Putus
“Kita putus!” Beni Haidar menatap tajam ke arah Siti. Siti kaget mendengar perkataan kekasihnya. Mereka sudah menjalin cinta enam tahun, tapi sekarang Beni memutuskan begitu saja.
“Kenapa?!” Siti menatap wajah Beni dengan bingung. Selama ini mereka jarang bertengkar. Beni selalu memperlakukannya dengan baik.
“Aku sudah tidak cinta sama kamu lagi! Aku sudah memiliki kekasih yang baru,” tegas Beni.
“Tapi aku masih mencintai Bang Beni,” kata Siti.
“Tidak ada gunanya kamu memohon. Aku tetap dengan keputusanku. Jangan pernah menghubungi aku lagi!” Beni beranjak dari tempat duduk lalu pergi meninggalkan tempat itu. .
Siti beranjak dari kursi, ia langsung mengejar Beni. “Bang Beni!” Siti berlari keluar dari restaurant. Namun, langkah Beni sangat cepat, ia menghilang begitu saja dari pandangan Siti. Siti bersimpuh di tengah lorong hotel lalu ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis tersedu-sedu.
Para tamu hotel yang melewati lorong tersebut melihat apa yang dilakukan oleh Siti. Namun, Siti terus menangis tanpa menyadari ia menjadi tontonan tamu hotel. Seorang lelaki muda menggunakan seragam hotel datang menghampiri Siti. Ia berdiri di depan Siti.
“Mbak, tidak apa-apa?” tanya lelaki tersebut.
Siti melepaskan telapak tangannya. Ia menatap lelaki yang berdiri di depannya. Lalu ia juga memandangi ke sekelilingnya. Orang-orang yang melewati lorong tersebut menatap ke arahnya. Siti merasa malu menjadi tontonan para tamu hotel.
Siti pun berusaha untuk berdiri, tapi ia kesulitan untuk bangun. Lelaki muda itu mengulurkan tangannya kepada Siti. Ia hendak membantu Siti. Siti menyambut uluran tangan lelaki muda itu sehingga ia bisa berdiri.
“Mbak, tidak apa-apa?” tanya laki-laki itu sekali lagi.
“Saya mau ke toilet,” ujar Siti.
“Mari saya antar.” Lelaki itu berjalan menuju ke sebuah lorong yang berada di dekat restaurant. Siti mengikuti lelaki itu. Lelaki itu berhenti di ujung lorong.
“Ini Mbak, toilet untuk wanita.” Lelaki itu menunjuk ke sebuah pintu. Di depan pintu tersebut ada potongan siluet wajah wanita dan dibawahnya bertuliskan ‘Toilet Wanita.’
“Terima kasih,” ucap Siti.
Siti pun masuk ke dalam toilet tersebut. Di dalam toilet nampak sepi, tidak ada seorang pun berada di dalam toilet. Siti berjalan menuju wastafel. Ia menatap ke kaca yang berada menempel di dinding wastafel. Make up di wajahnya luntur karena terkena air mata. Siti memutuskan untuk membetulkan riasan di wajahnya.
Setelah selesai membetulkan rias wajah, Siti keluar dari toilet. Ia kembali ke restaurant tempat tadi ia bertemu dengan Beni. Ada barang miliknya yang tertinggal di restaurant tersebut. Sesampai di restaurant, restaurant nampak ramai oleh para tamu yang sedang makan siang. Siti menghampiri ke meja tempat tadi ia duduk. Beruntung di meja tersebut belum ada yang menempati. Namun, barang yang tertinggal sudah tidak ada di atas meja.
‘Kok tidak ada? Kemana kue yang tadi aku bawa?’ tanya Siti di dalam hati.
Di saat bersamaan seorang pelayan restaurant lewat di samping Siti. “Mas!” Siti memanggil pelayan tersebut. Pelayan itu pun berhenti dan menoleh ke arah Siti.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya pelayan itu.
“Beberapa menit yang lalu saya ketinggalan barang berupa sebuah kantong plastik berwarna putih di atas meja ini.” Siti menunjuk ke meja yang tadi ia tempati.
“Sebentar, Mbak. Saya tanyakan dulu ke pegawai lain. Barangkali mereka yang menyimpan kantong plastik tersebut.” Pelayan itu pun berjalan menuju ke meja kasir. Terlihat ia berbincang dengan seorang kasir. Siti memperhatikan pelayan itu dari jauh. Tidak lama kemudian pelayan itu menghampiri Siti.
“Mbak, menurut teman saya kotak kue milik Mbak dibawa oleh Pak Adib,” kata pelayan itu.
“Pak Adib?” Siti mengerut kening. Ia tidak kenal dengan orang yang bernama Adib. Tapi mengapa orang tersebut begitu lancang membawa kue miliknya. Kue yang hendak ia berikan kepada Beni.
“Siapa Pak Adib?” tanya Siti.
“Saya tidak kenal dengan dia,” lanjut Siti.
“Pak Adib adalah cucu pemilik hotel ini, Mbak,” jawab pelayan tersebut.
Siti menghela napas mendengar perkataan pelayan tersebut. Semestinya orang itu tidak boleh mengambil barang milik orang lain, walaupun ia cucu dari pemilik hotel.
“Dimana saya harus mencari Pak Adib?” tanya Siti.
“Di resto. Mbak. Resto milik Pak Adib di dekat sini. Terhalang tiga gedung dari hotel ini. Nama resto itu adalah Omar Resto,” jawab pelayan itu.
Siti mengerut keningnya. ‘Omar Resto?’ tanya Siti di dalam hati.
‘Bukankah itu resto tempat aku akan wawancara?’ tanya Siti lagi.
Pukul dua siang nanti Siti ada wawancara untuk menjadi sekretaris di sebuah resto. Resto itu di dekat hotel ini. Resto itu bernama Omar Resto.
‘Kebetulan sekali,’ kata Siti di dalam hati.
“Baik, Mas. Terima kasih.” Siti pun meninggalkan restorant tersebut. Ia memutuskan untuk mencari makan di sekitar hotel tersebut, sebelum ia menuju ke resto untuk wawancara.
Beberapa menit yang lalu ketika Siti mengejar Beni, seorang pria melihat Siti berlari mengejar Beni. Pria itu duduk di sebelah meja tempat Siti dan Beni duduk. Pria itu bernama Adib Omar. Ia adalah cucu dari pemilik hotel Razendra. Ia sedang kencan buta dengan gadis pilihan kakeknya.
Adib melihat kantong plastik yang tertinggal di atas meja. Ia menghampiri meja tersebut lalu membuka kantong plastik. Di dalam kantong plastik ada sebuah kotak kue yang dihias dengan cantik. Adib membuka kota kue tersebut, ternyata di dalamnya ada sebuah kue bolu yang dihias dengan krim. Kue bolu tersebut dihias dengan hiasan cantik dan terlihat cukup menggugah selera. Ia penasaran apakah rasa kue tersebut seenak penampilannya?
Sebagai pemilik resto Adib sangat tertarik dengan berbagai macam jenis makanan dan kue. Ia tidak segan-segan mencoba resep baru untuk menambah daftar menu di restonya. Namun, Adib sadar kalau kue itu bukan miliknya. Ia harus ijin dulu kepada yang punya kue, Adib memutuskan untuk mencari pemilik kue tersebut.
Adib membawa kantong plastik itu lalu ia kembali ke tempat ia duduk. Ia menaruh kantong plastik itu di atas meja. Lalu ia duduk di kursi. Di hadapannya ada seorang perempuan cantik. Perempuan itu bernama Neri.
“Maaf, saya tidak bisa berbincang lama-lama. Saya harus kembali ke kantor. Ada urusan yang harus saya selesaikan,” ujar Adib.
“Kita masih bisa bertemu lagi, kan?” tanya Neri.
“Lihat saja nanti. Kalau saya sedang tidak sibuk,” jawab Adib.
“Boleh aku minta nomor telepon Mas Adib?” Neri mengambil telepon seluler dari dalam tas. Lalu ia mengetik sesuatu di layar telepon seluler.
Adib menghela napas. Ia paling tidak suka memberikan nomor telepon kepada sembarangan orang. Apalagi jika orang itu tidak ada hubungannya dengan bisnis.
“Kamu hubungi kakek saya saja. Biar nanti kakek yang akan memberitahu kepada saya,” jawab Adib.