Pratama Mahendra

1374 Kata
Setelah berbincang singkat dengan Bagas tadi sore, aku bablas ketiduran sampai malam dan terbangun karena Bapak mengetuk pintu kamarku “Makan dulu, Nak.” Aku hanya mengangguk, saat membuka pintu kemudian mengekori Bapak dan berbelok ke kamar mandi. Aku harus cuci muka dulu, setelah tidur siang tiga jam tanpa jeda. Benar-benar rekor, dan badanku masih terasa nyeri. Aku baru sadar, kalau ternyata telur bisa jadi s*****a yang cukup melukai. Suasana makan, seperti biasanya, hanya diisi dengan obrolan singkat dan juga tingkah konyol dua alien di hadapanku. Sekarang mereka sedang cosplay jadi pasangan pengantin baru rupanya. “Mas, cobain deh, tempenya enak banget,” ucap Bagas sambil menyuapkan sepotong tempe ke mulut Mas Tama. Di sampingnya, Mas Tama hanya mengangguk-angguk nikmat. Dan sungguh, pemandangan itu sukses membuatku mual. Maksudku, bahkan Bapak dan Ibu saja tidak pernah suap-suapan di meja makan. Dan juga, seenak apa sih tempe itu? Rasanya juga sama seperti tempe goreng biasa! Dasar manusia titisan biawak! *** “Kamu sudah coba-coba cari pekerjaan lagi, Tam?” tanya Bapak setelah beberapa menit sesi makan malam diisi dengan keheningan. “Tama mau freelance aja, Pak,” jawab Mas Tama kelewat santai. “Bukannya lebih enak kalau kamu cari pekerjaan yang lebih baik? Sayang gelar sarjanamu itu.” “Komik bikinan Tama sudah di publish di koran tiap Minggu, terus sekarang Tama juga lagi ada proyek untuk buat komik baru,” ucap Mas Tama sambil mengunyah tempe. “Nanti kalau sudah jadi, bakal di terbitkan di salah satu platform komik online buatan lokal. Jadi bisa dapat penghasilan tiap bulan.” Bapak hanya mengangguk mendengar penjelasan Mas Tama, meskipun sepertinya bukan itu jawaban yang diinginkan Bapak. Sekilas, Mas Tama terlihat biasa saja dan terkesan masa bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tapi aku yakin, jauh di dalam lubuk hatinya, Mas Tama merasa risih. Aku memang tidak terlalu paham perihal permasalahan Mas Tama dengan Bapak dan pekerjaan, tapi kalau aku jadi Mas Tama, aku juga akan melakukan apa yang aku suka. Dari kecil, Mas Tama memang suka menggambar. Bukan lukisan pemandangan apalagi lukisan abstrak yang punya nilai jual tinggi, tapi gambar-gambar yang bercerita. Aku paling senang membaca komik-komik bikinan Mas Tama yang dulu sering dia jual di sekolah. Tapi tetap saja, orang tua mana yang mau melihat anaknya hanya mengurung diri di kamar dan begitu keluar penampilannya sudah seperti pocong. Pocong dalam bayanganku, yang punya lingkaran hitam di sekitar matanya. Karena sumpah, pandai terlalu imut untuk menggambarkan Mas Tama yang amit-amit. Jujur, aku sendiri belum pernah melihat setan, apalagi yang berbentuk pocong. Tapi kalau manusia yang kelakuannya mirip setan, sepertinya aku sudah sering melihatnya. Baca: Bagas dan Mas Tama. Di hadapanku, Mas Tama sudah sibuk berebut tempe dengan Bagas. Dia bersikap seolah perkataan Bapak tadi hanya sebuah angin lalu. Mestinya aku tidak perlu memikirkan perasaan Mas Tama. Karena yang bersangkutan saja bahkan tidak memikirkannya. Selain ocehan tidak penting antara Mas Tama dan Bagas, tidak ada suara lagi yang mengisi heningnya meja makan malam ini. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa diam sambil berusaha menelan nasi dan tempe yang terasa amat sulit ditelan. Sampai lagi-lagi suara Bapak menginterupsi. “Bapak sudah selesai, Bapak ke kamar duluan. Kalian jangan tidur malam-malam.” Bapak mengusap kepalaku sebelum akhirnya benar-benar menghilang di balik pintu toilet. Mungkin Bapak mau cuci tangan dulu. “Ibu juga udahan, Ladis cuci piring ya. Mas Tama bantuin Ladis,” ucap Ibu sebelum beranjak. “Selalu begini tiap kali Bapak bahas kerjaan. Sori ya, Gas, pasti lo jadi nggak nyaman,” ucap Mas Tama sembari mengangkat piring kotor dan memindahkannya ke tempat cuci piring. “Komik lo bagus, kok! Gue selalu baca di koran Minggu.” Ya, aku juga selalu baca. Bapak dan Ibu juga. Kami semua tahu, kalau komik yang berjudul ‘Jayabaya’ itu adalah komik bikinan Mas Tama. Sekilas, aku melihat senyum di wajah Mas Tama. Tapi bukan senyum karena bahagia. Aku melihat ada luka di sana. “Tapi Bapak, nggak pernah merasa puas dengan pencapaian gue. Bapak cuma mau anak laki-lakinya bekerja di kantor, berangkat pagi pulang sore. Cuma itu.” “Mas Tama ngomong apaan, sih? Bapak selalu bangga sama karya-karya lo. Bapak ngomong begitu cuma mikirin masa depan lo aja. Mana ada sih Bapak yang bahagia melihat anaknya begini-begini aja?” Mas Tama hanya diam mendengar ucapanku. Aktivitasnya merapikan meja sempat terhenti, sebelum akhirnya berlanjut setelah mengatakan satu kata yang tak terbantahkan. “Biar gue yang cuci piring, lo masuk kamar, istirahat. Lo juga, Gas.” Dengan senang hati kalau begitu. Meski dalam hati, baik aku (mungkin) juga Bagas mengerti kalau Mas Tama hanya sedang ingin sendiri. Aku tetap kembali ke dalam kamar, begitu juga Bagas yang kembali duduk di ruang keluarga dan menonton siaran televisi. Dari dalam kamar, aku membuka sebuah kotak yang berisikan potongan-potongan halaman dari koran Minggu. Gue dan Mas Tama adalah penggemar kisah-kisah sejarah Nusantara. Berbeda dariku yang menyukai legenda atau dongeng jaman dahulu, Mas Tama lebih menyukai kisah-kisah sejarah. Dan yang paling ia sukai adalah kisah Gajah Mada dan ramalan Jayabaya yang terkenal itu. Dari kegemarannya itu, Mas Tama sering kali membuat komik aksi bertema sejarah yang ia bumbui dengan menjadikannya kisah super hero fiksi. Sejak dulu mimpi Mas Tama memang menjadi seorang komikus, hingga akhirnya komik ciptaannya berhasil dimuat di koran Minggu. Itu sebuah pencapaian. Tapi tetap saja, Bapak tidak pernah merasa puas akan hal itu. Sambil melihat potongan-potongan halaman koran Minggu, entah kenapa rasanya aku ingin bicara dengan Mas Tama. Keluargaku memang tidak bisa kategorikan sebagai family goals atau semacamnya. Keluargaku hanya keluarga biasa pada umumnya, hubunganku dengan kedua orangtuaku juga tidak terlalu dekat. Begitu juga dengan Mas Tama. Sejak lulus SMP, Mas Tama seolah punya dunianya sendiri. Kami bahkan jadi jarang sekali mengobrol, paling hanya sekedar bertanya pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam; sisir ditaruh mana? Atau, Ibu di mana? Yang kadang jawabannya hanya sekedar gelengan atau anggukan kepala. Tapi malam ini, rasanya aku harus benar-benar bicara. Tatapan dan ekspresi Mas Tama saat di meja makan tadi, benar-benar mengganggu pikiranku. Di luar, si Bagas ternyata sudah pulas di sofa dengan televisi yang masih menyala. Kebiasaan terkutuk itu ternyata masih belum hilang juga. Setelah mematikan televisi dan menutup seluruh tubuh Bagas dengan selimut, sampai terlihat seperti mayat, aku segera berlalu ke kamar Mas Tama. Pelan, aku menarik napas sebelum kemudian mengetuk pintu dan memutar kenopnya. Dalam suasana yang temaram, Mas Tama masih duduk di depan layar komputernya. Tangannya sibuk menggambar sesuatu dengan pena digital yang menghubungkan sebuah alat pada komputernya. Aku tidak terlalu mengerti alat apa itu dan apa kegunaannya, tapi sepertinya itu yang digunakan Mas Tama untuk membuat komik. “Mas Tama,” panggilku yang hanya dijawab dengan gumaman pelan. Dia tahu keberadaanku, tapi sama sekali tidak menganggapku ada. Bahkan menoleh pun tidak. Sambil membuang napas pelan, aku duduk di sisi ranjang Mas Tama yang masih rapi dan belum tersentuh. Seperti jarang sekali dipakai. “Mau apa?” tanya Mas Tama, tanpa sedikit pun mengalihkan tatapannya dari monitor. “Mas, lo tahu, kan ... Bapak ....” “Iya.” Aku menarik napas pelan. Rasanya oksigen di sini sangat sedikit, sampai aku harus berkali-kali menarik napas. “Komik lo bagus. Lo tahu, kan?” ucapku yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Mas Tama. “Jangan terlalu diambil hati, omongan Bapak yang tadi.” Mas Tama tidak langsung menjawab. Ia hanya merapikan peralatan gambarnya kemudian bangkit dan duduk di sampingku. “Wajar Bapak ngomong begitu. Seharusnya gue cari kerjaan, bukannya bikin komik begini. Bapak nggak bisa membanggakan anak laki-laki seperti gue.” “Ngomong apaan, sih?!” ucapku, mendadak sewot. “Kalau gitu, lo bikin Bapak bangga! Bikin komik yang keren, menangin banyak kompetisi, dan dapat uang banyak. Gue nggak peduli, lo mau jadi apa. Asal tetap pada jalan yang benar, dan ikutin apa kata hati lo.” Mas Tama masih diam, tatapannya menatap kosong pada jemari kakinya. “Bapak juga pasti sepemikiran sama gue,” lanjutku pelan. Ucapanku yang terakhir, sukses membuat Mas Tama tersenyum menatapku. Sebenarnya aku rada geli ditatap begitu, tapi aku tidak mau membuat kakakku satu-satunya ini jadi tambah sedih. “Ladis udah gede sekarang,” ucapnya sambil mengusap pelan rambutku. “meskipun badannya tetap pendek.” “Bacot!” “Makasih, ya.” Aku hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi dari kamar Mas Tama. Lama-lama berada di sini bisa membuatku ketularan gila. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN