26. Berbincang Secara Dewasa

2738 Kata
Abi keluar dari mobil dan langsung berjalan masuk menuju restoran dimana seseorang sudah menunggu kedatangannya sejak satu jam lalu. Abi datang terlambat karena diskusinya mengenai pernikahan ternyata membutuhkan waktu lebih banyak dari yang diperkirakan. Sehingga untuk selanjutnya, mereka memutuskan memilih hari libur agar dapat fokus seharian. Belum lagi Renat yang hari ini terlihat kurang sehat hingga ketika ditanya mengenai hal yang bersangkutan dengan pesta pernikahan mereka, wanita itu lebih banyak diam dan menatap Abi. Padahal, Abi sendiri ingin agar campur tangan Renat lebih banyak di sini. Abi menyisir suasana restoran setelah masuk, menatap beberapa tempat dan matanya berhenti pada salah satu meja yang dekat dengan sudut ruangan. Abi mendekat dengan ekspresi wajah yang begitu sulit untuk dijelaskan. Jujur saja, bahwa Abi tidak pernah menyukai Raskal sejak lama dan hal tersebut masih berlaku hingga sekarang. Tidak ada alasan bagi Abi untuk berdamai bersama Raskal. Itu sebabnya mengapa pria itu begitu tidak suka ketika Raskal harus kembali mendekati Renat seperti tidak ada hal apa-apa yang pernah terjadi di antara mereka dulu. Abi melewati Raskal yang duduk membelakangi arah kedatangannya, lantas tanpa permisi menarik kursi di seberang Raskal dan duduk dengan tenang. Tampaknya pria dengan jas abu-abu tersebut patut diacungi jempol sebab dapat mengontrol emosi yang jelas-jelas sudah meletup sejak di butik tadi, bahkan sampai mengancam Raskal. "Kalau kamu buat nyawa Raskal ngilang, emangnya kamu bisa hidup bahagia? Aku nggak perlu kamu lindungin pakai kekerasan, Bi. Aku nggak mau punya suami kriminal apalagi alasan ngebunuh kamu cuma karna Raskal ngehubungin aku. Aku pikir kayaknya kamu beneran sakit. Sana, minta obat sama sekretaris kamu." Pernyataan Renat yang begitu tajam lagi-lagi singgah di kepala Abi dan untuk kesekian kalinya kembali melukai harga dirinya. Abi tahu begitu berlebihan ucapannya pada Raskal di telepon tadi. Namun untuk seorang yang terus mencari perkara dengannya, Abi pikir hal tersebut normal saja dikatakan. Bahkan setelah sekian lama ia tidak melihat wajah menyebalkan yang menyimpan banyak rahasia milik Raskal, rasanya masih sama saja seperti dulu. Hanya satu kata, yakni muak yang dapat Abi sebut dari dulu hingga sekarang. Raskal menunjukkan senyum cerianya, namun dibalas berbeda oleh Abi. Tatapannya yang tajam mencoba membaca gelagat Raskal, mulai dari wajah hingga gerakan tangan dan getaran tubuh pria itu. Nihil, Abi tidak menemukan banyak petunjuk selain membenarkan bahwa pria di hadapannya memang sempat menawarkan Renat pekerjaan sebagai model jika dilihat dari majalah yang Raskal buka. "Apa kabar, Bi?" Raskal memecah sunyi di antara mereka sebab tahu bahwa Abi tidak akan menyapa lebih dulu. Sudah lama tidak berjumpa, Raskal akui kekuatan Abi dalam mengintimidasi semakin terasa dibanding ketika mereka SMA. Raskal tersenyum saja, menunggu balasan Abi yang belum kunjung terdengar. "Lo nggak mau makan?" Abi tersenyum tipis, seakan-akan tengah mengejek Raskal yang sok akrab. "Lo mau ngomong apa sebenernya?" "Sambil makan siang nggak salah, kan?" Raskal masih berusaha, ia ingin suasana lebih mencair agar Abi dan dirinya sama-sama relaks. "Gue sibuk, nggak bisa lama-lama." Raskal tersenyum layaknya teman dekat, meneguk es jeruk ketiga yang ia pesan dalam kurun waktu satu jam menunggu kedatangan Abi. "Lo masih sedendam itu sama gue?" Abi tidak menyuarakan jawaban karena malas untuk jujur. Lagipula, Raskal harusnya bisa lebih sadar diri untuk tahu sebesar apa ketidak sukaan Abi terhadapnya. "Kemarin gue ketemu sama Renat," ucap Raskal sembari memperbaiki duduknya agar lebih nyaman, mengingat ekspresi Abi yang kini mulai berubah sebab nama Renat kembali tersebut dan Raskal pikir itu tidak baik. Ia mengajak Abi kemari bukan untuk kembali berkelahi seperti bertahun-tahun silam. Jika boleh jujur, Raskal sudah puas mempunyai sikap buruk di masa lalu dan ia tidak berniat untuk kembali seperti dulu. "Jangan pernah ganggu dia lagi," ujar Abi dingin, betul-betul ingin agar ucapan yang terkesan memerintah tersebut diindahkan dengan baik oleh Raskal. "Gue nggak pernah gangguin Renat, Bi." Raskal geleng kepala, kepalanya tiba-tiba pusing untuk mencari cara agar Abi dapat percaya. Sebagai sesama pria dewasa, Raskal pikir Abi harusnya tahu bahwa untuk terus saling menyimpan dendam, itu sangat wanita sekali. Mereka bukan banci, dan ada baiknya untuk berterus terang daripada terus mendendam hingga tua. "Fine, kalau lo nggak suka sama gue karna masalah yang dulu. Tapi emangnya gue nggak boleh berubah jadi orang baik? Udah berapa tahun, Bi, semenjak lo sama gue saling adu tonjok dulu? Lo masih mau dendam juga? Masih mau nonjok muka gue juga kalau misalkan gue nyebut nama calon istri lo sekarang?" Abi tersentak, matanya kian fokus menatap Raskal yang kini malah merasa menang karena mendapatkan perhatian dari pria dingin keras kepala seperti Abi. "Gue tau lo cukup pinter buat ambil kesimpulan sendiri kenapa gue masih kayak gini." "Yang gue sama lo lakuin dulu tuh nggak ada gunanya, Bi. Gue yang selalu nyari gara-gara ke lo abis itu lo yang emosi, ujungnya gitu lagi, berantem nggak pakai habis terus kita dipanggil sama BK." "Nggak ada gunanya gimana maksud lo?" tanya Abi sembari menyenderkan punggungnya pada punggung kursi. "Gue jelas-jelas bantuin orang yang selalu lo bully terang-terangan di depan satu sekolahan." "Dan gue akuin apa yang gue buat waktu itu salah." Raskal menjawab dengan nada pasrah pada Abi yang masih tidak mau menerima kembali dirinya sebagai teman. "Kenapa baru sekarang?" Abi bertanya lagi, masih dengan ketenangan yang ia jaga sejak tadi. "Kenapa lo nggak sadar dari dulu biar tangan sama kaki lo nggak terus-terusan bikin korban di sekolahan?" Raskal diam, mengembuskan napas berat akan pertanyaan Abi yang tidak bisa ia jawab dengan mudah. Tentu ada alasan yang tidak Raskal ketahui mengapa ketika sekolah ia dapat bersikap layaknya preman pasar dan baru sadar ketika sudah menginjak dewasa. Itu rahasia alam sendiri. Setidaknya, di hari ini, ia sudah berusaha untuk menjadi baik dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun Abi, dengan ganasnya menutup hati sehingga Raskal tidak dapat menerima maaf barang sedikitpun. "Mungkin, kalau gue udah jadi orang baik dari dulu, lo nggak bakalan jadi pahlawan di sekolahan, Bi." Raskal memberikan jawaban yang cukup masuk akal, tapi malah membuat Abi kian tidak suka. "Gue bakalan lebih seneng kalau nggak pernah punya urusan sama lo," balas Abi sengit dan Raskal malah tersenyum maklum mengingat kebrengsekannya dulu. "Orang nggak waras yang ternyata milih macarin perempuan yang udah dia bikin malu berulang-ulang kali di depan satu sekolahan. Udahlah, Kal, nggak usah sok-sokan di depan gue. Dari dulu sampai sekarang, yang lo bisa cuma bikin gue muak." Raskal menemukannya. Akhirnya Raskal berhasil memancing Abi untuk kembali mengungkit masalah perihal Moza. Seorang yang dulu acap kali Raskal jadikan objek untuk diganggu dan Abi tanpa diminta akan datang sendiri untuk membela Moza. Raskal dengan pikiran bejatnya tentu saja dapat mengetahui bagaimana perasaan Abi pada Moza kala itu. Bahkan masih dapat Raskal bayangkan seperti apa tonjokan kasar Abi di wajahnya hanya agar lelaki itu dapat membalas rasa malu Moza. Namun pada akhirnya, untuk membuat Abi kembali terjatuh, Raskal dengan seenaknya meminta Moza untuk dijadikan pacar. Beruntungnya, rencana Raskal dapat berjalan lancar sebab tanpa disangka-sangka, Moza menerima tawaran bodoh Raskal. "Lo ngapain malah bawa-bawa Moza?" tanya Raskal dengan senyum penuh arti. Disinilah, dia ingin menyadarkan Abi akan hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh pria itu sebelumnya. "Karna kenyataannya lo emang b******k yang nggak tau malu karna udah macarin Moza." Raskal tertawa, tapi raut wajahnya sarat akan ketidakpercayaan bahwa ternyata, apa yang Raskal duga selama ini benar. Akar kebencian Abi padanya, memiliki sangkut paut besar pada Moza. "Lo masih sayang Moza, Bi?" Tembakan Raskal dengan wajah yang sudah berganti serius membuat Abi mengernyit. Dia sama sekali tidak mengerti. Namun tanpa pikir lama, Abi langsung membalas. "Pertanyaan bodoh lo nggak perlu gue jawab." "Masih sayang?" "Kenapa?" tanya Abi geram, Raskal malah membawanya berkeliling dan hal tersebut membuat Abi semakin muak. "Lo boleh ambil dia kalau itu yang lo khawatirin." "Nggaklah," geleng Raskal sembari tertawa ringan. "Renat belum tau yang ini, jadi lo yang pertama kali tau. Kalau gue sebenernya udah punya satu anak perempuan cantik yang mirip banget sama almarhumah bundanya." Tubuh Abi sontak terpaku, otaknya dengan cepat memproses ucapan Raskal yang terkesan penuh tipuan. Raskal yang peka bahwa Abi tentu tidak langsung percaya memilih menyalakan ponsel. Menunjukkan lockscreennya pada pria yang kini malah tidak berkedip sama sekali. Tatapan Abi fokus menatap seorang gadis kecil yang mungkin berumur tiga tahun sekarang dan tengah tertawa dalam gendongan Raskal. Suasana musim dingin yang menjadi latar tampat membuat Abi sadar seberapa erat Raskal memeluk putrinya agar tetap hangat. "Iya, gue cuma punya Shalum sekarang. Istri gue meninggal waktu ngelahirin Shalum. Jadi misalnya lo punya pikiran kalau gue bakal ngerebut Renat, apalagi Moza karna makin nggak masuk akal, lo salah." Abi masih diam saja. Tiba-tiba rasa iri untuk dapat menjadi ayah seperti Raskal merasuki seluk beluk hatinya lewat jalan tikus dan sukses menyentil hati kecilnya. Kapan dia dapat menggendong anak seperti halnya Raskal yang tampak bahagia dalam potret sebelumnya. Abi geleng kepala kecil, kembali fokus pada maksud utama Raskal mengenai Moza yang masih tidak dapat Abi pahami sebab Raskal tidak kunjung menjelaskan lebih lanjut. "Selama ini gue cuma nebak, bener nggak kalau lo bisa seenggak suka ini sama gue karna Moza, karna kelakuan gue ke dia, dan akhirnya gue sampai nekat macarin dia. Ya kayaknya tebakan gue bener. Gue tau dulu lo makin benci banget sama gue karna itu dan alasannya masuk akal, karna lo sayang sama Moza, dulu. Ya pasti sakitlah, liat orang yang lo sayang, orang yang lo bela mati-matian kayak putri disney ternyata nggak berpihak ke elo. Ibarat lo udah jadi pemeran utama pangeran, tapi yang menang malah gue sebagai orang ketiga yang jahat. Dari situ, gue tau sebenci apa lo ke gue, Bi, dan itu karna lo sayang Moza." Raskal memperbaiki duduk, melihat tatapan Abi yang tampaknya masih ingin agar Raskal terus menjelaskan maksud dari ucapannya. "Selesai sama Moza, kita malah ketemu lagi dan Renat yang harus ada di tengah-tengah lo sama gue. Sama kayak sebelumnya, lo tetep jadi pemeran utama dan gue orang ketiga yang b***t. Tapi ada yang buat cerita Moza sama Renat jadi beda, itu dia endingnya. Moza yang lebih milih pemeran pendukung sementara Renat jelas-jelas milih lo dan kalian berhasil lemparin gue jauh-jauh. Ini maksud gue, Bi. Kalau lo masih sedendam ini sama gue, ada kemungkinan kalau perasaan lo ke Moza masih tetep ada, bahkan lo masih ungkit-ungkit tentang dia tadi. Kalau emang lo yakin sama Renat, lo nggak bakalan takut mau dia temenan sama siapapun karna akhirnya, dia bakalan tetep bisa jadi perisai buat dirinya sendiri dan jaga kepercayaan lo. Seharusnya, dendam lo ke gue juga ikutan hilang waktu perasaan sayang lo ke Moza juga hilang." "Tapi balik lagi waktu lo mulai deketin Renat," ujar Abi menyambung, pikirannya sendiri sudah mulai memahami apa yang dimaksud oleh Raskal. "Dan seharusnya, dendam lo ke gue juga ikutan ngilang waktu Renat jelas-jelas lebih milih lo." Senyum Raskal terbit karena respon Abi seperti tadi, tanda bahwa pria itu memang mengerti apa yang Raskal maksudkan. "Ayolah, Bi, mau sampai kapan lo sama gue musuhan terus cuma karna Moza yang bahkan nggak berpengaruh apa-apa lagi ke kita. Dia cuma kenangan di penghujung masa putih biru yang harusnya bikin kita sadar kalau temenan emang lebih baik daripada musuhan. Lo harus sadar kalau alasan benci lo ke gue selama ini, bukan karna Renat, tapi karna Moza. Karna kalau lo masih dendam sama gue, tandanya lo masih belain Moza. Renat sendiri, dia bahkan bisa nyambut gue buat jadi temennya lagi dan tetep sayang ke lo nggak peduli apapun. Jadi sekarang, tergantung lo nya mau gimana. Lo nggak akan ngecewain Renat dengan tetep berpihak ke Moza kan, Bi? Calon istri lo berhak bahagia dan dia berhak dapetin seluruh diri lo. Jangan bikin dia kecewa." Selama ini, rasa tidak suka berkelanjutan yang Abi tunjukkan pada Raskal, memang berakar dari Moza. Lucunya, Abi malah cukup berani membenci Raskal dengan menggunakan Renat sebagai tamengnya. Padahal, tidak ada satupun alasan untuk Abi membenci Raskal bila pada akhirnya Renat memang memilihnya. Perihal hubungan mereka yang tergantung selama tiga tahun dulu, harusnya Abi lebih berani untuk menyalahkan dirinya sendiri ketimbang membawa nama Raskal ke permukaan. Kenyataannya, Abi memang lebih pengecut dari siapapun di dunia ini. Tanpa pria itu sadari, ternyata ia memiliki kebiasaan buruk untuk bersembunyi di balik pundak orang lain tanpa mau menghadapi masalah dengan memakai namanya sendiri. Victor benar sekali dulu, bahwa Abi hanyalah pria pengecut yang berlagak sok di depan semua orang. Abi menghela napas panjang, membuka buku menu dan mulai melihat daftar makanan. "Gue turut berduka buat almarhumah istri lo, Kal." Raskal tersenyum entah untuk ke berapa kali, berbeda sekali dengan Abi yang senyumnya dapat dihitung. "Makasih, Bi. Kalau sempet, lo juga bisa kasih tau Renat berita ini. Gue pikir gue nggak bakalan ketemu Renat dalam waktu deket karna dia udah nolak tawaran kerja sama gue." "Lo nggak ada niatan buat ngajak Renat ketemuan diem-diem lagi, kan?" Abi sengit lagi, tatapannya tampak tidak bersahabat walau perasaannya sudah lega pada keputusan yang Renat ambil. "Ya, siapa tau," kekeh Raskal, kemudian mengangkat gelas jeruknya dan meneguk minuman segar tersebut. Raskal memanggil pelayan, siap untuk menyebutkan pesanan mereka. Sembari menunggu kedatangan pelayan, Raskal menatap Abi kembali. "Gue nggak bakallah ketemu Renat diem-diem. Paling kalau iya, lo juga pasti ikutan, yah kalau nggak sibuk." "Terus, kapan Renat ngabarin kalau dia nolak kerja bareng lo?" Abi bertanya, mulai penasaran sebab tadi saja ketika di butik, Renat berkata hendak memikirkan apa ia akan menerima atau menolak tawaran Raskal. "Dia ngirim SMS ke gue, makanya gue nelfon niat nanyain langsung sekalian pengen bilang makasih karna udah mau mikir-mikir dulu, ya walaupun ditolak juga. Ternyata lo yang jawab telfonnya." "Suka-suka gue lah." Abi berujar sembari menunduk membaca menu. Baru ketika pelayan tiba di meja mereka, Abi mendongak dan menyebutkan pesanannya setelah Raskal. Setelah perginya pelayan laki-laki tersebut, Abi membuka jas dan melapangkan sedikit ikatan dasinya. "Gue ada niatan buat jadiin Renat sekretaris gue karna dia kekeh pengen kerja." Tanpa Abi sadari, dia ternyata menjadi lebih terbuka dan santai terhadap Raskal. Ucapan Abi mau tidak mau membuat Raskal tersenyum dan mengangguk tanda ia setuju-setuju saja. "Emangnya sekretaris lo sebelumnya kenapa? Bikin masalah?" "Moza," jawab Abi dengan suara cukup jelas dan Raskal sontak melotot. "Moza?! Bercanda lo." Raskal mencoba tertawa sembari geleng-geleng kepala. Sulit dipercaya bila Moza yang Raskal pikir sudah tinggal di dunia lain ternyata tengah menjadi sekretaris Abi. Membayangkannya saja Raskal sudah cukup merinding, bagaimana melihat Moza secara langsung. Abi angkat bahu saja, mau Raskal percaya atau tidak, itu urusannya. "Lo bisa ke kantor sekarang, liat Moza di sana." "Enggaklah." Raskal merinding, jemari pria itu langsung bergerak untuk menyalakan ponsel agar dapat melihat foto gadis kecilnya berharap ngerinya akan Moza dapat segera menghilang. "Alasan diganti apa?" "Ya menurut lo gue bakalan gimana kalau pegawai yang nggak tau apa-apa tentang calon istri gue malah seenaknya ngejelek-jelekin? Lagipula, Renat bahkan nggak pernah bilang yang aneh-aneh tentang Moza. Dia juga nggak tau tentang Moza, cerita dulu, terus gimana Moza sekarang. Yang dia tau, Moza cuma sekretaris biasa tapi nyebelin karna bisa deket sama gue di kantor." Tawa Raskal pecah bersama tawa ringan milik Abi. Kedua pria itu malah menikmati suasana walaupun sempat diawali dengan ketegangan. Memang benar, berbicara dan saling mengungkapkan segala hal akan membuat hal buruk menjadi sedikit lebih baik. Tidak peduli seperti apa permusuhan konyol yang sempat mereka lakukan di masa lalu, setidaknya masih ada kesempatan untuk memperbaiki. "Makanya lo mau Renat jadi sekeretaris lo?" Abi mengangguk, walau ia sendiripun tidak yakin apa Renat mau menerima ide Abi yang satu ini atau malah menolaknya mentah-mentah. "Doain ajalah dia setuju." "Ya kalau menurut gue, misalkan dia nolak, ya biarin aja dia kerja sesuai passionnya. Lagian, kalau lo pinter-pinter sedikit, Bi, lo pasti bisa ngalihin pikiran Renat dari yang namanya kerja. Pertama, bikin dia sibuk sama persiapan pernikahan kalian. Ya kalau siapinnya sambil leha-leha, mau kelarnya lima tahun lagi? Kalau dia udah sibuk, pasti nggak kepikiran dulu buat kerja." Raskal menjelaskan dengan wajah serius hingga Abi yang mendengarkan pun juga ikut-ikutan serius. Seperti tidak ingin menyia-nyiakan ide brilian yang disampaikan Raskal. "Kedua, kalau nanti kalian udah nikah, ya berdoa aja supaya lo sama dia cepet dikasih si kecil, biar Renat jadinya emang lebih fokus buat si baby." Abi tersentak, ketika seriusnya malah dipecah oleh suara ponsel. Dilihatnya nama penelepon dan Abi sukses mengusap dahi, tidak percaya bahwa Renat akan meneleponnya. "Panjang umur," celetuk Abi kecil sebelum mengusap layar untuk menerima panggilan dari nona cerewet. Sementara Raskal hanya diam memperhatikan sembari bersyukur bahwa hari ini, akhirnya ia kembali dapat memperbaiki kesalahan. Tidak seperti dulu ketika dirinya harus menjadi pemeran pendukung yang jahat bagi Abi. Mulai sekarang, pelan-pelan, Raskal akan mencoba menjadi pemeran pendukung yang baik bagi Abi dan Renat. Serta menjadi pemeran utama yang lebih baik untuk putri tercantiknya. ♦ r e t u r n ♦
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN