Saat yang Tak Lagi Kutunggu
Aku datang bukan untuk mengusik atau menuntut penjelasan atas luka lama. Aku datang hanya untuk menegaskan pada diriku sendiri bahwa semua yang pernah kutangisi memang nyata. Bahwa cinta yang dulu kupeluk erat kini telah benar-benar dimakamkan.
Langkahku pelan memasuki aula pernikahan yang megah. Dindingnya dipenuhi rangkaian mawar putih, lampu gantung berkilauan memantul di lantai marmer, dan udara terasa hangat oleh tawa serta ucapan selamat yang berseliweran.
Di tengah keramaian itu, dia berdiri. Lelaki yang pernah kuanggap rumah. Revan.
Hari ini dia menikah. Bukan denganku, tentu saja. Tapi dengan perempuan yang entah sejak kapan berhasil menggantikan posisiku. Dia tersenyum lebar, senyum yang dulu kubanggakan. Kini, senyum itu menjadi milik orang lain.
Hatiku tak lagi berdebar. Luka ini sudah terlalu sering terbuka dan tertutup hingga nyerinya tak terasa asing. Yang tersisa hanyalah hening panjang yang menetap di d**a.
Mata Revan menangkap kehadiranku. Sekejap, raut wajahnya berubah. Tegang. Kaku. Seolah keberadaanku adalah bayangan masa lalu yang semestinya telah lenyap bersama kenangan. Tapi aku masih di sini. Kali ini bukan sebagai kekasih, bukan pula sebagai tamu istimewa. Hanya perempuan yang pernah dijanjikan masa depan dan dibiarkan berjalan sendiri di masa kini.
Aku menatapnya tanpa senyum. Lalu menyusup di antara tamu-tamu yang sibuk berswafoto dan membicarakan gaun pengantin. Tak ada yang mengenaliku, dan itu lebih dari cukup.
Aku sudah menikah. Bukan karena cinta pertamaku telah mati, tapi karena aku memilih untuk hidup. Suamiku tahu tentang masa laluku, tentang Revan (orang yang benar-benar aku sayang), tentang bagaimana aku kehilangan arah saat ssmuanya runtuh. Tapi dia memilih tinggal itu lebih dari cukup bagiku.
Revan melangkah mendekat. Langkahnya ragu, seperti seseorang yang tak yakin apakah ia berhak menyapa atau sebaiknya diam dan membiarkanku lenyap lagi.
“Aleta…” ucapnya pelan. Suaranya masih sama—bergetar tenang, tapi tak lagi memberi kehangatan.
Aku hanya menoleh sebentar. “Ya?”
“Kamu datang…”
Aku mengangguk. Tak ada sambutan hangat. Tak ada pelukan pertemuan. Kami berdiri di ambang jeda, di antara kenangan yang nyaris basi dan kenyataan yang tak bisa diputar ulang.
“Sudah lama, ya,” katanya kemudian.
“Tidak juga. Aku hanya berhenti menunggu balasan dari surat yang tak pernah kamu kirim,” jawabku, datar.
Dia tertawa kecil, kikuk. “Kamu kelihatan berbeda.”
“Tentu. Perempuan yang pernah kamu biarkan jatuh tak akan bangkit sebagai orang yang sama.”
Hening mengisi ruang di antara kami . Mungkin karena tak ada kata yang cukup untuk menambal luka yang dulu dibuat dengan diam. Dan terlalu banyak kata yang seharusnya diucapkan dulu, tapi kini semua terlambat.
“Aku nggak tahu harus bilang apa.”
Aku menarik napas pelan. “Bilang saja apa yang kau sampaikan ke perempuanmu malam ini. Aku sudah tidak berharap apa-apa.”
Dia menunduk. Mungkin menyesal. Mungkin hanya bingung. Tapi aku tak lagi tertarik membaca makna dari diamnya.
“Aku cuma ingin bilang… semoga kamu benar-benar bahagia ya Revan.”
Lalu aku melangkah pergi. Tak menoleh. Tak menunggu jawaban. Karena suratku sudah lama selesai. Dan ia tak pernah mengirim balasan.
⸻
Udara malam menampar lembut kulit wajahku saat keluar dari gedung. Tapi dingin ini tak seberapa dibanding kehampaan yang dulu pernah kurasa saat Revan pergi tanpa kata pamit.
Aku memilih berjalan kaki menyusuri trotoar yang sepi. Bukan karena tak ada kendaraan, tapi karena aku butuh waktu. Butuh ruang untuk bernapas.
Aku memikirkan banyak hal. Tentang janji yang pernah dibuat, dan tentang janji yang tak pernah ditepati. Tentang malam-malam panjang penuh tangis yang tak seorang pun tahu. Tentang bagaimana aku bertahan, walau sendirian. Lalu tentang seseorang yang akhirnya datang… bukan untuk menggantikan Revan, tapi untuk merawat hatiku yang sudah terlalu lelah disakiti.
Rumah kami sederhana. Tapi di sanalah tempat aku bisa pulang tanpa khawatir ditinggalkan.
Tig puluh menit kemudianaku tiba di rumah dan saat aku membuka gerbang, lampu ruang tamu sudah menyala. Pintu terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Suamiku berdiri di sana. Wajahnya tenang. Matanya menatapku tanpa penilaian, hanya kepedulian.
“Kamu benar-benar pergi ke acaranya?buat apa ?” tanyanya, pelan. Tak ada nada menyudutkan. Hanya kepedulian.
Aku melepas sepatu dan melangkah masuk sambil aku mengangguk. “Hanya sebentar. Aku hanya… ingin menutup sesuatu.”
Dia tak bertanya lebih jauh. Dia tak memaksaku menjelaskan. Dia tahu, beberapa hal tak perlu diungkap, cukup dirasakan dan disembuhkan perlahan.
“Terima kasih, karena pulang,” katanya, sambil menggenggam tanganku. Genggaman itu hangat. Nyata. Tidak rapuh seperti kenangan masa lalu.
Aku bersandar di bahunya. Diam. Tapi dalam keheningan itu, aku merasa aman. Tak ada air mata malam ini.
“Dia terlihat bahagia.” Gumamku pelan.
“Dan kamu?.” Tanyanya.
Aku diam sejenak. Lalu tersenyum samar.
“Aku…lebih dari itu. Karena, aku punya kamu.”
Dia menarikku dalam pelukannya. Bukan pelukan yang membara, tapi pelukan yang menenangkan. Seperti pelindung yang tak menuntut apapun, hanya ingin menjadi tempat kembali.
“Kamu nggak menyesal menikah denganku?” tanyaku lirih, entah mengapa. Mungkin hanya ingin memastikan lagi.
Dia tersenyum. “Kalau aku menyesal, aku tidak akan terus menggenggam tanganmu bahkan saat kamu masih berjuang berdamai dengan masa lalu, dan aku disini akan selalu ada untuk kamu.”
Dadaku menghangat. Tak perlu banyak kata. Cukup satu pelukan, satu tatapan tulus, untuk menghapus jejak luka yang dulu pernah kupelihara.
⸻
Malam itu, aku membuka laci meja kerja. Di sana, masih kusimpan selembar surat yang pernah kutulis untuk Revan. Surat yang tak pernah kukirim. Surat yang penuh harap dan rindu. Tapi kini, huruf-huruf di dalamnya tak lagi menyakitkan. Tak lagi k****a dengan air mata. Tak lagi kutunggu balasannya.
Aku membacanya sekali lagi. Lalu, untuk pertama kalinya, aku merobeknya pelan-pelan. Bukan karena benci. Tapi karena aku tak lagi ingin hidup dalam cerita yang tak selesai. Karena surat itu tak lagi punya tujuan. Dan aku sudah sampai di tempat yang semestinya.
⸻
“Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memilih untuk tidak lagi tinggal di halaman yang sama.”
Dan aku telah menutup halaman itu. Bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian untuk benar-benar pergi.
Karena surat yang tak pernah dijawab…
Bukan lagi pantas untuk ditunggu.
Dan mungkin aku belum sepenuhnya pulih. Tapi aku tahu, kali ini… aku tidak berjalan sendirian.