
Pintu terbuka tanpa suara. Dikta masuk, berdiri tegak dengan tangan di belakang punggung. Wajahnya datar, profesional dan siap menerima perintah sekotor apa pun dari Jagad.
"Siapkan umpan," perintah Jagad tanpa menoleh. "Mantan pacar Nadya. Siapa namanya? Vokalis band indie yang sering sakau itu?"
"Billy, Tuan. Dia baru keluar dari rehabilitasi minggu lalu dan sedang butuh uang." Beruntung Dikta yang sudah paham akan karakter Jagad, sudah mencari info tentang Nadya dan segala sesuatunya.
Sudut bibir Jagad terangkat membentuk seringai iblis. "Bagus. Beri dia banyak uang. Atur pertemuan 'reuni' malam ini di private room kelab malam yang biasa mereka datangi. Pastikan Nadya datang dalam keadaan emosional."
Jagad memutar kursi kembali menghadap Dikta. Matanya berkilat kejam penuh kepuasan pada keefektifan kerja orang kepercayaannya ini.
"Dikta, aku mau resolusinya 4K. Jangan ada satu angle pun yang terlewat."
“Baik Tuan,” jawab Dikta patuh, segera undur diri menyelesaikan rencana sang tuan.
*
Keesokan harinya, di kantor Sutanto Corporation
Sutanto sedang menikmati cerutu mahalnya ketika pintu ruangannya dibuka paksa tanpa diketuk terlebih dulu. Dia hendak memarahi sekretarisnya, tapi kalimatnya tercekat di tenggorkan saat melihat siapa yang masuk.
Jagad Syailendra melenggang masuk dengan santai, diikuti Dikta yang membawa sebuah amplop cokelat tebal.
"Jagad? Nak Jagad?" Sutanto gugup, mematikan cerutunya terburu-buru, "kalau mau bicara soal pernikahan, Nadya bilang dia sudah meyakinkanmu untuk…"
BRAK!
Belum juga Sutanto selesaikan kalimatnya, Jagad melempar amplop cokelat itu ke atas meja. Isinya berhamburan keluar. Foto-foto. Puluhan foto tidak senonoh juga sebuah flash disk berwarna hitam.
Mata Sutanto membelalak. Tangannya gemetar hebat saat mengambil selembar foto. Di sana, putrinya, Nadya, putri yang dia gadang-gadang akan menjadi Nyonya Syailendra, sedang bergumul liar di sofa sebuah kelab malam dengan seorang pria penuh tato di wajah. Di foto itu, Nadya tampak kacau, mabuk dan menjijikkan.
Di lembar lain, terlihat Nadya sedang menghisap serbuk putih di atas meja kaca.
"Pesta lajang yang liar, Pak Sutanto?" sindir Jagad, duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki dengan elegan. "Bayangkan kalau foto-foto ini sampai ke tangan pemegang saham atau media massa. Oiya, flash disk itu berisi video desahan putrimu dengan lelaki itu. Mau coba lihat? Dikta, putar videonya!”
Dikta maju, meletakkan tablet di meja Sutanto dan menekan tombol play sebuah video berisi adegan panas antara Nadia, yang wajahnya terpampang jelas, dengan lelaki tadi.
Wajah Sutanto berubah menjadi abu-abu, "i-ini... ini rekayasa! Kamu menjebaknya!"
"Tentu saja aku yang menjebaknya," aku Jagad tanpa rasa bersalah sedikit pun, “tapi putrimu yang menikmatinya, bukan? Dia yang memilih menenggak pil itu. Dia yang memilih membuka pahanya untuk memuaskan syahwatnya dengan pecandu itu."
Jagad berdiri, merapikan jasnya, "so, pilihannya makin sempit, Pak Tua. Satu, kalian batalkan pernikahan, maka saya tarik investasi dan foto-foto ini tersebar ke seluruh jagad maya. Bapak bangkrut, anak Bapak masuk penjara karena n*****a. Plus bonus rasa malu di sisa umur kalian.”
Sutanto merosot di kursinya, seolah tulangnya ditarik paksa, "sialan! A-apa maumu?" suaranya parau, sangat putus asa.
Jagad tersenyum puas. Dia berjalan mendekati meja Sutanto, mencondongkan wajahnya.
"Sederhana. Ganti nama di undangan itu. Saya tidak peduli Nadya mau Bapak kirim ke luar negeri atau ke pusat rehabilitasi. Yang jelas, mempelai wanitaku bukan dia."
"Lalu siapa?"
"Panggil dia ke sini. Sekarang." Kata Jagad, tegas.
*
Rumi sedang menyusun arsip di cubicle sempitnya ketika telepon di mejanya berdering.
"Lituhayu Rumi, ke ruangan Pak Sutanto. Segera." Klik. Sambungan diputus membuat Rumi kebingungan sendiri.
Jantung Rumi berdegup kencang. Apakah dia membuat kesalahan? Apakah laporannya ada salah? Selama tiga tahun bekerja di sini, dia selalu berusaha menjadi bayangan. Tidak terlihat, tidak terdengar bahkan sebisa mungkin tidak nyata. Dipanggil langsung ke ruangan CEO adalah mimpi buruk.
Rumi merapikan rok span-nya yang sedikit kusut. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Demi Rully. Kamu butuh pekerjaan ini. Apapun itu, hadapi dengan berani! Sugestinya pada diri sendiri.
Rumi melangkah menuju lift, naik ke lantai eksekutif. Lorong itu terasa dingin dan sepi. Sekretaris Sutanto menatapnya dengan pandangan aneh, campuran antara kasihan dan bingung tapi tidak mampu diutarakan, hanya memersilakannya masuk.
Rumi membuka pintu kayu jati yang berat itu dengan perlahan, "permisi, Pak Sutanto? Bapak memanggil sa..."
Kalimat Rumi terhenti di tenggorokan. Ruangan itu terasa mencekam. Sutanto duduk di belakang mejanya, wajahnya menunduk dalam, memijat pelipisnya seolah sedang menanggung beban dunia. Tapi bukan itu yang membuat darah Rumi membeku.
Di depan meja Sutanto, ada kursi tamu punggung tinggi yang membelakangi pintu. Seseorang sedang duduk di sana.
Asap rokok tipis mengepul dari balik sandaran kursi itu. Aroma tembakau mahal bercampur musk yang familiar menyapa indra penciuman Rumi, membangkitkan memori trauma yang sudah tiga tahun dia kubur dalam-dalam.
Ah, ini hanya perasaanku saja. Tidak, tidak mungkin aku sampai dipanggil CEO karena Jagad menemukanku.
"Masuk, Lituhayu. Mendekatlah," suara Sutanto terdengar lemah, seolah dia baru saja kalah perang.
Rumi masuk dengan langkah ragu, kakinya terasa seperti timah.
"Ada apa, Pak? A-apa saya... dipecat?" tanya Rumi lirih.
Kursi tamu itu berputar perlahan. Waktu seakan berhenti bagi Rumi. Lantai di bawah kaki Rumi terasa runtuh saat melihat siapa di kursi itu.
Jagad Syailendra duduk di sana.
Dia tidak terlihat seperti pria mabuk yang Rumi tinggalkan malam itu. Dia terlihat berpuluh kali lebih berbahaya. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang semakin kekar, rambutnya tertata sempurna dan di bibirnya tersemat senyum miring yang membuat Rumi ingin muntah karena ketakutan.
Mata elang Jagad menelusuri tubuh Rumi dari ujung kaki hingga ke mata, tatapan lapar yang seolah menelanjangi.
"Dipecat?" suara Jagad memecah keheningan, terdengar berat dan serak, mengirimkan getaran kengerian ke punggung Rumi.
Jagad berdiri, melangkah perlahan mendekati Rumi yang mematung di dekat pintu. Rumi ingin lari, tapi kakinya bagai dipaku ke lantai.
Jagad berhenti tepat satu langkah di depan Rumi. Dia menunduk, menatap mata Rumi yang membelalak panik.
"Justru sebaliknya, Sayangku," bisik Jagad, tangannya terulur menyentuh dagu Rumi, memaksanya mendongak. Kulit mereka bersentuhan setelah tiga tahun lamanya, memberi sensasi menyengat seperti aliran listrik, “kamu baru saja mendapat promosi jabatan tertinggi."
Jagad mendekatkan bibirnya ke telinga Rumi, berbisik tajam penuh penekanan juga ancaman, "selamat datang kembali di neraka, Calon Istriku."