Part 4. Akhirnya Ku Menemukanmu!

2346 Kata
Cahaya matahari pagi yang hangat dan menyilaukan menembus celah tirai yang tidak tertutup rapat dan mengenai wajah Jagad. Jagad mengerang, rasa sakit menghantam kepalanya seperti dihantam palu godam berkali-kali. Dia menyipitkan mata, menghalau silau juga mencoba mengumpulkan kesadaran. Mulutnya terasa pahit, tubuhnya pegal karena tidur di lantai hanya beralas karpet. "Aargh, kepalaku…! Sialan, sakit sekali." Umpatnya serak. Dia mencoba bangun, tapi kembali terjatuh. Jagad memegang kepalanya yang berdenyut hebat dan bersandar pada kaki sofa. Samar-samar ingatannya kembali. Dia ingat minum terlalu banyak karena frustrasi melihat Rumi yang diam membatu di kantor. Dia ingat dia pulang larut malam, marah-marah dan melihat Rumi di sofa. Jagad menoleh cepat ke sofa yang… Kosong. Dia menoleh ke ranjang besar di tengah ruangan. Selimutnya rapih terlipat, seprai kasur juga rapih, seolah tidak pernah ada seseorang yang tidur di atasnya. Kesunyian di kamar itu terasa salah. Tidak ada suara napas, tidak ada aroma manis Rumi yang biasanya menguar samar. "Rumi?" panggilnya. Suaranya serak karena tenggorokannya kering, dia menoleh kanan kiri mencari keberadaan Rumi. Hening, tidak ada jawaban. Jagad berdiri sempoyongan, rasa mabuknya seketika lenyap dan digantikan oleh dingin yang merayap di tulang punggung. Tertatih, dia membuka pintu kamar mandi. Kosong dan lantainya kering. Jantung Jagad berdetak tidak beraturan. Dia berlari keluar kamar, menuruni tangga dua anak sekaligus, mengabaikan kepalanya yang berputar. "Simbok! Dikta!" teriaknya. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan kosong. Simbok tergopoh-gopoh datang dari arah dapur, wajahnya pucat, “ya, Mas? Ada apa?" "Mana Rumi?" Jagad mencengkeram bahu wanita tua itu. Matanya liar dan gelisah, mencari ke sana ke mari, “panggil dia! Suruh dia bawa anaknya ke sini sekarang!" Simbok gemetar, matanya berkaca-kaca ketakutan, “i-itu, Mas... non Rumi... eeum Simbok tadi pagi mau bangunin, tapi kamarnya kosong. Sepatu Non Rumi dan Rully juga ndak ada." Dunia seakan berhenti berputar bagi Jagad. Cengkeramannya di bahu Simbok terlepas. Tangannya jatuh lemas di sisi tubuh. Pergi. Terjadi lagi, wanita itu pergi lagi, meninggalkannya lagi. Dikta, asisten pribadinya, berlari masuk dari pintu depan dengan wajah tegang, "Tuan Jagad! Penjaga pos depan bilang beberapa CCTV mati semalam karena petir. Mereka baru sadar pintu gerbang samping sedikit terbuka dan..." Entah apalagi yang diucapkan Dikta, Jagad tidak lagi bisa memahami. Jagad bagai patung, tidak merespon, tidak berteriak. Ekspresi kemarahan yang meledak-ledak seperti biasanya, tidak muncul. Sebaliknya, wajah Jagad berubah menjadi topeng batu yang dingin dan menakutkan. Urat-urat di lehernya menonjol, rahangnya mengeras hingga terdengar bunyi gemeretak gigi. Rumi pikir dia bisa lari? Rumi pikir dia bisa mempermainkanku untuk kedua kalinya? Cih, dasar bodoh! Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Batin Jagad dengan mata berkilat penuh amarah. Jagad berjalan pelan menuju sofa ruang tengah, lalu duduk dengan tenang. Dia mengambil ponselnya dari saku celana dan menekan satu nomor. Ketenangannya membuat Dikta terselip rasa khawatir karena tidak bisa meraba apa yang akan dilakukan Jagad berikutnya. "Kerahkan semua orang," titah Jagad. Suaranya rendah, datar, tanpa emosi, namun mampu membuat bulu kuduk Dikta yang mendengarnya berdiri. "Cari di stasiun, terminal, bandara, pelabuhan. Cek semua CCTV jalan raya radius sepuluh kilometer. Lakukan sekarang!” Perintahnya pada orang di telepon. Dia mematikan sambungan telepon, lalu menatap titik kosong di dinding. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, senyum seorang predator yang menikmati perburuan. "Kau boleh lari sejauh kakimu bisa membawamu, Lituhayu," bisiknya pelan pada kekosongan rumah yang sunyi itu. Jagad mengambil gelas di meja, meremasnya kuat-kuat hingga gelas itu pecah di tangannya. Pecahan kaca menancap, darah segar mengalir deras menetes ke lantai marmer putih membuat simbok panik bergegas mengambil kotak P3K. Anehnya, Jagad tidak meringis kesakitan. Dia bahkan tidak berkedip. Sepertinya rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan obsesi gila yang kini menguasai otaknya. Dia melihat ke tetesan darahnya sendiri, lalu mengusapnya perlahan. "Karena saat aku menemukanmu nanti, Rumi, aku pastikan kakimu tidak akan pernah bisa melangkah keluar dari sisiku lagi. Selamanya!” * TIGA TAHUN KEMUDIAN Langit Jakarta sore itu tampak kelabu dari balik dinding kaca lantai 40 Syailendra Group. Di dalam ruangan mewah itu, atmosfer terasa maskulin dan mengintimidasi. Jagad duduk di kursi kebesarannya, memutar gelas whiskey di tangan. Tiga tahun sudah berlalu dan telah mengubahnya. Sekarang dia lebih matang, lebih kaya, dan jauh lebih dingin. Garis rahangnya semakin tegas, namun sorot matanya mati. Seperti danau beku yang bahkan cahaya tidak mampu menembusnya. Di sofa luxury kulit hitam, dua pria lain duduk dengan gaya santai namun memancarkan aura dominan yang setara. Javier Zaydan, dengan setelan jas abu-abunya yang rapi, dan Devarya Luxford yang melonggarkan dasinya. “Jadi, berita ini benar, J?” Javier memecah keheningan, meletakkan tablet yang menampilkan berita utama bisnis yang seketika terasa jadi kanal gosip dengan headline caption berhuruf kapital, PERNIKAHAN AKBAR TAHUN INI, HARI PATAH HATI NASIONAL UNTUK KAUM HAWA : JAGAD SYAILENDRA DAN NADYA CLARISSA SUTANTO. “Kau benar-benar akan menikahi putri Sutanto? Si Nadya gadis manja itu?” tanyanya penasaran. Jagad menyesap minumannya, sama sekali tidak ada ekspresi bahagia di wajah tampannya, menjawab malas, “saham Sutanto Corporation sedang goyah. Merger ini akan memberi Syailendra akses penuh ke ladang minyak mereka di Kalimantan. Itu kesepakatan yang menguntungkan dua pihak.” Devarya terkekeh sinis, menyandarkan punggungnya, “J, kami bertanya soal pernikahan, bukan proposal bisnis. Kau akan tidur dengan wanita itu seumur hidupmu. Apa kau yakin bisa melakukannya tanpa membayangkan wajah orang lain, huh?” Gelas di tangan Jagad berhenti berputar. Udara di ruangan itu mendadak dingin, turun beberapa derajat. Ketiga lelaki itu tahu pasti siapa yang dimaksud Devarya dengan wajah orang lain. “Sudah tiga tahun lebih, dia sudah mati bagiku,” jawab Jagad datar. Suaranya tanpa emosi, namun Javier dan Devarya bertukar pandang. Mereka tahu itu bohong. Selama tiga tahun, Jagad mencari Rumi seperti orang gila di satu tahun pertama. Dia tidak sayang membakar habis banyak uangnya untuk menyewa detektif, melacak CCTV, menyisir setiap sudut kota. Tapi hasilnya nihil. Rumi bak lenyap ditelan bumi. Setelah itu, Jagad berubah menjadi mesin pencetak uang tanpa hati, hanya fokus pada pekerjaan saja. “Nadya wanita yang euum… mayan oke, kok, ” komentar Javier, mencoba mencairkan suasana, “memang sih agak sedikit manja, tipikal pewaris tunggal. Tapi cantik dan lulusan luar negeri.” “Aku tidak peduli dia cantik atau tidak,” Jagad berdiri, mengancingkan jas hitamnya. “Dia tidak ada artinya bagiku. Dia hanya tanda tangan di atas kertas kontrak layaknya merger yang sering kulakukan. Selama dia tidak menggangguku, dia bisa menyandang nama nyonya Syailendra dengan tenang dan mendapatkan semua kemewahan yang dia inginkan.” Jagad mengecek jam tangan mahalnya, “aku ada janji temu dengan keluarga Sutanto di restoran sekarang. Membahas detail resepsi sialan itu.” Katanya dengan ekspresi wajah yang tidak berubah, tetap datar. “Semoga beruntung, Bro,” ucap Devarya sambil mengangkat gelasnya, “ingat J, behave! Jangan sampai kau membunuh calon mertuamu karena dia terlalu banyak bicara dan kamu jadi bosan.” Jagad mendengkus kesal pada dua sahabatnya itu, lalu melangkah keluar ruangan dengan aura gelap yang menyelimutinya. Dia pikir hidupnya sudah selesai. Dia pikir dia hanya akan menjalani sisa hidupnya sebagai mayat hidup yang kaya raya sejak Rumi pergi lagi darinya. Jagad tidak tahu saja, bahwa takdir sedang menyiapkan kejutan manis dan pahit untuknya, yang akan membuat jantungnya kembali berdetak tidak beraturan. * Jarum detik pada jam tangan mewah di pergelangan tangan Jagad bergerak lambat, seirama dengan ketukan jarinya di atas meja mahoni mewah yang dingin. Di luar dinding kaca restoran private dining lantai 45 ini, lampu Jakarta berkelip angkuh, tapi bagi Jagad, pemandangan itu tidak lebih menarik dari tumpukan berkas merger. "Tuan Jagad," Dikta berbisik sembari menyodorkan segelas minuman, "keluarga Sutanto sudah tiba di lobi." Jagad tidak menoleh, dia hanya mengangguk kecil. Dia menyesap cairan itu, membiarkan rasa panas membakar tenggorokannya, satu-satunya hal yang bisa ia rasakan tiga tahun terakhir. Sejak setuju untuk merger, dia sudah perintahkan otaknya memberi sugesti bahwa pernikahan ini hanyalah transaksi belaka. Sutanto Corp. butuh suntikan dana untuk usaha tambang mereka yang sekarat, sedangkan Jagad butuh akses pelabuhan mereka untuk memerluas rute ekspor minyaknya. Sebuah simbiosis mutualisme yang menguntungkan dua pihak kan? Lagipula, Sutanto seketika menawarkan putrinya untuk dinikahi Jagad dengan harapan akan memerkokoh posisi perusahaan. Jagad coba mengingat gadis yang akan disodorkan padanya sebagai istri. Dia bahkan tidak ingat siapa namanya, mungkin lebih ke tidak peduli, andai tadi Javier tidak mengingatkannya. Mereka sudah pernah bertemu dan Jagad harus mengakui bahwa gadis itu cantik, berpendidikan, tapi sangat manja, setidaknya itu yang tertulis di profil. Jagad menyeringai membaca profil tersebut. Tapi baginya tidak masalah, asalkan nantinya mampu untuk menjadi pajangan di rumah besarnya yang sunyi. Dia tidak membutuhkan istri untuk membahagiakannya. Hatinya sudah lama menjadi bongkahan es sejak malam terkutuk tiga tahun lalu. Rumi… Ingatannya kembali lagi pada nama itu. Pintu ganda ruangan private dining terbuka, menghentikan lamunan Jagad akan Rumi. "Ah, Pak Jagad! Maaf membuat Anda menunggu," suara bariton Handoko Sutanto memecah kesunyian, diikuti derap langkah kaki beberapa orang menyusul di belakangnya. Jagad berdiri perlahan, memasang topeng korporatnya yang sempurna. Wajah tanpa emosi, senyum tipis formalitas yang bahkan tidak mencapai mata. Ia menyalami Sutanto, lalu menatap wanita muda yang berdiri di samping taipan itu. Gaun ketat merah marun, riasan cukup tebal juga senyum yang terlalu lebar menurut Jagad. Gadis ini adalah calon istrinya! Alis Jagad naik melihat penampilannya, dia melirik Dikta yang tersenyum kecil. Sesungguhnya pun Jagad ingin tertawa melihat ondel-ondel ini. Beruntung tadi Javier dan Devarya tidak ikut dengannya ke sini. "Perkenalkan, ini putri cantik kebanggaan saya, Nadya Clarissa," ujar Sutanto penuh dengan d**a membusung. Jagad mengangguk singkat, tanpa senyum, "silakan duduk." Katanya basa-basi. Pembicaraan mereka sangat membosankan, dikuasai oleh Nadya yang berceloteh tentang betapa hebat dirinya di bidang ini itu. Jagad sama sekali tidak mendengar apa yang diucapkan oleh gadis ini. Dia malah sibuk membayangkan andai saja yang ada di depannya adalah Rumi. Hingga tiba-tiba Dikta minta izin mendekati Jagad dan berbisik tapi menyengaja agak keras agar didengar oleh Sutanto dan Nadya, “Tuan Jagad, kita harus segera kembali ke kantor.” Kata Dikta yang sudah paham bosnya sangat bosan. Nadya menatap Jagad penuh kecewa dan kesal tapi dia urungkan niatannya untuk protes saat melihat Jagad gegas bangkit dari duduknya dan tanpa basa-basi berpamitan, “untuk berkas merger, akan ditandatangani besok sekalian saya berkunjung ke gedung Sutanto Corp.” Sesaat sebelum masuk sedan mewahnya, Jagad menepuk pundak Dikta. Walau tanpa diksi, tanpa senyum sekalipun, tapi Dikta tahu itu sebuah bentuk apresiasi dari sang bos untuknya. * Keesokan hari, Jagad bersama Dikta mengunjungi Sutanto Building usai rapat dengan calon investor di sebuah hotel. Lobi Sutanto Corporation ramai oleh karyawan yang berlalu-lalang saat jam makan siang. Jagad berjalan tegap diikuti Dikta dan dua pengawalnya, membelah kerumunan. Karyawan wanita seketika menahan napas melihat ketampanan yang di luar nalar itu, sementara para pria menunduk segan, beberapa berharap mendapatkan setidaknya sepuluh persen saja ketampanan dan kekayaannya. Tapi Jagad tidak mau melihat mereka. Baginya, wajah-wajah itu hanyalah kertas buram tidak berarti. “Tuan Jagad, Pak Sutanto sudah menunggu di ruang rapat VIP di lantai 12,” ujar Dikta setelah melapor ke customer service. Mereka menuju lift eksekutif. Namun, saat pintu lift hampir tertutup, mata tajam Jagad menangkap pergerakan yang dia hapal. Seorang sosok wanita dengan setelan blazer cream dan rok span di bawah lutut sedang berjalan membawa tumpukan dokumen. Rambutnya digelung rapi, menampakkan leher jenjang yang bersih. Dia tertawa kecil menanggapi candaan temannya. Tawa itu...! Sedetik, jantung Jagad bagai berhenti berdetak mendengar suara tawa yang sangat merdu di telinganya. Sekilat kemudian, Jagad menekan tombol hold pada pintu lift dengan kasar. Dia melangkah keluar dari lift dan matanya terpaku ke satu arah. “Tuan?” tanya Dikta bingung. Jagad tidak menjawab. Matanya menyipit, memindai sosok itu walau hanya tampak belakang tubuhnya. Wanita itu menoleh sedikit ke kanan untuk merespon ke temannya hingga memerlihatkan profil samping wajahnya. Hidung bangir, bulu mata lentik, dan cara jalan yang Jagad hapal. Lituhayu Nirbita Rumi! Darah Jagad berdesir hebat, sensasi campuran emosi menjalar dari ujung kaki ke kepalanya. Campuran bungah rasa rindu juga gelombang adrenalin liar macam seekor predator yang menemukan mangsanya yang sempat lolos. Rumi ada di sini. Di gedung ini. Bekerja di bawah atap mitra bisnisnya sendiri! Jagad menyeringai melihat sosok itu. Tiga tahun berlalu, Rumi tampak berbeda. Tidak ada lagi baju lusuh atau wajah ketakutan tapi kini dia terlihat profesional, percaya diri, dan baik-baik saja. Rumi terlihat hidup dengan baik tanpanya, dan fakta itu membuat Jagad murka sekaligus terpesona. Kenapa Rumi bisa hidup dengan sangat baik tanpanya, sedangkan dia hancur lebur? Seringai tipis namun mengerikan, perlahan terukir di bibir Jagad. Akhirnya! “Kalian duluan ke atas,” perintah Jagad pada pengawalnya tanpa mengalihkan pandangan dari punggung Rumi yang menjauh. “Tapi Tuan, pak Sutanto...“ “Bilang padanya aku sedang meninjau aset masa depanku,” potong Jagad dingin. Dikta belum tahu siapa yang dimaksud masa depan oleh Jagad. Jagad melangkah pelan mengikuti Rumi dari jarak aman. Dia memerhatikan bagaimana Rumi menyapa staf lain yang berpapasan, bagaimana dia berjalan dengan punggung tegak, bagaimana dia terkekeh kecil mendengar candaan teman-temannya. Rumi benar-benar telah membangun kembali hidupnya dan berhasil! Walau tanpa dirinya. Jagad merogoh ponselnya, menghubungi kepala HRD Sutanto Corp., sebuah koneksi yang dia miliki dari proses merger. “Kirimkan data karyawan atas nama Lituhayu Nirbita Rumi. Divisi apa pun. Sekarang,” perintahnya mutlak tanpa basa-basi, sebuah titah yang tidak bisa dibantah. Usai mendapatkan data dari kepala HRD, Jagad bergegas masuk ke ruang rapat VIP dengan sebuah rencana yang dia rancang kilat. Sutanto, pria tua bertubuh tambun dengan senyum ramah yang palsu, langsung berdiri menyambutnya. Di sebelahnya duduk Nadya, wanita cantik dengan riasan cukup tebal yang menatap Jagad dengan mata berbinar-binar. “Ah, Nak Jagad! Akhirnya datang juga. Nadya sudah tidak sabar ingin membahas gaun pengantinnya. Katanya dia ingin desainer dari Paris,” celoteh Sutanto antusias. Nadya tersenyum manja, hendak meraih lengan Jagad, “sayang, kamu kok telat?” Jagad menepis halus tangan Nadya, lalu duduk di sofa dengan angkuh. Dia tidak membalas senyum mereka. Matanya menatap ke arah Sutanto lurus, tajam dan penuh kalkulasi. “Ada perubahan rencana, Pak Sutanto,” ucap Jagad tenang, to the point. Dia tidak mau kehilangan waktu, rencana dadakannya harus segera dilaksanakan atau dia akan kehilangan Rumi lagi. Sutanto mengerutkan kening, “p-perubahan? Soal tanggal? Atau lokasi?” tanyanya, merasa ada kejanggalan karena sangat mendadak. Jagad menyandarkan punggungnya, mengetukkan jari di meja mahoni, “bukan itu, tapi soal mempelai wanitanya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN