Bantu Bagas

1335 Kata
Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi manusia laknat bernama Bagas Danuartha itu sudah menggedor pintu kamarku seperti orang kerasukan jin kuda lumping. Dengan sisa kesadaran yang masih tercecer di alam mimpi, aku mencoba bangkit dari kasur meski sambil setengah sadar. “Ladis, bangun! Cepetan woyy!!!” “Berisik!” Kalau tidak ingat di rumah ini masih ada Bapak dan Ibuku, sudah habis si Bagas dengan u*****n kasar yang akan keluar dengan lancar dari mulutku. Dengan malas, aku membuka pintu dan mendapati Bagas sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah menyebalkan. “Sapu mana sapu?” “Kenapa malah nyari sapu?” tanyanya heran. “Buat getok kepala lo! Gila kali hari Minggu udah bangunin orang kayak mau perang begitu!” “Kita emang mau perang, Dis. Ayok ikut!” Tanpa menunggu jawabanku, Bagas sudah menarik lenganku dan membawaku ke rumahnya. Bahkan Bapak dan Ibu yang melihat kelakuan laknat Bagas hanya diam saja tanpa mencoba menolongku. Ini pasti konspirasi. Aku yakin, si Bagas pasti sudah menghasut kedua orang tuaku supaya mau berpihak padanya. Ah, aku bahkan belum sempat cuci muka. Dasar Bagas b***k! “Tenang, Dis, nanti gue traktir nasi uduk Mpok Ati,” ucap Bagas sambil cengengesan. “Mau apa, sih?” “Bantuin gue bersih-bersih rumah, ya? Ladis, kan baik, cantik, rajin, pintar dan luar biasa. Mau lah nolong Bagas yang hanya rakyat jelata ini?” ucap Bagas sambil memegangi lenganku, mencoba merayuku dengan kata-kata laknat barusan. “Nggak!” “Ayolah, Dis. Lo nyapu aja, deh. Gue yang ngepel sama cuci baju. Mau ya?” Aku benar-benar sudah kehabisan kata-kata menghadapi kelakuan Bagas. Sambil menarik napas panjang, aku memejamkan mata. Mencoba menahan amarah yang siap meledak kalau aku melihat wajah Bagas saat ini. “Oke. Tapi nanti sore beliin gue cilok.” “Deal!” Setelah mengucapkan satu kata barusan, Bagas buru-buru masuk ke dalam rumahnya dan mengambil sapu sebelum akhirnya menyerahkannya padaku. Setelah memberikanku sapu, si Bagas kemudian masuk ke dalam kamarnya dan menyetel radio dengan volume besar. Sambil bersenandung, kemudian dia pergi ke belakang rumahnya untuk mencuci pakaian. Bagas benar-benar sukses membuatku melongo. Bagaimana bisa dia bertingkah seceria itu ketika membuat pagiku di hari Minggu berantakan seperti ini. *** Akhirnya, pekerjaan Bagas selesai dengan bantuanku. Meski hanya membantu menyapu lantai, setidaknya aku sudah membantu meringankan pekerjaannya. Setelah selesai menjemur pakaian, Bagas duduk di sampingku. “Capek!” “Ngeluh terus! Nggak punya tulang, lo?” kesalku. Si Bagas hanya nyengir sembari meminum es kopi yang sengaja aku buatkan. “Makasih ya, Ladis.” Aku hanya menggumam pelan, sambil kembali menonton sinema siang di televisi. Sebenarnya acara ini sama sekali tidak ada bagus-bagusnya, hanya saja aku sudah terlanjur menonton dari awal dan kalau tidak kusaksikan sampai akhir bisa-bisa aku penasaran seumur hidup. Merasa kuabaikan, si Bagas malah nempel-nempel di bahuku. Dia tidak tahu apa, kalau akhir-akhir ini suhu panasnya bisa lebih dari 35° celicius di siang hari, dan dengan enaknya dia menempel begitu. “Panas, jangan deket-deket!” ucapku sembari menyingkirkan kepala Bagas dari lenganku. Dia tidak menyahut, hanya membiarkan kepalanya terjatuh ke sofa. Ternyata kesadaran Bagas sudah melayang ke alam mimpi. Si b**o ini tidur. Bisa-bisanya dia tidur di cuaca sepanas ini. Tapi kalau dilihat-lihat, kasihan juga. Mungkin Bagas hanya kelelahan, jadi setelah membenarkan posisi tiduran Bagas aku menenggak habis es kopi milikku hingga tandas sebelum akhirnya meninggalkan Bagas menuju dapur. Setidaknya aku harus mencuci gelas dulu sebelum pulang. Sampai aku dengar suara pintu depan diketuk. “Iya, bentar!” Aku segera membereskan pekerjaanku kemudian bergegas membukakan pintu. Dan betapa terkejutnya aku begitu mendapati Andaru berada di hadapanku. “Belum cukup lo siksa gue di sekolah sampe lo datang ke sini?” tanyaku yang tidak habis pikir dengan kedatangan orang itu. “Kemarin gue bilang urusan kita belum selesai, lo b***k atau gimana?” Sumpah, orang ini menyebalkan sekali! “Ya terus lo mau selesaikan di sini? Orang tua gue ada di rumah! Jangan gila!” Dia tersenyum samar, sebelum akhirnya menjawab, “nggak di sini, makanya lo harus ikut gue.” Luar biasa! Enteng banget dia ngomong begitu, dipikir aku akan mau begitu saja? Sebodoh-bodohnya aku, masa iya aku mau mengantarkan nyawa begitu saja. Sama sekali aku tidak habis pikir dengan si Andaru ini. Dan lagi pula, dari mana dia tahu kalau aku ada di rumah Bagas?! “Lo bisa selesain besok di sekolah.” “Lo harus ikut gue kalau mau semuanya cepat selesai. Lagipula ini semua karena lo yang terlalu ikut campur.” Oke, aku akui untuk yang satu itu memang kesalahanku, tapi apa hanya karena itu aku harus mau cari mati? Aku menggeleng pelan, menolak sekali lagi ajakan gila barusan. “Lo ikut gue sekarang, dan urusan kita benar-benar selesai. Gue dan teman-teman gue nggak akan ganggu lo di sekolah.” Andaru menatapku serius. Aku sedikit yakin akan ucapannya barusan, tapi tetap saja, aku masih sedikit takut. Apalagi perihal yang dia lakukan terakhir kali. Jujur, aku masih sedikit trauma dan bahkan kepalaku masih pusing kalau memikirkannya. “Lo mau bawa Ladis kemana?” Belum sempat aku menjawab ajakan Andaru tadi, si Bagas entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku. Ah, masalahnya akan bertambah rumit kalau Bagas sudah ikut campur. “Ini urusan gue sama Ladis, gue rasa lo nggak perlu tahu.” “Urusan Ladis jadi urusan gue juga. Jadi kalau lo ada urusan sama Ladis, artinya lo juga ada urusan sama gue,” ucap Bagas tak mau kalah. “Jadi gimana, Dis? Lo mau ikut gue atau nggak?” Duh, sumpah! Berada di situasi seperti ini benar-benar membuat kepalaku pening. “Bagas, gue pinjem jaket lo!” *** Padahal baru kemarin aku mengingatkan diriku sendiri kalau Bagas itu punya kepala batu. Dan tentang apa yang Bagas ucapkan sebelumnya pada Andaru, sepertinya dia benar-benar melakukannya. Terbukti, sampai detik ini Bagas masih mengekor di belakangku. “Sebenarnya lo mau bawa gue kemana?” tanyaku yang sudah tidak sabaran dengan sikap aneh Andaru. “Panti asuhan.” Qku tidak langsung menjawab, hanya menatap Andaru takjub. Apa sebenarnya dia ingin mengajakku berbagi bersama anak-anak di panti asuhan? Tapi rasanya tidak mungkin. Gue menggeleng pelan, mencoba mengenyahkan pikiran konyol barusan dari kepalaku. Mana mungkin manusia jahat macam Andaru akan melakukan hal terpuji semacam itu. “Lo mau ... santunan?” tanyaku ragu. Sampai tepat di depan pintu gerbang panti asuhan Kasih, Andaru menatapku lekat. Dari balik bulu mata panjang dan alis tebalnya, dia menatapku lurus. “Hari ini, hari peringatan kematian ibunya Gerard. Gue mau lo minta maaf sama dia.” Aku terkejut, menatap Andaru yang masih balas menatapku kemudian berganti menatap Bagas yang malah memasang tampang cengo. Memangnya aku pernah buat salah apa sama si Gerard? Yang ada dia yang keterlaluan melempar telurnya kemarin. “Maksud lo apa?” “Lo udah menghina dia kemarin, gue mau lo minta maaf sama dia. Setelah itu urusan kita selesai,” jawab Andaru, masih menatapku lurus-lurus. “Gue nggak merasa punya salah sama dia, gue nggak mau minta maaf.” Andaru yang sebelumnya hanya memasang ekspresi lempeng, kini mulai terlihat kesal. Matanya melotot, bibirnya maju dua senti. “Lo kemaren udah menghina dia, lo nggak ingat?! Pokoknya lo harus minta maaf!” “Nggak mau!” “Ladis dengar ya, Gerard itu sahabat gue. Dia udah ditinggal orangtuanya sejak kecil, dan kemaren lo ngehina dia tanpa tau kalau dia itu udah ngalamin hal berat selama hidupnya. Dari kecil dia tinggal di panti asuhan ini sama adiknya, dan mungkin setelah lulus nanti dia harus keluar dari panti dan hidup sendiri.” Andaru memberi jeda pada ucapannya, “sekarang lo udah paham, kan? Gue mau lo minta maaf.” “Oke.” Aku mengangguk pelan, setelah sebelumnya menarik napas, kemudian bergegas menghampiri Gerard yang tengah sibuk mengambil layangan nyangkut. Sebelumnya, aku tidak pernah menyangka kalau aku akan bertindak sampai sejauh ini. Dari awal, ini semua memang kesalahanku. Dan tanpa kusadari, mungkin aku sudah menyakiti perasaan orang lain. Ah, aku memang sudah menyakiti perasaan Gerard, dan aku akan memperbaiki itu. Meski tidak akan memperbaiki keadaan, setidaknya aku sudah berusaha untuk meminta maaf. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN