Permintaan Maaf

1189 Kata
Angin berembus pelan, membuat rambutku yang terikat asal bergoyang perlahan. Sudah lewat dua menit aku duduk di bangku panjang di halaman panti asuhan Kasih bersama Gerard yang masih setia memegangi layangan putus. Mungkin dia takut layangannya terbang lagi dan nyangkut di tiang listrik atau atap rumah warga. Tapi bukan itu yang jadi masalah! Situasi ini benar-benar canggung, sampai-sampai rasanya lebih baik kalau aku harus mengambil layangan yang nyangkut di tiang listrik ketimbang duduk diam begini. Sampai akhirnya Gerard bersuara. “Lo mau ngomong apa?” Ah, luar biasa! Aku benar-benar bisa gila sepulang dari sini. Bahkan suara pelan Gerard barusan sukses bikin aku hampir melompat dari kursi saking kagetnya. “Gu-gue ... itu... umm ... Mau itu ...,” “Lo buang waktu gue. Adik gue minta layangannya diterbangin.” Aku menelan ludah. Entah mengapa, rasanya sulit sekali hanya untuk sekadar mengucap kata maaf. “Gu-gue minta maaf!” Tidak langsung menjawab, Gerard hanya menatapku dengan tatapan aneh. Iya, aku sadar betul kalau yang barusan aku katakan itu benar-benar mendadak dan bikin malu. Tapi haruskah dia menatapku, seperti itu. Aku ini bukan pisang! “Gue udah keterlaluan kemarin, tanpa sadar mungkin gue udah nyakitin perasaan lo, maka itu gue minta maaf,” ucapku lagi. “Pasti Daru yang nyuruh lo minta maaf.” Gerard terkekeh pelan. “Lo nggak perlu ngelakuin itu, ucapan lo nggak seratus persen salah kok.” Aku diam, Gerard juga. Hanya sesekali memainkan benang layangan di tangannya, tanpa sama sekali memulai percakapan. Dan kalau boleh jujur, suasana canggung ini membuatku benar-benar kesal. “Gue ngomong begitu karena gue marah. Andaru benar, mungkin marahnya gue udah keterlaluan sampai-sampai nyakitin hati orang. Maka itu gue perlu minta maaf.” “Gue udah maafin lo, kok.” Gerard tersenyum samar. “Lagi pula, ini cuma masalah presepsi. Semua orang juga mandang gue begitu. Gue emang preman. Tapi gue akui keberanian lo.” “Lo ternyata nggak se-preman yang gue kira.” Sambil menunjuk layangan bergambar bunga di tangan Gerard, aku terkekeh pelan. Ya, lo enggak se-preman yang gue kira, Ge. *** “Thanks ya, Dis, udah ngambilin layangan adik gue tadi,” ucap Gerard sambil menepuk bahuku. Setelah acara maaf-maafan canggung tadi, aku, Bagas dan Andaru sempat main sebentar bersama anak-anak panti. Tiap hari Minggu, mereka semua memang suka berkumpul dan bermain bersama, dan kebetulan aku datang di saat yang tepat. Tadi aku juga sempat memanjat pohon belimbing untuk mengambil layangan milik Nayla, adiknya Gerard. Karena ranting pohonnya kecil, jadi Gerard atau Bagas yang punya badan persis babi, tidak bisa naik karena takut malah pohonnya yang rubuh. “Ladis itu emang juara panjat pinang se-kecamatan, jadi kalau cuma urusan ngambil layangan doang, mah, gampang!” ucap Bagas yang buru-buru kuhadiahi tabokan. “Yaudah, kita pulang dulu, Ge.” Gerard hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Andaru. Aku juga mengangguk, setelah sebelumnya berpamitan pada Nayla dan anak-anak yang lain. “Gue pulang sama Bagas aja, biar sekalian,” ucapku pada Andaru yang tengah sibuk menyalakan motor. “Oke,” jawabnya singkat. “Dan makasih juga, Dis. Gerard belum pernah kelihatan sesenang itu.” Aku mengangguk pelan, “Syukur deh kalau keberadaan gue berguna.” “Oh iya, Dis. Gue boleh ... minta nomor lo?” *** Harusnya aku tidak pernah mengiyakan permintaan Andaru tadi siang. Harusnya aku menolak, harusnya aku tidak pernah memberikan nomor teleponku kepada manusia rusuh macam Andaru. Karena sungguh, dia bahkan lebih parah dari Bagas! Seharian ini yang dia lakukan hanya mengirimiku gambar-gambar tidak jelas. Meme lucu, yang, astaga! Semua jokes-nya selevel jokes om-om. Memangnya siapa yang bakal ketawa melihat lawakan macam itu! Kalau Tiara tahu, idolanya punya selera humor bapak-bapak begini, pasti dia langsung mundur. Karena serius, level Andaru ini sudah parah banget!  “Ahahaha ini kocak banget sumpah!” Ah, iya. Ada satu orang yang memiliki selera humor paling receh sejagad. Siapa lagi kalau bukan Bagas? Tahu gitu, tadi harusnya Andaru tukaran nomor teleponnya dengan Bagas, bukan denganku. “Gue kira preman sekelas Galaksi, nggak suka meme ini. Ngakak banget, gue!” Bagas masih tertawa sambil memegangi perutnya saat melihat riwayat chatku dengan Andaru. “Lo chat sendiri aja deh, Gas.” Ucapanku yang terakhir bahkan tidak ditanggapi sama sekali, karena Bagas masih sibuk tertawa heboh saat melihat gambar pocong besar yang kalau kata Andaru itu adalah ultraman kalau sudah meninggal. Yang benar saja, yang begitu memangnya lucu dari mana?! Aku yang sudah terlanjur kesal, akhirnya meninggalkan Bagas yang masih sibuk tertawa di ruang tamu. Ponselku bahkan masih dipegang Bagas. Dia masih chatting dengan Andaru seperti berbalas pesan dengan pacar sendiri. Daripada aku jijik sendiri, aku memutuskan untuk menyepi di kamar sembari memasang earphone di telinga, kemudian menyetel musik instrumen. Aku hanya ingin tidur. Terlalu banyak hal terjadi hari ini. *** “Ladis, bangun!” Perlahan aku mengerjap, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Buru-buru aku melihat jam yang terpasang di dinding kamar. Ah, ternyata sudah pagi. Pantas Ibu sudah membangunkan, rupanya semalam aku bablas ketiduran. Earphone sudah tidak lagi terpasang di telingaku, ponsel juga sudah terletak di meja belajar. Ini pasti kerjaan Bagas. Setelah mengumpulkan kesadaran, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan entah ini hari apa, si Bagas sudah rapi dengan seragam putih-putih, dasi dan sabuk hitam lengkap. “Lo kerasukan apa, Gas?” tanyaku pada Bagas yang tengah membetulkan dasi. “Kenapa? Terpesona lo liat gue ganteng?” “Najis.” Buru-buru aku mengunci diri di kamar mandi, daripada harus melihat Bagas dan keanehan-keanehan yang selalu muncul dan melekat pada dirinya. Aku bergidig geli, bahkan membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Si Bagas memang luar biasa. *** “Ladis buruan sarapannya, nanti kita telat!” Berlebihan sekali, padahal biasanya jam segini dia masih ngopi bareng Bapak di teras. Aku hanya memutar bola mata, malas menanggapi ucapan Bagas sembari lanjut menyuap nasi goreng lezat buatan Ibu. Sampai sebuah notifikasi muncul di ponselku. [Andaru: mau gue jemput?] Yang buru-buru kubalas dengan satu kalimat, “Gue naik ojek pribadi.” Lagipula mau apa, sih orang itu, aku sama sekali tidak mau berurusan lagi dengannya. Setelah menghabiskan sarapan dan mencuci piring, aku bergegas menghampiri Bagas yang benar saja, sedang ngopi bareng Bapak di teras. Tadi dia menyuruhku untuk cepat-cepat, padahal sendirinya malah santai begitu. Bagas s****n! “Pak, Ladis berangkat dulu,” pamitku pada Bapak yang kemudian diikuti Bagas. “Bagas juga, Pak.” “Hati-hati.” Lagi-lagi aku kebingungan dengan penampilan Bagas yang benar-benar kelihatan seperti habis kerasukan jin. Dia pakai seragam lengkap, rapi, bersih dan wangi. Setelah memakai sweater biru tua bulukan yang biasa dia pakai, Bagas memakai helm bahkan sesekali bersenandung tidak merdu. Ini benar-benar aneh. Aneh sekali. Aku menatap Bagas heran, sambil memperhatikan penampilannya dan hal itu sukses membuat Bagas balik menatapku. “Lo masih terpesona sama kegantengan gue?” “Najis! Sama sekali nggak!” bantahku. “Tapi, Gas, lo ada angin apa sampe rapi gini? Jangan bilang, lo ....” tidak sempat aku melanjutkan pertanyaan barusan, karena aku keburu syok sendiri. “Nggak usah mikir aneh-aneh. Udah cepetan naik!” Setelah menoyor kepalaku, Bagas sama sekali tidak berkata apa-apa lagi. Ini aneh! Super-duper-ultra-mega aneh! Entah ada apa lagi ini, Bagas benar-benar membuatku tidak bisa berhenti berpikir yang tidak-tidak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN