Padahal tadinya aku baru berniat untuk mengadakan syukuran akan kembalinya kewarasan Bagas, tapi niat itu keburu urung aku lakukan. Karena ternyata, hari ini kelas Bagas kebagian jadi petugas upacara. Dan yang paling mencengangkan sekaligus mengerikan adalah, Bagas yang jadi pemimpin upacaranya. Rasanya aku mau pura-pura pingsan saja, daripada harus menahan malu kalau-kalau Bagas akan membuat kekacauan.
“Dis, kayaknya habis ini Bagas bakalan dapet fans baru, deh,” bisik Tiara di sampingku.
Bodo amat. Mau dia dapat teman baru, atau bahkan musuh baru, aku sama sekali tidak peduli asalkan itu tidak merugikanku. Aku hanya mengangkat bahu, tidak ada niatan sama sekali untuk menjawab ucapan Tiara, sampai suara cempreng Bagas sudah menggema di seantero sekolah. Aku hanya ikutan hormat kepada kepala sekolah selaku pembina upacara hari ini. Meski kadang, aku juga kaget karena suara cempreng Bagas terdengar dua kali lebih keras dari biasanya.
Ternyata, selain karena Bagas adalah pemimpin upacaranya, tinggi badan Bagas juga sukses membuat dia jadi pusat perhatian. Bagas memang tinggi, bahkan dia lebih tinggi lima senti dari Mas Tama. Aku tidak pernah tahu, apa yang Bunda masukkan ke makanan Bagas. Padahal waktu SMP tinggi badan Bagas tidak lebih dari 150 senti. Tapi sekarang anak cebol itu sudah setinggi tiang listrik.
Sampai upacara berakhir, aku masih menunggu-nunggu kekacauan apa yang akan dibuat Bagas. Tapi untungnya, Bagas tidak tidur saat sambutan pembina upacara atau membuat kekacauan yang lain, jadi setidaknya aku sedikit tenang.
“Dis, gue mau beli es. Haus banget, lo mau ikut?”
“Ayo,” jawabku, mengiyakan ajakan Tiara, sampai sebuah suara memanggilku.
Ini bukan suara cempreng Bagas atau suara sumbang Saga. Suara rendah yang terasa asing, tapi juga tidak, membuatku sedikit penasaran. Buru-buru aku menoleh dan amat terkejut begitu mendapati Andaru sudah berdiri canggung di hadapanku. Astaga, aku memang buat salah apa lagi sama dia?
“A-ada perlu apa?” tanyaku langsung, meski sedikit gelagapan.
“Itu, semalam gue udah chat kok, cuma lo baca doang, nggak lo balas. Makanya gue mau ngomong langsung.”
Aku sama sekali tidak tahu. Bukan, aku sama sekali belum membuka room chat Andaru sejak semalam. Seingatku, yang chattingan dengan dia semalam itu Bagas, bukannya aku. Seketika aku terkena serangan panik. Di sebelahku juga Tiara terlihat panik. Sejak kejadian yang menimpaku terakhir kali, Tiara belum membicarakan apa pun perihal Andaru. Aku memang belum sempat cerita padanya, tapi aku yakin kalau Bagas pasti sudah memberitahunya. Bahkan dia tidak menggeliat macam cacing kepanasan lagi.
“Se-sebentar, gue lupa,” ucapku jujur. Ah, sebenarnya aku bahkan tidak tahu dia chat apa semalam!
“Minggu besok bisa ke rumah gue? Ada syukuran ulang tahun gue. Lo boleh ajak Bagas atau teman lo yang lain.”
Ah, s****n! Harusnya aku baca chat-nya duluan. Kalau begini, aku malah jadi bingung sendiri mau jawab apa. Mendadak kepalaku malah terasa pusing.
“Nanti alamatnya gue share lewat chat. Gue duluan.”
Setelahnya, dia pergi. Meninggalkan aku dan Tiara yang masih melongo di koridor yang mulai sepi. Ah, bahkan rasa haus yang luar biasa itu sudah hilang tergantikan rasa syok yang luar biasa.
“Dis, coba cubit gue.”
Oke.
“Aww! Sakit!”
“Tadi lo minta dicubit,” ucapku sebelum akhirnya meninggalkan Tiara.
Lama-lama berdiri di koridor yang ada aku bisa pingsan karena pusing, atau yang lebih ekstrem aku bisa ketularan gila dari Tiara.
***
“Hey Ladis!”
Aku dengar panggilan Bagas barusan. Aku juga dengar dering bel istirahat lima menit lalu. Dengar dengan sangat jelas malahan. Tapi satu sisi di hatiku menolak untuk sekadar menjawab panggilan Bagas, atau bahkan hanya menoleh. Aku hanya membuang pandangan ke segala arah, sama sekali tidak ada niatan untuk bicara. Sampai si Bagas duduk di bangku depanku sambil mengupil.
“Dis, lo udah baca chat Andaru? Gue belum balas, takut salah. Tapi udah gue read,” ucapnya santai.
Dengan satu gerakan cepat, aku menarik rambut kusut Bagas dan sukses membuatnya menjerit heboh.
“AWW LADISHA SAKIT! LO KENAPA SIH?!”
“b**o!” ucapku, kali ini sambil memukul lengannya berkali-kali.
“Aww sakit Ladis! Kenapa, sih lo malah KDRT sama gue?!” tanyanya sambil mengusap lengannya yang barusan aku pukul.
“KDRT gigi lo gendut!” ucapku kesal. “Lo yang semalaman chattingan sama dia, kenapa nggak langsung dibalas?!”
“Gue bingung. Kalau gue balas iya, takut lo nggak bisa. Kalau gue tolak, takut lo mau.”
“b**o!” ucapku sekali lagi, kini benar-benar berhasil menjitak kepala Bagas.
“Sakit, Ladis!”
Aku tidak menjawab lagi. Kepalaku mendadak pusing, tanpa sadar aku sudah menjambak rambutku sendiri. Sampai Tiara datang dan menjelaskan segalanya kepada si b**o Bagas.
“Jelas Ladis nggak mau datang, Bagas! Lo gila apa gimana, sih?!”
“Tapi kemaren udah baik-baik aja kok. Dia baik,” ucap Bagas tanpa dosa.
“Tapi bukan berarti gue mau main sama dia, kumpul sama dia, bergaul sama dia. Lo bisa bedain nggak? Yang namanya teman sama orang yang sekadar kenal?” tanyaku, yang tentunya dibalas gelengan oleh Bagas.
“Gue sama Tiara itu teman, lo sama Sagara juga teman, jadi wajar kalau main bareng. Tapi gue sama Andaru Cuma dua orang asing yang nggak sengaja kenal karena satu insiden. Dan insiden itu sama sekali nggak enak, lo tahu sendiri, Bagas. Jadi mana mungkin gue dengan santai datang ke acara ulang tahun dia. Udah gila namanya!”
Bagas terlihat bingung, entah dia bingung karena penjelasanku barusan atau bingung harus berbuat apa setelah ini. Intinya, kepalaku mau pecah! Aku tidak mau datang, tapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya menolak ajakan Andaru. Aku takut dia sakit hati. Memikirkan akibatnya saja sudah membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
“Terus lo mau gimana, Dis?” tanya Tiara.
“Gue nggak tahu, Ra.”
Aku masih menjambak rambut gue, karena rasanya kepalaku terus-terusan berputar. Bukan Bagas rasanya kalau tidak berbuat masalah barang sehari saja. Hingga suara notifikasi di ponselku, mengalihkan perhatianku, Tiara dan juga Bagas.
[Andaru: Share an location.]
[Andaru: itu alamat gue. Lo boleh datang sama Bagas atau sama temen lo yang lain.]
[Ladis: sorry, kayaknya gue nggak bisa datang. Gue harus antar Ibu ke pasar.]
Selang dua menit, pesanku sudah dibaca, tapi sama sekali tidak ada balasan. Andaru hanya membaca pesanku, lantas aku harus bagaimana?! Ah, mendadak aku frustasi.
“Nggak tau, ah! Gue mau beli es. Lo nggak usah ikut!” ucapku pada Bagas yang sukses membuatnya kembali duduk.
Ah, rasanya aku mau mengguyur kepalaku pakai air es. Bagas memang benar-benar berbakat membuat kepalaku hampir pecah. Kalau saja aku punya tongkat sihir Harry Potter, pasti Bagas sudah aku sihir jadi tikus got. Jadi aku tidak perlu merasa berdosa untuk meracuninya.
***