Jakun Jagad turun naik, matanya menyipit lapar melihat tubuh Rumi yang terekspos hanya dalam balutan pakaian dalam. Akal sehatnya lenyap, digantikan oleh dorongan primal untuk membalas dendam dan memiliki Rumi. Akal dan nuraninya sudah hilang entah ke mana.
Dia semakin memepet Rumi ke dinding, mulai mengecupi kulit leher jenjang itu, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Kecupannya turun ke bahu, tangannya menggerayangi punggung mulus Rumi. Jagad berharap sentuhannya mampu memancing respons, setidaknya sebuah desahan atau lenguhan, tanda Rumi akhirnya tunduk padanya dan akhirnya dia bisa tertawa puas karena itu.
Jemari kekarnya menahan belakang leher Rumi, memaksa wajah gadis itu menghadapnya, memaksa bibir mereka kembali bertemu. Rumi tetap diam.
“Balas ciumanku, Rumi!” bentak Jagad, tidak sabar.
Rumi palingkan wajahnya cepat. Di dalam hatinya, dia ingin meludahi wajah tampan di depannya yang kini penuh nafsu itu. Mata Jagad menggelap. Dia sentuh lagi dagu Rumi, kali ini hanya menahan lembut, seolah menunjukkan betapa mudahnya dia bisa memaksa kapan saja.
Rumi menepis tangan Jagad dengan kasar, kemudian membuang muka penuh jijik.
“Bagus, semakin kamu menentang, semakin kamu membangkitkan gairahku!” Tanpa aba-aba, Jagad memeluk pinggang ramping Rumi, menariknya paksa menempel ke tubuhnya. Rumi mendelik, memekik kecil saat merasakan ada sesuatu yang menonjol menekan tubuhnya.
Tangan kiri Jagad meraih paksa tangan kanan Rumi dan dia arahkan ke juni.ornya, “sentuh ini!” desisnya, menekan telapak tangan Rumi ke area pribadinya yang sudah menegang kaku di balik kain boxernya.
Tentu saja Rumi menolak, jemarinya terkepal rapat, tidak mau terbuka. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi yang siap meledak.
“Sentuh atau aku paksa kamu melumatnya dengan bibirmu! Pilih mana?!” Seringai muncul di bibir Jagad, tapi Rumi tetap bertahan. Dia menolak semampunya.
Melihat perlawanan itu, Jagad berteriak marah, "kamu yang meminta ini, Rumi! Jangan salahkan aku!"
Tiba-tiba, Jagad menggigit puncak d**a Rumi. Jeritan kesakitan juga kaget lolos dari bibir Rumi.
PLAAKK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Jagad.
Mata Rumi berkilat penuh amarah, sementara Jagad yang tidak mengira akan mendapatkan tamparan, tersenyum licik. Dia mengusap pipinya yang terasa sedikit nyeri, bukan yang sakit, tapi nyeri di hatinya karena untuk pertama kalinya, Rumi berani menamparnya.
Rumi mengokohkan kakinya di lantai, bersandar pada dinding dingin yang menusuk punggungnya. Tubuhnya masih bergetar oleh muak dan kebencian. Tatapannya sedingin es, mampu membekukan apa pun.
Tapi lelaki yang ada di depannya adalah seorang Jagad Syailendra, yang tentu tidak gentar. Dia tersenyum tipis, sinis, tertantang oleh kenekatan Rumi. Satu tangan kekarnya bahkan sengaja menelusup masuk melalui celah bra, meremas kasar d**a yang tadi dia gigit.
Rumi meringis kesakitan, mendesis marah dan mengumpat, “dasar b******n!”
Mendengar u*****n Rumi, Jagad terkekeh. Suaranya terdengar menyeramkan, "kamu pikir aku akan minta maaf? Tidak, Rumi, tidak akan. Karena yaah, aku memang tidak menyesal!” desisnya, kembali meremas da.da montok Rumi dan menggigitnya.
Kali ini Rumi tidak menjerit, juga tidak menolak. Jagad mengira akhirnya gadis itu menyerah. Tapi saat dia mengangkat wajahnya dan menatap mata Rumi, hatinya mencelos. Mata indah itu terasa kosong, tidak bernyawa, hanya menyisakan muak dan kebencian.
Tatapan hampa Rumi menusuk Jagad, hatinya nyeri, membuatnya mundur setengah langkah secara refleks. Kilatan penyesalan sesaat muncul di wajahnya, wajah seorang pria yang pernah mencintai Rumi. Tapi itu cepat berlalu, dia abaikan saja, digantikan oleh kebencian karena seperti biasanya, dia membunuh rasa bersalah itu dengan cepat.
“Bagus! Tatap aku begitu terus,” desisnya, mengusir rasa bersalah yang menyergap, "aku ingin mengingat mata ini, Rumi. Mata dari seorang wanita yang membenciku habis-habisan.”
“Aku benci kamu! Benciii!” Suara Rumi bergetar, penuh kesakitan, luka, dan amarah.
Jagad menyeringai seram, “semakin kamu membenciku,” desisnya pelan, seperti sebuah ancaman, “semakin aku ingin membuatmu tunduk. Semakin kamu menolak, semakin kamu membuatku gila, Rumi!” Jagad membelai pipi Rumi, penuh hasrat.
Rumi membalas tidak kalah sinis, “aku tidak akan pernah tunduk pada seseorang sekejam kamu!”
Jagad tersenyum. Senyuman lebar yang terasa dingin dan mengerikan.
“Oh, Rumi… kejam? Aku kejam katamu? Aku bahkan belum mulai sama sekali!” desis Jagad, mencengkeram dagu Rumi lagi. “Tidak sepertimu yang semudah itu melemparkan tubuhmu ke pelukan lelaki lain karena dia lebih kaya! Tapi sekarang, lihatlah, dia membuangmu layaknya kamu sampah, kan?!”
Tanpa aba-aba, kembali dia menarik paksa pinggang Rumi. Rumi meronta. Jagad mencengkeram lengannya. Rumi mengepal jemari dengan marah.
“Astaga…” Jagad menghela napas kasar, bukan karena lelah, tapi marah, “kamu benar-benar ingin membuatku kehilangan akal, ya?”
Rumi menarik napas panjang, menahan air mata yang mendesak keluar. Dia tidak mau terlihat lemah apalagi di depan Jagad.
“Apakah kamu tahu alasan sebenarnya kenapa aku harus meninggalkanmu?” tanya Rumi, lirih, penuh kesakitan.
“Cih,” Jagad mendengkus, “tentu saja karena dompetnya lebih tebal dariku! Dasar w************n!”
Jagad kira Rumi akan tersinggung, tapi gadis itu malah tersenyum getir di tengah kesedihannya, “kalau begitu, apa pun alasan yang akan aku katakan, tidak akan merubah pandanganmu padaku, benar kan Tuan Jagad yang terhormat? Then, let it be. Toh kamu hanya ingin menyakitiku saja.”
Seringai Jagad kembali muncul mendengar pembelaan itu. Dia mendekati Rumi, menundukkan wajah hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Rumi. Napas hangatnya terasa dingin di kulit Rumi.
“Kau melarikan diri dariku,” ucap Jagad, suaranya sedingin es, “kau menghancurkan aku. Kau biarkan cinta kita mati begitu saja, Rumi.”
Jagad menatap Rumi dari jarak yang tidak pantas. Hidung mereka bahkan bersentuhan, bibirnya menempel pada bibir Rumi. Hembusan hangat napasnya membuat Rumi pejamkan mata.
“Sekarang giliranku. Aku akan membuatmu kembali padaku, dengan cara apa pun, bahkan yang paling nista sekali pun. Bukan karena cinta tapi karena kamu tidak punya tempat lain selain aku!” geram Jagad.
Rumi sungguh ingin menamparnya lagi, berteriak, melawan. Tapi yang keluar hanyalah, “aku benci kamu, Jagad. Really hate you!”
Jagad tersenyum puas, menyeringai. Dia tidak butuh cinta Rumi, setidaknya untuk saat ini. Dia hanya butuh balas dendam dan menghancuran Rumi sehancur-hancurnya.
“Bagus,” katanya, melangkah mundur satu langkah untuk menatap puas wajah Rumi yang penuh ketakutan, “kebencianmu itu akan bekerja sesuai rencanaku.” Kedua tangannya mengukung Rumi di dinding, mencegahnya kabur.
“Pada akhirnya,” Jagad menambahkan, “kamu yang akan datang kepadaku juga. Dan saat itu terjadi, Rumi, aku yang menang!” desisnya. Dia mendekatkan wajahnya ke Rumi dan sengaja meremas b****g sintal Rumi.
“Aargh!! Singkirkan tangan sialanmu itu!”
Jagad menyeringai, “aku bisa lakukan lebih dari ini, tapi akan lebih menarik jika kamu yang berlutut dan memohon padaku untuk dipuaskan berkali-kali. Camkan itu!”
Jagad menarik celananya ke atas, mengambil kemejanya dan melemparkannya tepat ke arah wajah Rumi. “Pakai ini.”
Dia keluar kamar. Pintu dibanting keras, membuat Rumi tersentak sebelum tubuhnya meluruh ke lantai. Isakan keras pecah di ruangan yang sunyi itu. Di d**a Rumi, badai kebencian yang baru saja dimulai, jauh lebih kuat dari ketakutan.