Membaca Pikiran Bagas

1321 Kata
Angin bertiup kencang, tapi sayangnya tidak cukup kencang untuk mengeringkan seragamku. Ah, badanku rasanya remuk, ditambah bau amis yang tidak hilang dari tubuhku meski aku sudah mandi keramas pakai sampo lima sachet. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi, harusnya Bagas sedang mencariku sekarang. Atau entahlah, aku sedang tidak mau memikirkan Bagas. Pelan, sambil menyandarkan kepalaku yang berdenyut ke batang pohon ketapang di belakang sekolah, mataku terpejam. Jangan pernah membayangkan kalau sekolahku punya rooftop seperti sekolah-sekolah keren pada umumnya. Sekolahku cuma punya bangunan jajar genjang, dengan banyak pohon besar dan lapangan juga kebun. Dan sekarang, aku masih duduk sendirian di bawah pohon ketapang belakang sekolah sambil mengeringkan baju seragamku yang sempat kucuci tadi. Untungnya aku pakai kaus dalaman, jadi aman. Sampai suara teriakkan seseorang menghentikan aktivitas menyepiku. Itu Bagas. Lagian, memangnya ada lagi manusia di muka bumi ini yang punya suara sumbang seperti itu selain Bagas? “Ladis?!” ucapnya, “Lo baik-baik aja, kan? Lo diapain sama si Galaksi itu?!” Bagas mulai lebay. Sambil mengguncangkan bahuku, dia bertanya tanpa jeda. Mendengarnya membuat telingaku sakit. “Itu baju ngapain dijemur di situ? Lo buka usaha laundry? Rambut lo juga kenapa lepek gitu? Lo habis kecebur di mana Ladis? please jangan diem aja, jawab!” “Gimana gue mau jawab kalau lo malah nge-rap begitu,” ucapku santai. “Yaudah jawab! Lo bikin gue khawatir. Tiara bilang, lo dibawa si Galaksi.” Aku terkekeh pelan. Jadi Tiara benar-benar menyampaikan pesan terakhirku pada Bagas. “Gue baik-baik aja, tadi gue habis cuci tangan terus kerannya jebol. Makanya basah semua,” ucapku berbohong. Bagas hanya mengangguk pelan, kemudian melepas hoodie buluk yang sedang dipakainya. “Mau apa lo?” tanyaku yang heran melihat tingkah Bagas. “Pake. Kita pulang, nanti lo masuk angin,” ucapnya sambil mengambil kemejaku yang masih setengah basah dari ranting pohon. Bukan pohon ketapang yang ada di belakangku, tapi ada semak kecil di sekitaran sini. Aku memang sengaja menjemurnya di sana, tapi tetap tidak kering juga. Aku hanya mengangguk, memakai hoodie Bagas yang dipenuhi wangi molto sekali bilas, kemudian berjalan mengekori Bagas. Lagi-lagi pikiranku melayang, menuju tak terbatas dan melampauinya! Ah, bukan. Maksudku, lagi-lagi aku malah memikirkan kata-kata terakhir yang diucapkan Andaru padaku. Saat bel pulang sekolah berbunyi tadi, mereka yang asyik menyerangku pakai berkilo-kilo telur mendadak bubar macam kerumunan semut yang kena air hujan. Aku yang berpikir mereka sudah puas merisak dan menyiksaku, bakalan lebih tenang dan membubarkan diri karena bel pulang berbunyi. Tapi nyatanya, pikiranku salah. Andaru dengan tampang menyebalkannya malah mendekat ke telingaku dan membisikkan sesuatu yang jujur saja membuatku merinding sekaligus geli. “Lo boleh pergi sekarang, tapi urusan kita belum selesai.” Aku hanya bisa pasang tampang cengo untuk beberapa saat, sampai aku tersadar dan buru-buru pergi ke warung Bang Samsul untuk membeli sampo. Hingga akhirnya aku ditemukan Bagas di kebun belakang sekolah. Di hadapanku, Bagas masih berjalan tanpa mengatakan apa pun. Koridor sudah tampak sepi, tapi di kelas masih ada Tiara, Saga dan Ucup yang kelihatannya tampak cemas begitu aku datang. Kenapa mereka harus pasang tampang serius begitu, sih? Maksudku, mereka itu biasa melawak jadi mana pantas pasang ekspresi serius? “Ladis!” Tiara menghambur ke pelukanku, begitu dia melihat kedatanganku. “Lo baik-baik aja, kan? Lo nggak diapa-apain, kan? Sama mereka?” Aku hanya bisa mengangguk sembari tersenyum singkat. “Gue nggak apa-apa, cuma kelasnya Andaru jauh banget terus gue kesasar makanya belum balik sampai bel pulang. Terus pas di toilet, kerannya malah jebol, baju gue basah semua jadinya,” jelasku sembari tertawa pelan. “Syukur kalau lo nggak apa-apa. Gue takut banget, Dis.” “Makasih ya, Ra.” Tiara mengangguk, sambil sekali lagi memelukku. Aku terpaksa berbohong pada mereka. Entah kenapa, rasanya aku tidak ingin melibatkan mereka dengan Andaru. Biar aku saja yang berurusan dengan makhluk menyebalkan itu. “Yaudah, gue sama Ladis pulang dulu,” pamit Bagas yang langsung dapat anggukan dari Tiara, Saga dan Ucup. “Hati-hati.” Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan terakhir Ucup, kemudian kembali berjalan mengekori Bagas. Entah kenapa rasanya hari ini Bagas tidak banyak bicara. Tapi sebenarnya ini jauh lebih bagus daripada aku dengan tubuh dan pikiran yang sudah benar-benar lelah harus menanggapi ucapan-ucapan tidak bermanfaat yang keluar dari mulut Bagas. Hingga tanpa sadar, aku dan Bagas sampai di parkiran dan Bagas yang buru-buru memasangkan helm ke kepalaku. Tampangnya terlihat aneh, kemudian segera menaiki motornya. Entah apa yang merasuki si Bagas, sampai mendadak dia jadi waras begitu. “Gue harap lo nggak bohong sama gue, Dis,” ucapnya pelan sebelum benar-benar menyalakan mesin motornya dan bergegas meninggalkan sekolah. Detik itu juga aku paham apa yang dimaksud Bagas. Rasanya percuma aku bersandiwara di hadapan Bagas kalau akhirnya, Bagas memang yang paling tahu akan diriku. Wajar saja, selama tujuh belas tahun aku ditempeli Bagas, dan selama itu juga aku bahkan tahu kalau dulu Bagas pernah ngompol di kelas walau mati-matian menyangkal. Dan saat ini, aku sedang mencoba berbohong padanya. Harusnya aku tahu, kalau yang kulakukan ini sia-sia. *** Kepalaku berdenyut, dengan sebab yang aku tahu persis. Ini pasti karena lemparan telur anak-anak barbar tadi. Mengingat wajah Gerard seketika membuatku bergidig. Sama seperti Andaru, penampilannya super kacau. Yang bisa membuatkj membedakan mereka hanyalah sebuah nama yang terbordir dengan tulisan besar-besar di seragam mereka. Saat aku masih sibuk memikirkan kejadian di sekolah tadi, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Terdengar suara cempreng Bagas dari luar sana. Entah apa yang mau dia lakukan kali ini, kepalaku sudah hampir mau pecah rasanya. “Kenapa?” tanyaku begitu membuka pintu. “Lo sakit? Muka lo pucat.” Aku menggeleng pelan, mencoba meyakinkan Bagas kalau aku baik-baik saja. Tapi bukan Bagas namanya kalau tidak bertindak di luar akal sehat manusia normal pada umumnya. Karena detik berikutnya dia malah menyeretku masuk kembali ke dalam kamar dan menyuruhku duduk di tepi ranjang. “Lo tahu, kan, lo nggak bisa bohong sama gue,” ucapnya sambil memegang dahiku. “Gue nggak apa-apa.” “Lo diapain sama mereka?” tanyanya pelan, “jangan bohong sama gue, Dis.” Bagas itu punya kepala batu, itu adalah fakta yang sering kali aku lupakan. Akhirnya, setelah menarik napas dalam-dalam, aku berhasil menceritakan semua hal yang terjadi padaku siang tadi tanpa jeda. Bagas juga tidak berusaha menyelak ucapanku. Dia hanya diam, mengangguk, dan sesekali menatapku dengan tatapan aneh. “Gue baik-baik aja kok. Tolong rahasiain ini dari keluarga gue,” ucapku pada Bagas yang masih diam saja. “Lo diperlakukan begitu dan lo masih bilang baik-baik aja?! Gue nggak terima, Dis!” Aku tahu ini akan terjadi. Kalaupun Bagas tidak cerita pada keluargaku, aku sendiri belum tentu bisa menghadapi kemarahan Bagas. Meski kadang menyebalkan, Bagas adalah orang yang selalu marah kalau ada orang lain yang berbuat jahat padaku, termasuk Mas Tama. Menurut Bagas, satu-satunya orang yang bisa berbuat jahat padaku, ya hanya dirinya seorang. “Lagipula, ini memang kesalahan gue. Gue terlalu sok tahu.” “Tapi, Dis ....” “Janji jangan bilang ke Ibu, Bapak, apalagi Mas Tama. Jangan bilang ke Bunda juga! Ini rahasia kita,” ucapku sambil memegang bahu Bagas. Perlu beberapa detik untukku meyakinkan Bagas sampai akhirnya kepalanya mengangguk setuju. Barulah aku bisa bernapas lega. “Yaudah, lo istirahat aja dulu.” Aku mengangguk mengiyakan. Tidak berani membantah, atau mengelak ucapan Bagas. Dia itu spesies manusia paling aneh yang pernah ada di muka bumi ini. Atau mungkin yang pernah diciptakan Tuhan. Dia bisa b**o sekaligus galak, juga gila sekaligus serius. Kepribadiannya yang aneh itu yang kadang membuatku tidak tahan berada lama-lama di dekatnya. Tapi Tuhan pasti punya ribuan cara untuk membuat Bagas selalu menempel padaku. Dan setelah bertahun-tahun mengenal Bagas, satu hal yang baru benar-benar aku pahami saat ini. Kalau Bagas itu paling susah ditebak. Aku memang tahu, kalau dia lagi berbohong, lagi bercanda, dan yang lainnya. Tapi aku sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Ya, mungkin aku perlu berguru lama dengan Pak Tarno atau Limbad. Tapi bukan itu poin utamanya. Kadang-kadang, sifat Bagas yang susah ditebak itu sedikit membuatku takut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN