Pertemuan tak Terduga

1163 Kata
Jam istirahat tinggal lima belas menit lagi, tapi aku masih setia duduk di kantin sembari menyeruput es teh tawar yang tinggal setengah. Aku haus, selain itu pikiranku juga masih berputar-putar. Aku terus saja menduga hal-hal yang mungkin akan menimpaku nanti. Kalau-kalau Andaru marah dan justru kembali merisakku, atau justru melakukan hal yang lebih buruk. Memikirkannya saja membuatku bergidig ngeri. Ini semua karena Bagas, tapi aku juga tidak ingin sepenuhnya menyalahkan Bagas. Toh ini karena aku juga yang malah menyerahkan ponsel kepada manusia paling b**o sejagad. Karena aku juga yang tidak memeriksa room chat sebelum pergi ke sekolah, karena aku juga yang tidak teliti dan menyebabkan semua ini terjadi. Dan kalau sudah begini, yang ada aku malah pusing sendiri. “Ah, nggak tahu lah!” “Nggak tahu apaan?” “Mampus gue!” Jantungku rasanya mau copot. Refleks aku menoleh dan benar-benar kaget begitu mendapati Gerard sudah duduk di sebelahku sambil menyeruput kopi kalengan. Sambil menyilangkan kedua kakinya, pose Gerard sekarang persis tuan muda. “Kenapa lo ngomong sendiri?” tanyanya yang sukses membuatku salah tingkah. Gerard pasti mengira aku sudah gila. Ah, biar saja! Aku memang hampir gila. “Bukan apa-apa.” Gerard mengangguk pelan sembari menyeruput kopinya, sebelum akhirnya bersuara lagi. “Daru udah ngundang lo, kan?” Dan pertanyaan itu sukses membuatku menyemburkan es teh tawar yang belum sempat aku telan. Apa dia bisa membaca pikiranku? “Tadi Daru langsung pergi ke kelas lo begitu lihat chat dari lo. Taunya lo malah di sini,” ucapnya santai. “Gu-gue beneran nggak bisa.” “Nggak bisa atau nggak mau?” ucapnya tepat sasaran. Seketika aku kehabisan kata-kata. Baru kali ini aku dibuat bungkam. Bahkan saat mereka merisakku, aku masih bisa melawan. Tapi saat ini aku sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan apa pun, karena yang diucapkan Gerard memang benar. Aku bukannya tidak bisa, tapi aku memang tidak mau. Dan harusnya dia tahu betul, apa alasanku. “Gu-gue nggak bermaksud gitu, Ge. Tapi ...,” ucapku yang buru-buru disela Gerard. “Acara itu memang cuma syukuran sama anak-anak panti. Kalau acara sama teman-temannya Daru, itu malamnya. Kalau lo nggak mau datang karena merasa nggak nyaman, lo nggak perlu khawatir. Kemarin lo udah ketemu juga, kan, sama anak-anak panti.” Aku hanya bisa diam, sementara Gerard dengan santainya kembali menyeruput es kopi miliknya. “Terus gue harus bilang apa sama Andaru?” tanyaku, lebih kepada diri sendiri. Tapi Gerard malah menjawabnya, masih dengan mode santai. “Nanti gue yang ngomong sama Daru. Lo ajak Bagas aja.” Aku hanya mengangguk. Entah bagaimana, sepertinya Gerard benar-benar mengerti aku. “Makasih, Ge.” “Bentar lagi bel, lo balik ke kelas sana.” “Yaudah, gue duluan, Ge,” ucapku yang dibalas anggukan oleh Gerard. Syukurlah aku dipertemukan dengan Gerard, meskipun kepalaku masih sedikit pening, setidaknya perasaanku sudah sedikit membaik. *** “Lo nggak papasan sama Kak Galaksi?” tanya Tiara begitu aku sampai di kelas. Aku hanya menggeleng pelan. “Tadi dia ke sini. Gue pikir dia nyusul lo ke kantin.” Bagas memberikan ponselku yang tertinggal di atas meja. “Kata Andaru, hari Minggu cuma syukuran sama anak-anak panti. Dia tadi minta gue sama Tia juga datang.” “Jangan panggil gue Tia!” Tidak memedulikan omelan Tiara, Bagas malah mendekat ke arahku. “Kalau lo takut nggak nyaman, kan ada gue,” ucapnya sembari merangkul bahuku. “Jangan bikin gue marah, Gas!” ucapku kesal, sembari menyingkirkan lengan gembel itu dari bahuku. “Hehe, iya, maaf.”  “Iya, tadi Gerard juga udah ngomong sama gue,” jawabku sembari duduk dan merapikan meja. “Lo ketemu Gerard? Terus dia–“ Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara bel masuk sukses membuat Bagas kesal. “Ah, s****n!” “Nanti gue ceritain di rumah, lo balik ke kelas aja.” Bagas hanya mengangguk, sedangkan Tiara justru meledekku dengan kata-kata semacam, “Bahasanya udah kayak suami istri yang tinggal serumah ya lo.” Yang sama sekali tidak kujawab. Karena meladeni Tiara hanya akan membuang-buang waktuku yang amat-sangat berharga. *** Aku tidak pernah tahu kenapa, ketika aku sangat tidak ingin cepat-cepat bertemu dengan hari Minggu, tapi nyatanya hari itu datang dengan sangat cepat. Aku hanya bisa berharap, kalau hujan akan turun pukul satu siang nanti. Tapi harapanku tidak pernah terkabulkan, bahkan Bagas sudah kembali dari rumahnya setelah bersih-bersih dan kembali dengan kemeja biru tua dan celana bahan berwarna cokelat. Aku hampir mengira kalau Bagas itu bapak-bapak yang mau pergi kondangan. Sampai dengan kelaknatan Bagas yang paripurna sukses membuatku tersadar, kalau yang sekarang berdiri di depan kamarku sambil berkacak pinggang adalah Bagas. “Buruan siap-siap,” ucap Bagas sambil menatapku kesal. Apa? Memangnya aku salah apa, ini baru jam dua belas. Adzan zuhur baru saja berhenti berkumandang. Kenapa Bagas bersemangat sekali, sih?! “Solat dulu,” jawabku singkat. Bagas hanya mengangguk, kemudian mengambil sarung di kamar Mas Tama sebelum akhirnya pergi ke luar. Aku tahu kalau Bagas mau ke masjid, jadi aku biarkan saja dia dan kembali melanjutkan aktivitas yang lain. Lima belas menit berlalu, Bagas sudah kembali ke rumah. Masih dengan penampilan yang sama, bedanya ada sarung yang tersampir di bahunya. Dengan pakaian begitu, Bagas jadi persis bapak-bapak yang tidak jadi kondangan karena harus ngeronda. “Ladis, siap-siap!” ucapnya lagi. Duh, Bagas kenapa jadi bawel banget, sih?! Aku hanya berdecak kesal, kemudian memakai topi dan keluar kamar setelah memastikan sekali lagi penampilanku di depan cermin. Hari ini aku cuma pakai kaus putih lengan pendek, celana hitam panjang dan tas selempang kecil. Aku terlalu malas untuk tampil berlebihan hanya untuk ke ulang tahun Andaru. Lagipula aku mau pergi ke syukuran ulang tahun, bukan kondangan. “Bawel! Udah buruan berangkat!” Setelah pamit dengan Ibu, Bagas kemudian menyalakan motornya dan memintaku mengaktifkan GPS karena baik aku ataupun Bagas sama sekali tidak tahu di mana rumah Andaru. Aku hanya mengangguk patuh saat Bagas meminta hal itu, karena pengalaman terakhir kali aku nyasar bareng Bagas itu sama sekali tidak menyenangkan. *** Dua puluh menit perjalanan yang harus aku tempuh, sebenarnya kalau tidak macet mungkin aku sudah sampai lima menit lalu. Di sana ternyata anak-anak panti sudah berkumpul. Nayla langsung memelukku, begitu aku datang. “Kakak! Nayla kangen!” ucapnya sambil memamerkan gigi-gigi kecilnya. “Kakak juga kangen Nayla!” Di tempat lain, Gerard dan Andaru masih sibuk mengangkat barang, jadi aku menyuruh Bagas untuk membantu mereka. Lagi pula, acaranya juga masih belum dimulai, Tiara juga barusan mengirim pesan kalau dia baru saja berangkat. Aku hanya bisa tersenyum, saat Nayla menarik lenganku dan memintaku untuk mengambil layang-layang yang nyangkut. Jadi ini alasan kenapa Nayla kangen padaku. “Nay, nanti Abang aja yang ngambilin layangan Nay. Jangan suruh Kak Ladis terus, dia bukan monyet!” ucap Gerard dari arah rumah. “s**l!” “Kakak Ladis jangan ngomong kasar ya!” teriak Bagas sambil cekikikan bersama Gerard. Sial, bisa-bisanya mereka meledekku. Sampai tatapanku terkunci pada satu orang yang berdiri di sisi kanan Andaru. Hati kecilku menolak untuk mengingat, tapi otakku sudah memutar memori laknat itu di pikiranku. Ah, s**l!  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN