Part 3. Kenapa Rumi..., Kenapa???

1531 Kata
“Jagad sialaaan!! Aku benci kamu! Membusuk saja kamu di neraka!” teriak Rumi di sela isak tangisnya. Tubuhnya masih bergetar hebat hanya mengenakan pakaian dalam. Dia mengumpat dan menyumpahi Jagad, tapi amarahnya tidak juga surut. Tiba-tiba, pintu berderit didorong. Rumi tersentak, cepat-cepat memakai kemeja Jagad yang tergeletak di lantai, menutup tubuhnya asal-asalan. “Non Rumi, ya Allah, Non, astagfirullah, kebangetan memang itu Mas Jagad!” Simbok, wanita paruh baya yang sudah lama mengasuh Jagad, bergegas masuk. “Mbok…hu.. hu…” Rumi langsung memeluk Simbok, yang membantunya berdiri dan memapahnya ke sofa. “Pakai baju dulu, Non. Tadi Mas Jagad minta Simbok bawakan baju untuk Non Rumi. Nanti Simbok bantu ngomong ke Mas Jagad ya,” kata Simbok lembut, sibuk memakaikan Rumi rok dan kemeja bersih. “Sudah… sudah, jangan menangis lagi. Mendingan sekarang ke kamar, kita makan ya.” Rumi mengangguk, tapi sedetik kemudian, dia mendengar suara teriakan bocah kecil dari halaman belakang. Kelelahan dan kesedihan Rumi seketika menghilang, digantikan oleh kepanikan. Reflek, dia berlari ke arah jendela, mencari sumber suara. “Mbok, di mana Rully? Dia sama siapa di halaman? Jagad tidak menyentuh Rully, kan?!” Rumi melupakan rasa sakitnya, hendak menghambur keluar tapi kakinya terlalu lemah. Rumi sangat takut jika Jagad menyakiti bocah kesayangannya itu. Jika itu terjadi, dia bersumpah akan menghabisi Jagad dengan tangannya sendiri. Rully adalah nyawanya dan Jagad tahu itu. Simbok bergegas menghampiri Rumi, menyentuh lembut lengan gadis yang panik itu. “Tenang, Mas Rully lagi main sama Dikta sekalian disuapi makan. Rully aman sama Dikta. Dia cuma teriak kegirangan karena lari-lari.” Rumi berjalan tertatih menuju kamarnya di bangunan belakang, “Mbok, minta tolong nanti Rully dibawa ke kamar saya, ya.” Simbok mengangguk. * Di kamar utama, pecahan kaca berserakan. Jagad berdiri dengan napas memburu, mata yang memerah karena marah dan tangannya berdarah setelah memukuli cermin. Ia menatap nanar selembar foto di tangannya, satu-satunya benda yang selamat dari amukannya walau lembaran foto itu kucel karena sudah sempat dia remas. Wajah Rumi di foto itu tersenyum manis, kontras dengan tatapan penuh kebencian juga kemuakan yang baru saja gadis itu lemparkan padanya. “Kenapa aku tidak bisa menghancurkanmu sehancur-hancurnya, Rumi?! Kenapa aku tetap tidak bisa melepasmu, Rumi? Kenapa?!” geramnya. Beribu tanya kenapa selalu berputar di kepalanya. Sesungguhnya dia ingin membakar foto itu, tapi jari-jarinya justru mengusap wajah Rumi dengan buncahan rindu yang membuat hatinya nyeri. “Dia yang bikin aku kehilangan kendali. Aarrgh… Rumi!! Apa yang kau lakukan pada hatiku?!” Tiba-tiba terdengar suara riang bocah tertawa di halaman. Jagad melangkah ke jendela. Di bawah sana, ia melihat Rully sedang tertawa, bermain bersama Dikta. Sebuah seringai perlahan terbit di bibir Jagad, menghapus jejak frustrasinya. Matanya menggelap, dingin dan penuh kalkulasi. Seketika otak pintarnya menyusun rencana. Dalih cinta mungkin saja dia tidak bisa memaksa Rumi kembali. Tapi ketakutan? Jagad yakin, ketakutan adalah pengikat yang jauh lebih kuat. “Kau boleh membenciku, Rumi. Tapi kau tidak akan pernah bisa lari selama nyawamu ada di tanganku.” Gumamnya, tanpa sadar tangannya terkepal dan meremas lembaran foto usang itu. Jagad menyipitkan matanya di balik kaca jendela. Rully adalah kelemahan Rumi. Kartu trufnya. Seringai di bibir Jagad semakin lebar. Dia tahu persis apa yang harus dia lakukan selanjutnya. * Pagi itu, ruang makan terasa seperti ruang sidang. Jagad duduk di ujung meja, tampak sempurna dalam balutan jas navy, seolah iblis yang mengamuk semalam tidak pernah ada. Rumi masuk membawa nampan berisi teko kopi. Langkahnya dipaksakan tegak, menolak terlihat lemah. “Tuangkan,” perintah Jagad tanpa menoleh. Rumi menuang kopi tanpa cela. Ia hendak berbalik pergi, tapi suara bariton itu menahannya. “Duduk, Lituhayu.” Rumi mematung. “S-saya pelayan, Tuan. Tidak pantas...,” TRING! Sendok beradu keras dengan piring. Simbok di sudut ruangan berjengit ngeri. “Aku tidak suka mengulang perintah. Duduk! Sekarang!” desis Jagad, menunjuk satu kursi dengan dagunya. Rumi menarik kursi, duduk kaku di sebelah tuannya. Jagad mengoles kasar selai pada roti bakar, lalu menyodorkannya ke piring Rumi dengan tatapan mencemooh. “Makan ini! Nikmati makanan yang dibeli dari uang mantan kekasih yang kau campakkan.” Rumi menatap roti itu. Sesungguhny, harga dirinya serasa diinjak-injak, tapi mau tidak mau dia memaksakan diri menggigitnya. Mengunyahnya pelan sambil menatap lurus ke manik mata Jagad yang kelam. “Bagaimana rasanya?” tanya Jagad sinis, tubuhnya condong ke depan, sangat mengintimidasi. Rumi meletakkan roti itu. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala berani, berusaha memertahankan harga diri yang tersisa. “Hambar, Tuan,” jawab Rumi datar, "sama seperti harga diri Tuan yang berusaha membeli kepatuhan saya dengan sepotong roti.” Keheningan seketika menyelimuti meja makan. Rahang Jagad mengeras, tapi sedetik kemudian ia justru terkekeh pelan. Sebuah tawa mengerikan yang membuat siapa pun mendengar seharusnya ketakutan. Jagad melirik jam tangannya, kemudian bangkit, berjalan memutar hingga berdiri tepat di belakang Rumi, kemudian dua tangannya menyentuh pundak Rumi. Hawa panas tubuhnya membuat tengkuk Rumi meremang. Jagad membungkuk, bibirnya menyapu daun telinga Rumi, membisikkan ancaman yang lebih mengerikan dari amukannya. “Mulutmu makin tajam, Sayang, membuatku b*******h. Tapi simpan keberanian itu,” bisiknya serak, “karena sore nanti, kau akan membutuhkannya di kamarku. Berdandanlah yang cantik. Jangan buat aku menunggu.” Jagad melenggang pergi, meninggalkan Rumi yang terpaku dengan tubuh gemetar, menyadari bahwa neraka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Usai berkata itu, Jagad pergi bersama Dikta, meninggalkan Rumi yang hanya bisa merapal doa dalam hati karena dia sudah bisa menyangka apa yang akan Jagad lakukan padanya. “Non Rumi…” bisik simbok lirih, sudah bisa menyangka apa yang akan terjadi pada gadis ini. “Tidak apa-apa Mbok, bismillah, Allah akan menyelamatkan kehormatan saya.” Rumi hanya mampu berdoa. Gusti Allah Maha Besar karena hingga jam sembilan malam, Jagad belum juga pulang. Hujan badai di malam ini mungkin membuat macet parah hingga Jagad terlambat pulang. Rumi tertidur, tapi entah jam berapa, tiba-tiba pintu kamar dibanting terbuka. Jagad berdiri di sana. Kemejanya berantakan, dua kancing teratas lepas, dasinya hilang. Bau alkohol menyengat tajam, bercampur aroma parfum wanita yang asing dan menusuk hidung Rumi. Dia mabuk berat. "Belum tidur, hmm?" Jagad melangkah masuk, kakinya tersandung karpet tebal tapi dia tetap memaksa maju. Rumi bangkit, insting waspadanya menyala, "Anda mabuk, Tuan. Sebaiknya istirahat." "Jangan... atur... aku!" Jagad menggeram, menerjang maju dan mencengkeram lengan Rumi. Tubuh beratnya menindih Rumi ke sofa. Napas Jagad yang panas dan berbau alkohol menerpa wajah Rumi. Mata elang itu merah dan berkabut, tapi sorot kepemilikan di sana masih sama gilanya. "Kamu pikir dengan diam saja aku tidak tahu?" racau Jagad, tangannya yang kasar menelusuri rahang Rumi, perlahan turun ke leher jenjangnya, "kamu muak padaku, kan? Kamu jijik, heuum?" Rumi menahan napas, berusaha tidak memberontak agar iblis di dalam Jagad tidak terbangun, "mandilah dulu Tuan Jagad. Tuan sedang mabuk." Katanya berusaha penuh kelembutan. Jagad terkekeh, suaranya terdengar menyedihkan, “mabuk? Huh, aku sadar, Rumi. Sangat sadar untuk tahu kalau kamu masih mencintai b******n yang memberimu anak itu." Kepala Jagad terkulai di bahu Rumi, beban tubuhnya semakin berat membuat Rumi ikut merosot, "kenapa bukan aku, Rumi? Kenapa kamu berikan tubuhmu padanya, kenapa tidak padaku saja?!" Suara Jagad melemah, cengkeramannya terasa melonggar. Perlahan, tubuh kekar itu merosot. Jagad jatuh tertidur, atau pingsan karena alkohol, entahlah Rumi tidak tahu dan tidak mau tahu, dengan posisi setengah menindih Rumi di sofa. Rumi terdiam beberapa detik, jantungnya berpacu secepat kilat dan otaknya segera berpikir membuat rencana. Dia mendorong tubuh berat Jagad sekuat tenaga hingga pria itu terguling ke karpet. Jagad hanya mengerang pelan, lalu dengkur halusnya mulai terdengar. Untuk memastikan, Rumi sampai mengguncang pelan tubuh Jagad beberapa kali dan lelaki itu sama sekali tidak merespon. Rumi berdiri, kakinya gemetar. Dia menatap Jagad yang tak berdaya di lantai. Ini kesempatanku! Pikiran itu melintas cepat. Penjaga gerbang biasanya lengah saat hujan badai, apalagi mereka tahu tuan mereka sudah pulang. Dalam sekejap Rumi sudah membawa Rully dalam gendongannya. Jika dia tetap di sini, Jagad akan menghancurkan mental Rully sama seperti dia menghancurkan Rumi. "Kita pergi, Sayang," bisik Rumi, air matanya menetes tapi tangannya bergerak cepat membawa barang yang dia perlukan. Dia tidak membawa koper. Suara roda koper akan membangunkan seisi rumah. Rumi hanya menyambar tas ransel lusuh miliknya, memasukkan dua pasang baju Rully, satu botol air minum, dompetnya yang tipis dan dokumen penting yang untungnya dia sembunyikan. Rumi menggendong Rully hati-hati. Bocah itu menggeliat sedikit, tapi Rumi menepuk punggungnya lembut, “shhh… tidur lagi ya, Sayang." Dengan sepatu kets yang sudah butut, Rumi melangkah ke pintu. Dia tidak mau menoleh ke arah belakangnya. Ada rasa sakit di dadanya mengingat pria yang dulu dia cintai berubah menjadi monster menakutkan seperti ini, tapi rasa sakit itu kalah oleh naluri keibuannya. Tepat saat pintu samping terbuka, satu sosok tegap berada di depannya, membuat Rumi membeku ketakutan tapi saat sosok itu tersenyum kecil mengangguk padanya, Rumi mendesah lega. “Terima kasih, aku berhutang padamu, kamu pertaruhkan nyawamu untuk kami.” Bisiknya lirih. Sosok itu kembali mengangguk, mengulurkan tangan yang membuat Rumi semakin bingung, “saya tahu Mbak Rumi tidak punya banyak sangu, ini memang tidak banyak tapi semoga bisa membantu untuk beli tiket. Masalah tuan Jagad, tidak usah khawatirkan dia, kebetulan badai ini merusak CCTV kok.” Kedip sosok itu untuk hilangkan kekhawatiran Rumi padanya. Mata Rumi berkaca-kaca, menerima pemberian uang itu kemudian berlari lewat pintu belakang. Rumi membuka pintu, menyelinap di malam gelap dan menghilang ditelan badai malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN