Entah sudah berapa lama aku berputar-putar mengikuti Andaru, sampai ketika kakiku merasa keram, makhluk berantakkan itu akhirnya berhenti di ujung lorong kelas dua belas. Kelas dua belas IPS 8. Kelas paling ujung, paling jauh, paling terbelakang, dan paling suram. Bagaimana tidak? Ini bahkan lebih cocok disebut gudang ketimbang kelas. Isinya laki-laki semua, atau lebih tepatnya, preman semua! Aku pernah dengar, kalau orang yang masuk ke kelas ini tidak akan keluar dengan selamat. Mengingatnya saja membuatku bergidig.
Begitu sampai, suara sorakan mulai terdengar keras. Sangat berisik karena beberapa dari mereka juga memukul meja dan papan tulis. Sudah tidak aneh lagi, bahkan beberapa meja dan kursi sudah banyak yang rusak, membuat tempat ini lebih mirip dengan gudang.
“Siapa tuh, Bos?!” Terdengar seseorang bersuara dari arah dalam kelas.
Aku sudah jadi tontonan di sini, dan yang dilakukan si Andaru ini malah menatapku sembari melipat tangannya di d**a. Sebenarnya aku mau diapakan? Sekilas aki sempat memperhatikan seisi kelas yang berisi kumpulan laki-laki barbar. Mendadak aku jadi merinding. Akan lebih baik kalau aku disuruh uji nyali ke kuburan ketimbang datang ke sarang penyamun. Karena aku sungguh tidak tahu, perbuatan apa yang hendak mereka lakukan padaku.
“Enaknya diapain nih anak?” tanya Andaru yang segera dapat sorakan riuh dari semua orang.
Perlahan aku menarik napas pelan kemudian mengembuskannya diam-diam. Sebisa mungkin, aku berusaha untuk tidak terlihat takut di hadapan mereka. Meski rasanya jantungku sudah mau meledak karena berdetak terlalu kencang.
“Sebenarnya ada perlu apa? Jangan buang waktu gue,” ucapku yang langsung dapat sorakan di detik berikutnya.
“Songong juga nih cewek, dapet dari mana, Bos?”
Refleks aku menatap seorang cowok yang sama amburadulnya dengan Andaru. Dia menyeringai, menatapku tajam, sama seperti yang dilakukan Andaru. Sampai tiba-tiba seseorang yang tampak familiar datang dari arah lain sambil membawa sebotol teh kemasan.
“Minum, Bos!” ucapnya sembari melemparkan botol minuman tadi kepada Andaru.
“Thanks.”
Dan betapa terkejutnya aku saat melihat Iwan sedang nyengir tanpa dosa.
“Eh, Ladis,” ucapnya sambil tertawa.
“Lo?!”
Detik itu juga aku sadar, kalau aku benar-benar sudah masuk dalam perangkap mereka. Aku yang awalnya sedikit takut, mendadak jadi kesal setengah mati. Dan kalau sedang kesal, aku bisa tidak takut pada siapa pun. Kecuali Tuhan.
“Hehe maaf ya, gue bukan anak IPA.” Lagi-lagi si Iwan cengengesan. Sungguh, bukan itu masalahnya sekarang!
“Bener dia, Wan yang ngaduin gue ke Riono?” tanya Andaru kepada Iwan. Dia bahkan memanggil Pak Ri dengan sebutan Riono. Luar biasa!
“Iya, malah dia yang bawa gue ke UKS. Baik banget deh, idaman.”
Rasanya aku mau membunuh Iwan detik ini juga. Harusnya aku biarkan saja dia tewas dipukuli Andaru tadi pagi. Bukannya ucapan terima kasih yang kuterima, tapi jutru masalah yang aku dapatkan. s****n, i wanna kill you, Iwan!
“Lo ngaduin gue ke Riono tanpa tahu, apa penyebabnya kenapa gue mukulin Iwan?” tanya Andaru, dia mendekatkan wajah buluknya ke wajahku sebelum kemudian tertawa sumbang. “Kebanyakan nonton sinetron lo! Mau jadi pahlawan rupanya!”
Aku kesal! Kesal setengah mati, sampai lagi-lagi Andaru mendekatkan wajahnya lagi. Kali ini ke telingaku. “Sayangnya lo salah sasaran.”
Aku menatapnya dengan tangan terkepal, sedangkan si b******k Iwan malahan asyik menertawakanku dengan kawan-kawan laknatnya.
“Kemarin si Iwan ninggalin buku matematika gue di warung, dan gara-gara itu gue kena hukum lari keliling lapangan lima puluh kali. Dan pagi ini, gue kena hukum lari lapangan lagi karena lo ngaduin gue ke Riono saat gue lagi menghukum Iwan.” Dia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan, “hukuman apa yang harus gue kasih buat lo?”
Riuh ramai kembali terdengar, tapi telingaku malah berdengung. Rasanya aku mau teriak saking kesalnya. Terutama pada Iwan.
“Harusnya lo dapat hukuman yang sama dengan Iwan, tapi karena lo perempuan, lo gue kasih keringanan,” ucap Andaru, masih dengan seringai di wajah.
“Hajar, Ge!”
Refleks aku memejamkan mata, hingga bunyi retakan beserta tawa yang ramai mulai terdengar. Ah, s**l!
“Kalau lo udah selesai, gue pergi.” Belum sempat aku melangkah, sebuah tangan sudah meraih kerah bajuku dari belakang. Untungnya aku tidak sampai terjengkang.
“s****n!” ucapku tanpa sadar.
“Kurang ajar banget lo, cewek b*****t!” lagi-lagi refleks, aku menutup mata, saat cowok yang tadi melemparkan telur ke kepalaku kini hendak memukulku. Sampai suara Andaru membuat orang itu berhenti.
“Jangan, Ge!” ucap Andaru sambil melepaskan tangan seorang cowok yang kuduga bernama Gerard, dari kerah seragamku. Tadi aku sempat lihat badge nama di seragam yang dia pakai. “Lo nggak boleh mukul perempuan.”
Wow, bisa bijak juga preman ini. Saat aku masih mengagumi kebijaksanaan Andaru, Gerard malah mendekat ke arahku. Wajahnya tampak menyeramkan, namun aku masih berusaha sekuat tenaga untuk membalas tatapan tajamnya.
“Gue nggak perlu respect sama perempuan yang satu ini,” ucapnya pelan, namun terdengar begitu jelas.
Ya iyalah, dia ngomong tepat di kupingku!
“Sabar, Ge. Ingat almarhumah ibu lo perempuan, adik lo juga perempuan.” Andaru menengahi.
Tatapan Gerard masih terkunci pada mataku yang juga menatapnya lurus. “Almarhumah ibu lo nggak akan bangga liat anaknya jadi preman!” ucapku tepat di hadapan Gerard.
“b*****t!”
“Tahan, Ge!”
Aku masih menatap lurus mata Gerard yang menyala menampakkan api kemarahan yang membara. Kalau tidak ada Andaru, mungkin aku sudah mati kena sasaran amukan Gerard. Tapi aku tidak mau berterima kasih. Apa yang mereka lakukan, baik kepadaku atau siapa pun yang pernah berada di posisiku sekarang, tidak akan pernah aku benarkan. Bagaimanapun merisak seseorang itu adalah tindakan yang salah. k*******n itu bukanlah sesuatu yang bisa aku benarkan.
“Lo bisa jaga ucapan lo?!” tanya Andaru sambil menjambak rambutku.
Suara riuh ramai yang sejak tadi terdengar mengganggu, perlahan menghilang digantikan keheningan yang menakutkan. Sejenak, aku sempat merasa ketakutan saat manik hitam Andaru menatapku tajam. Meski di luar aku terlihat tidak ketakutan dan masih bisa balas menatap mata Andaru tanpa berkedip, tapi dalam hati aku merapal agar masih diberi kehidupan. Aku belum bisa mengganti daster Ibu yang sobek karena kujadikan taplak meja dan membelikannya yang baru, uang tabunganku belum cukup. Dan aku belum mau mati!
“Lo mau pukul gue? Pukul aja, lebih gampang ngelapor kalau ada bekasnya,” ucapku asal.
“Cewek s****n!”
PRAK
Ah, telur.
Satu, dua, dan entah sudah berapa kilo telur-telur itu menghujam tubuhku. Rasanya kepalaku mau pecah karena terlalu banyak terkena lemparan telur. Aku hanya diam, saat teman-teman Andaru mulai melempariku dengan telur yang entah mereka dapat dari mana. Akan lebih bermanfaat kalau telur-telur ini dipakai untuk bikin martabak.
“Woooo cewek busuk!”
Iwan s****n! Sepertinya habis ini aku bakal benar-benar membunuhnya. Sekilas aku melihat Andaru yang tertawa lepas, sedangkan di sampingnya, Gerard terus melempari telur ke kepalaku dengan membabi buta. Pikiranku melayang, bagaimana kalau nanti Ibu bertanya. Aku tidak mungkin bilang kalau aku dirisak, dan aku juga tidak sedang ulang tahun hari ini. Mendadak kepalaku malah pusing karena hal lain.
***