"Kita mau kemana?" Renat bertanya dengan raut bingung sembari memperbaiki bajunya. Matanya lurus menatap Abi yang kini tengah duduk santai menatap layar televisi sembari menikmati semangkuk sereal yang baru saja disiapkan Renat.
Abi mengunyah serealnya, lantas tersenyum hingga wajahnya terlihat lucu, "Ikut aja." Pria itu berkata santai dan kembali memfokuskan pandangan untuk menikmati berita pagi mengenai politik negara yang sedang hangat akhir-akhir ini.
Renat masih memasang tampang bingung sembari ikut duduk di sebelah Abi, ingin memakan soto yang masih panas sebab baru dibelikan Abi. Berkebalikan sekali memang, Abi yang lebih pro pada s**u dan sereal sementara Renat dengan kuah pedas berminyak. Renat sendiri juga bingung mengapa ia tiba-tiba jadi ingin memakan soto. Padahal biasanya, Renat sudah cukup sarapan dengan roti atau buah dan sayur semenjak kembali ke Jakarta.
Gerakan Renat yang baru akan menyuapkan sesendok kuah soto ke mulutnya terhenti, wanita itu menoleh pada Abi yang ternyata tengah menatapnya.
"Apa?" tanya Renat tidak jadi makan, sendoknya kembali masuk ke mangkuk.
Cengiran Abi membuat Renat was-was, badannya mundur sedikit takut-takut bila Abi berbuat hal di luar nalar. Renat geleng kepala akibat pikiran konyolnya, menatap Abi lebih fokus sampai akhirnya pria itu bersuara. "Soto kamu bagi dua, ya?"
Renat terdiam dengan mulut terbuka, lantas menatap sotonya dan kembali melihat tatapan penuh harap dari Abi. "Kalau gitu kenapa nggak beli dua, sih? Tadi aku bilang kenapa cuma beli satu kamu jawab nggak suka soto."
"Aku nggak tau kalau sotonya seharum ini." Abi mendekat, mengambil sendok soto dan langsung menyuapkannya ke mulut tanpa menunggu persetujuan dari Renat.
Renat hanya dapat menghela napas panjang atas kelakuan calon suaminya itu. Disodorkannya mangkuk soto yang ia pegang pada Abi, diterima dengan senyum manis oleh pria tersebut. Setelahnya Renat mengambil mangkuk bekas sereal Abi dan hendak ke dapur untuk mengambil mangkuk baru.
"Kamu nggak mau sotonya?" tanya Abi dengan muka polos dan langsung saja dihadiahi pukulan oleh Renat tepat di pahanya. Sudah sukur Renat mau memberikan setengah dari sarapannya dan Abi malah semakin menjadi-jadi dengan meminta semuanya. "Iya iya iya, setengah."
"Seperempat! Kalau mau beli lagi sana," semprot Renat sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan ruang keluarga.
Renat memasuki dapur dan melihat sang mama tengah asik bersih-bersih. Renat melewati mamanya untuk meletakkan mangkuk pada wastafel, kemudian mengambil piring dan sendok.
"Jangan telat loh ketemu wo-nya." Sang mama bersuara sembari asik menyemprotkan pembersih pada meja makan.
Renat mengangguk tanpa suara sebab mulutnya kini tengah dipenuhi oleh buah anggur yang menjadi cemilan sang mama. Rencananya, hari ini Abi dan Renat memang akan bertemu dengan wedding organizer mereka. Namun ucapan Abi yang ingin membawa Renat ke suatu tempat terlebih dahulu nyatanya memang membuat Renat bertanya-tanya. Bukan tidak ingin, hanya saja Renat takut apabila Abi hanya akan membuang-buang waktu dan pada akhirnya waktu mereka untuk membahas perihal pernikahan jadi berkurang. Sedang mendapati Abi dengan waktu luang bukanlah hal yang mudah sejak pria itu mulai bekerja. Belum lagi semalam Abi mengatakan perihal rencananya yang akan terbang menuju Sidney seminggu lagi untuk menghadiri pertemuan penting. Mengingat posisi Abi, tampaknya Renat harus banyak belajar bersabar dan menahan diri.
"Itu piring buat apa?" tanya Gita dan Renat langsung saja mencebik sebal. Tampak masih tidak rela sotonya diminta.
"Abi tuh, katanya nggak mau soto, ujungnya minta juga." Renat ngedumel, dan dibalas tawa oleh Gita. Renat memang seperti itu bila berurusan dengan makanan, dia tidak suka makanannya diminta. Alih-alih memberikan, Renat akan lebih berbesar hati bila membelikan orang tersebut makanan dengan uangnya sendiri, membiarkan mereka memesan sesuai keinginan tanpa harus mengganggu dan merecoki milik Renat.
"Kamu tuh ya, belajar dong buat berbagi." Gita memulai nasehat paginya. "Apalagi nanti kalau udah sah sama Abi. Ya kalau Abi minta makanan kamu, kamu harus kasih. Nggak ada namanya pelit-pelit apalagi suruh beli sendiri. Dibiasain dari sekarang."
Renat diam, awalnya tidak mau menjawab sebab ia sadar kebiasaannya memanglah bukan hal yang baik. Mungkin Renat lupa, bahwa setelah mereka menikah nanti, akan banyak hal yang menjadi milik bersama. Bukan milik Renat, atau milik Abi. Namun milik mereka.
"Iya, Ma," jawab Renat pada akhirnya menurut.
"Udah sana, bagi dua sotonya."
Renat keluar dari dapur dan kembali ke ruang keluarga. Abi terlihat sibuk dengan ponsel, dan langsung menyimpan benda tersebut ketika Renat tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Kerjaan?" tanya Renat sambil sibuk memindahkan soto untuk Abi. Dia tidak melihat wajah Abi yang kini tegang karena berpikir bisa saja Renat melihat isi ponselnya.
"Bukan," jawab Abi, lantas tersenyum ketika Renat menyodorkan piring berisi seperempat soto miliknya. "Tadi dimarahin mama?"
Renat mengangguk, "Nggak boleh pelit-pelit katanya, apalagi ke kamu."
Abi tersenyum, tahu bahwa wajah Renat tentu tengah tidak enak sekarang. Abi sendiri juga tidak mempermasalahkan hal tersebut sebetulnya. Dia mengerti dengan kebiasaan Renat yang satu itu, dan mungkin hampir semua makhluk hidup di bumi seperti itu. Bukannya menghibur, Abi malah tertawa ringan sehingga Renat refleks menoleh.
"Ketawain apa kamu?" tanya Renat bingung.
"Kamu," celetuk Abi ringan. "Maaf ya, besok-besok aku beli dua."
"Iya, beli dua. Aku males bagi-bagi."
"Males bagi aku juga?"
Renat mengangguk dengan wajah polos, kemudian mencibir sehingga Abi jadi tertawa lagi. "Apasih ketawa-ketawa terus. Aneh."
Abi hanya geleng kepala, kembali menoleh pada televisi dan membiarkan Renat makan dengan tenang. Sesekali, tangannya usil memainkan rambut Renat atau meminta Renat menyuapinya karena seperempat soto yang Renat berikan sudah sukses ia habiskan. Renat tentu saja terganggu, namun tidak dapat berkomentar banyak selain menurut atau sang mama akan cerewet lagi.
"Oh iya," ucap Renat setelah meneguk minumannya, sarapannya yang berjalan tidak begitu baik baru saja selesai. Sebelum kembali berbicara, Renat mempersiapkan diri dan mencoba tersenyum. Dia takut kalau-kalau Abi kembali protes seperti kemarin-kemarin. "Besok aku bakal masukin surat lamaran kerja ke rumah sakit."
Abi yang sudah menanti-nanti ucapan Renat hanya dapat terdiam. Matanya bertemu dengan manik milik Renat dan menatap wanita itu lebih serius. Abi berdehem, belum dapat menjawab ucapan Renat karena dirinya masih ragu akan keputusan yang ia ambil. Membiarkan Renat bekerja, entah itu baik atau tidak karena Abi memang sedikit berat hati membiarkan calon istrinya itu untuk bekerja di saat seperti ini. Pria itu tahu bahwa Renat merupakan seorang wanita karir yang tidak dapat dibuat berhenti begitu saja dari hal-hal yang sudah menjadi kebiasaannya.
Yang membuat Abi berani melarang, karena menurutnya sudah cukup bagi Renat untuk bekerja selama mereka terpisah bermil-mil jauhnya. Kini yang Abi ingin lakukan, bagaimana caranya ia dapat membuat Renat betah menjalani peran sebagai seorang istri setelah mereka menikah nanti. Berharap besar bahwa Renat dapat melupakan dunia pekerjaannya.
Abi menahan helaan napas yang hendak ia lepaskan, menekan kedua bibirnya sebelum mengangguk-anggukkan kepala. Sedang kernyitan di dahi Renat masih tampak, tanda ia belum puas pada respon Abi yang masih belum jelas.
"Re," panggil Abi pelan, mencoba mempersiapkan kata-katanya.
"Abi, kasih respon dulu." Renat mencibir sebal, menggerak-gerakkan ujung lengan dari kaus santai yang Abi kenakan. "Kamu nggak boleh loh berubah pikiran! Kan kemarin udah setuju."
"Iya," angguk Abi lagi, matanya menatap tangan Renat hingga pada akhirnya memutar duduk menjadi lebih rapi menghadap ke depan. Kepalanya tersandar lemas pada punggung sofa dan sukses menatap langit-langit ruang keluarga dengan pandangan jauh. Sudah jelas, bahwa Renat memang ingin sekali kembali bekerja.
"Iya apa? Yang jelas dong!"
Renat mulai menggerak-gerakkan tangan Abi dengan tidak sabaran, membuat pria itu kembali duduk dengan posisi tegap. "Jadi sekretarisku, gimana?"
Hening. Suara kicauan Renat terhenti sebab ucapan sederhana Abi yang sama sekali tidak sederhana untuk di dengar oleh telinga Renat. Benar terkejut, tapi lebih ke arah tidak percaya karena tawaran Abi seakan tidak masuk akal seandainya terjadi.
"Ngawur kamu," ucap Renat langsung sembari berusaha tertawa agar ketegangan yang tercipta di antara mereka dapat kembali mencair.
"Aku serius." Abi menatap Renat, tidak main-main dengan ucapannya sendiri.
"Bi, aku nggak mau jadi sekretaris. Apalagi jadi sekretaris kamu."
Renat tidak berbohong. Wanita itu menyatakan hal sejujurnya dan sangat menyayangkan cara Abi yang satu ini. Bagaimana mungkin Abi dapat memintanya menjadi sekretaris di saat bidang Renat bukanlah di sana. Walau Renat terbiasa dengan puluhan dokumen dan layar komputer, mendata, kemudian menganalisis banyak hal, tetap saja, sulit baginya untuk membenarkan tawaran Abi.
"Alasannya?" tanya Abi dengan wajah pias, rencana yang ia buat sepertinya tidak akan berjalan dengan baik karena Renat sudah menunjukkan tanda-tanda menolak. Bukan lagi tanda, wanita itu sudah mengatakan tidak mau.
Renat menghela napas, tersenyum penuh pengertian. "Alasan kamu dulu, kenapa mau aku jadi sekretaris kamu."
"Karna aku mau?"
Renat mau tidak mau meringis mendengar hal tersebut. Seorang berkompeten seperti Abi ternyata sanggup mengucapkan hal sekonyol itu sebagai alasan ketika Renat mempertanyakannya dengan serius. Diambilnya gelas minuman, kembali meneguk air dengan cepat dan setelahnya mencurahkan segala perhatian untuk melihat Abi yang sepertinya sudah setengah putus asa.
"Abi, kamu nggak lagi ada masalah, kan?" Renat bertanya dengan suara lembut.
"Masalah apa?" Abi bertanya balik, memainkan ujung rambut Renat yang bebas.
"Sekretaris kamu kemarin, namanya Moza, kan?" Renat menaikkan kedua kaki ke sofa, kemudian melipatnya dan duduk lebih nyaman menatap Abi yang mengangguk terhadap pertanyaan Renat perihal nama Moza. "Dia masih kerja bareng kamu?"
Abi diam, tidak menggeleng atau mengangguk. Sejujurnya, Moza memang tidak lagi bekerja sebagai sekretarisnya, tetapi wanita tersebut masih bekerja di dalam perusahaan walau di bagian berbeda. Kemarin, Abi disambut oleh pengganti Moza, seorang perempuan yang apabila Abi boleh menilainya, sangat berbeda dari Moza. Cara kerjanya yang tidak sedetail Moza kerap membuat Abi kebingungan. Abi bukanlah orang yang mudah menebar kode untuk membuat orang lain paham pada apa yang ia butuhkan, dan itu yang membuatnya sengaja mempertahankan Moza sebab wanita itu sangat cepat memahami tanpa perlu Abi beritahu terlebih dahulu. Abi tidak suka banyak bicara, dan sekretaris seperti Moza lah yang ia butuhkan.
"Masih kerja bareng kamu?" tanya Renat lagi masih ingin tahu.
Abi menggeleng, "Enggak."
"Aku tanya lagi sama kamu, kenapa kamu mau aku jadi sekretaris kamu? Jawab yang jujur ya, Bi, biar aku juga mudah kasih jawaban jujur waktu kamu tanya apa alasan aku nolak kamu."
Abi menghela napas berat, mengusap wajahnya yang tiba-tiba tampak tidak berniat sama sekali. "Aku nggak bisa kerja sama sekretaris yang sekarang."
"Karena?"
"Nggak bisa, Re," jawab Abi seadanya.
"Kalau gitu kenapa berhentiin Moza?" Abi menoleh, tatapannya terkesan tidak suka pada pertanyaan Renat. Diletakkannya tangan pada dahi wanita itu, merasakan apa Renat panas atau tidak. "Kenapa, sih?" Renat geram bagai banteng betina ganas.
"Aku udah bilang kalau dia jelek-jelekin kamu, kan? Jelaslah aku nggak suka."
"Karna aku calon istri kamu, makanya kamu jadi nggak bisa terima, kan?" Renat bertanya dan tahu bahwa jawabannya benar. "Tapi, Bi, kamu nggak bisa campur adukin masalah pribadi sama kerjaan. Kalau dia jelek-jelekin aku, ya harusnya kamu cukup marah sebagai calon suami aku. Nggak harus marah sebagai boss ke karyawannya karena dia jelas-jelas nggak bawa masalah kerjaan."
"Kamu kenapa jadi belain dia?"
Renat tampak berpikir, matanya melirik ke arah lain dengan raut kebingungan juga. Benar, dari ucapannya, Renat memang terkesan memberikan pembelaan pada Moza padahal ia sendiri tidak terlalu menyukai Moza.
"Bukan maksud aku belain dia, tapi kadang nggak semua yang kamu lakuin itu bener, Bi. Sekarang malah jadi kayak gini, kan? Kamu yang nyesel karna udah lepasin partner kerja kamu sendiri. Nggak peduli dia baik atau buruk, ya seenggaknya dia berguna buat ringanin kerja kamu. Aku? Aku mungkin bisa jadi lebih buruk dari sekretaris kamu yang sekarang."
Abi menahan diri untuk tidak mengguncang badan Renat sebab ia geram sendiri. Pola pikir seorang perempuan, Abi memang tidak dapat menebaknya dan pada akhirnya ia yang akan gila. Renat jelas-jelas tidak menyukai Moza dan sekarang ia malah terdengar sangat membela Moza. Abi akui apa yang dikatakan Renat benar, tapi bukan berarti ia dapat menerima sikap buruk Moza dan menganggapnya angin lalu. Calon istrinya dijelekkan, bagaimana pula Abi dapat diam? Abi pikir, semua pria akan melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Abi memang seperti itu, terlalu memikirkan harga dirinya sehingga lupa untuk berpikir panjang. Abi menatap mata Renat memohon, berharap Renat mau menerima tawaran yang Abi berikan dengan tangan terbuka. Diangkatnya tangan, menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah.
"Gaji kamu, dua kali lipat."
Tawa Renat meledak, diturunkannya tangan Abi sambil tetap memberikan gelengan pertanda ia sudah bertekad untuk menolak. "Mau berapa kali lipat pun, aku nggak mau. Udah dong, kamu tinggal cari sekretaris lain. Yang kayak Moza banyak kok lagian."
"Re," mohon Abi lagi.
"Kamu dengerin, ya. Pertama, aku sama kayak kamu, nggak bisa pisahin urusan pribadi sama kerjaan. Karna kamu bossku, aku takut kalau aku nggak bisa kerja sama sekali. Mungkin bisa, tapi nggak akan maksimal kayak harapan kamu. Kedua, aku nggak mau punya urusan sama karyawan-karyawan kamu apalagi sampai dikasih tatapan aneh karna ternyata si boss lebih milih calon istrinya sendiri buat dijadiin sekretaris."
"Emang kenapa?" protes Abi langsung. Semakin dibiarkannya Renat berbicara, maka akan semakin banyak alasan masuk akan yang diberikan oleh wanita itu. "Orang lain juga banyak minta istri mereka buat jadi sekretarisnya sendiri."
"Itu orang lain, kita lagi bahas kamu!"
"Tapi yang aku bilang bener, kan? Jadi masih masuk akal kalau misalkan aku minta kamu buat jadi sekretaris aku."
"Ya tapi akunya nggak mau, Abi! Kamu udah denger alasan aku." Renat memberikan senyum bersalah. Jauh di dalam hatinya, dia ingin membantu Abi. Menjadi sekretaris, tidak akan sulit untuk dilakukan olehnya. Hanya saja alasan yang Renat tuturkan juga jujur dari dalam hatinya. Dia takut mengecewakan Abi terlebih perusahaan pria itu.
Renat mengulurkan tangan, menepuk lembut pipi Abi dengan kedua tangannya. "Kalau kamu tanya aku suka Moza Moza itu atau enggak, aku bakalan jawab enggak. Dari awal Moza natap aku waktu dia keluar dari mobil kamu, aku tau dia lagi ngeremehin aku. Dia arogan banget waktu itu. Aku pikir aku bakalan salah nilai dia karna mungkin itu cuma kesan pertama waktu kita ketemu. Tapi ternyata bener, dia jelek-jelekin aku bahkan di depan kamu langsung. Semuanya makin jelas, dia nggak suka aku. Tapi ya mau gimana lagi? Kalau emang kerjaannya bagus di perusahaan, seharusnya kamu nggak punya alasan buat turunin dia. Omongan aku emang kesannya kayak belain dia, tapi kenapa aku bilang ini karna kita sama-sama wanita karir. Aku tau apa yang dia rasain kalau semisalnya dia nggak kerja lagi. Yah, kalau udah kayak gini, mendingan kamu cari sekretaris lain, kalau bisa laki-laki biar nggak riweh, biar enak juga buat diajak interaksi, biar akunya juga nggak jadi mudah cemburuan, A."
Renat nyengir kuda di akhir dan dibalas tidak terima oleh Abi. Memikirkan ucapan panjang Renat, bukannya membantu, Abi malah semakin dibuat pusing. Ingin sekali disumpalnya mulut Renat dengan makanan agar wanita itu berhenti berbicara.
"Udah, ah," celetuk Renat sebab tahu bahwa Abi tidak akan memberikan tanggapan. "Kita fokus urusin nikahan dulu, ya? Yuk, katanya mau bawa aku ke tempat lain dulu sebelum ketemu wo-nya." Renat maju, mengecup singkat pipi kanan Abi sehingga pria itu hanya semakin terdiam di posisinya. Renat mengambil bekas piring mereka, lantas berdiri dan berjalan untuk kembali ke dapur. Sedang Abi yang tertinggal, hanya dapat menatap punggung Renat dengan pikiran kemana-mana. Ia sukses tidak fokus.
♦ r e t u r n ♦
Setelah sukses membuat Abi terdiam di ruang keluarga rumahnya, kini Renat yang dibalas sama. Melebihi diamnya Abi, Renat benar-benar tidak sanggup berkomentar ketika tahu kemana tujuan Abi membawanya. Renat cukup kesal tadi ketika di mobil karena rasa penasarannya tidak dijawab dengan serius oleh Abi dan pria itu hanya terus mengalihkan topik. Tapi sekarang, bahkan tatapan Renat tidak bisa lepas dengan pemandangan di depannya sebab perasaan bahagia luar biasa yang tengah membanjirinya. Suasana ibukota yang tidak pernah mengenal kata istirahat dinikmatinya dari balik kaca jendela besar tempat ia berdiri---tepat dari lantai 17.
"Suka?" Renat balik badan, menunjukkan senyum yang berakhir menjadi tawa. Kepalanya mengangguk puas sementara matanya tidak sekalipun melepaskan gerakan Abi yang tengah berjalan semakin dekat ke arahnya. "Aku minta maaf karna belum sanggup kasih rumah buat kamu. Aku harap apartemennya bisa bikin kamu puas sampai nanti kita bisa punya rumah sendiri."
Renat menatap sekeliling, tangannya mengalungi leher Abi dengan pasti. "Ini udah cukup banget, Bi."
Abi menggeleng, menatap manik mata Renat dengan serius. Tangan yang ia letakkan di sekitar pinggang Renat membuat posisi mereka semakin dekat. "Kamu udah tau?"
"Apa?"
"Raskal udah nikah terus punya anak." Mata Renat menyiratkan kekagetan, dia tidak tahu bahwa Raskal sudah berkeluarga. Lagipula, pria satu itu tidak pernah membahasnya ketika mereka bertemu. "Tapi, istrinya meninggal waktu ngelahirin anak mereka. Raskal bilang semuanya udah baik-baik aja, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirin. Dia tetep bisa semangat karna punya Shalum."
Renat terlihat sedih memikirkan Raskal, kenapa dirinya tidak peka akan hal-hal seperti ini. "Ayo dong, kapan-kapan kita ketemu Shalum."
Abi mengangguk setuju, jemarinya mulai memainkan anak rambut Renat sesaat. "Aku sebenernya malu buat bilang ini, tapi aku pengen kamu tau."
"Kenapa? Kamu pengen jadi ayah?"
"Aku pengen punya anak perempuan."
Renat terpaku. Pikirannya langsung terbang pada mimpi tentang seorang gadis kecil yang menjadi alasannya untuk yakin menyusul Abi pulang kemari. Renat mencoba membaca raut wajah Abi, dia tidak tahu bahwa selama ini ternyata Abi memendam hal semacam itu. Entah mereka memiliki kesamaan pikiran atau tidak, yang jelas hati Renat begitu hangat ketika mendengar ucapan Abi.
Helaan napas Renat terdengar, dilepaskannya tangan yang sejak tadi mengalungi leher Abi, kemudian menjauh sehingga pelukan Abi juga ikut terlepas. "Tau nggak?"
"Tau apa?"
"Kenapa aku yakin buat nyusul kamu kesini, salah satu alasannya karna mimpi. Konyol mungkin kalau didenger sama orang-orang, tapi jelas enggak kalau buat aku sendiri. Mimpi itu bikin aku berani buat ambil langkah besar baru yang selama ini selalu takut buat aku ambil."
Abi di posisinya berdiri menatap Renat dengan kernyitan penasaran. Dia sendiri juga baru ingat tentang mimpi Renat yang seharusnya sudah lama ia tanyakan, tetapi selalu berakhir lupa. "Kamu mimpi apa?"
"Aku mimpi anak perempuan," jawab Renat kecil dan Abi sukses tidak percaya. "Dia lucu, badannya bulet, pipinya gembil, rambutnya kayak jamur terus gerak-gerak karna dia selalu lari, pakai dress kuning sama sepatu warna putih karakter beruang. Aku inget, kalau aku lagi nemenin dia main karna waktu itu musim semi. Jadi aku mutusin buat ajak dia main di bawah pohon. Dia keliatan bahagia banget, Bi. Dia ketawa, sambil ngelambai tangan ke aku."
"Cuma kamu sama dia?"
Renat mengangguk, "Iya, aku nggak liat siapa-siapa lagi selain dia. Nggak ada kamu, nggak ada mama, nggak ada orang-orang asing yang biasanya jalan kesana-kesini. Cuma aku sama si jamur kecil."
"Jamur?"
"Kan rambutnya kayak jamur," jawab Renat santai dengan senyum terukir.
"Terus kenapa bisa jadi alasan buat kamu kesini?"
"Karna aku nggak liat siapa-siapa di mimpi aku, jadi aku nggak tau siapa ayah si kecil, kan? Aku dateng, karna aku pengen balik sama kamu, karna pengen si kecil di mimpi aku nggak cuma jadi sekedar mimpi. Sama kamu, Bi, aku cuma pengen wujudin itu bareng kamu. Nggak mau sama yang lain."
Abi tersenyum, kakinya mengejar posisi Renat yang berdiri beberapa langkah di depannya dan tanpa permisi langsung saja mendekap tubuh wanita itu penuh sayang. Dalam hati, Abi akan menyimpan janji untuk dapat mewujudkan apa yang Renat inginkan dan berusaha untuk tidak akan mengecewakan calon istrinya tersebut.
♦ r e t u r n ♦