“Dis?”
“Ladis?!”
“Hah? Apa? Kenapa?” tanyaku yang gelagapan ketika mendengar suara Bagas.
Di sampingku, Bagas menatapku dengan tatapan aneh. Dia tidak pasang tampang b**o seperti biasa, hanya saja ekspresi itu sedikit membuat geli. Setelah doa bersama, acara dilanjutkan dengan potong tumpeng dan makan bersama. Bisa dibilang, acara ulang tahun Andaru ini memang sangat sederhana dan kekeluargaan sekali. Sangat berbeda sekali dengan image Andaru di sekolah.
“Lo kelihatan nggak nyaman, apa kita pulang duluan aja?” tanya Bagas yang entah sejak kapan memerhatikanku.
Aku menggeleng pelan, “Nanti aja, kita pulang kalau udah selesai. Nggak enak.”
Bagas hanya mengangguk, tapi aku yakin dia pasti memikirkan sesuatu. Kalau boleh jujur, sejak awal aku memang sudah merasa tidak nyaman. Tapi aku juga tidak mungkin pulang duluan, tidak enak rasanya kalau aku tiba-tiba pulang, jadi aku putuskan untuk bertahan sampai acara makan selesai.
Sebenarnya, acara makan dan kumpul bersama anak-anak panti ini sangat menyenangkan. Hanya saja, sebab kehadiran satu orang di sana itu, iya, manusia laknat yang berdiri di belakang Andaru dan terus-terusan menatapku sambil senyum-senyum macam om-om c***l, sungguh bikin aku merasa amat-sangat tidak nyaman. Dan mungkin, Bagas yang paham akan situasinya juga sejak tadi memerhatikan gelagatku.
Namanya Andrian, sebenarnya aku malas sekali bahkan hanya untuk menyebut namanya. Tapi tadi, dengan polosnya, Andaru malah memperkenalkan adik laknatnya itu padaku. Biar aku beri tahu, Andrian itu mantan pacarku waktu kelas dua SMP. Ah, aku paling benci kalau harus mengingat ini. Karena sungguh, ingatan tentang aku dan Andrian yang dulu pernah punya hubungan, sesungguhnya ingin aku buang jauh-jauh.
“Hai, Dis.” Sampai lamunanku terpecah karena suara barusan.
Aku benar-benar terkejut, bahkan sampai tidak sempat mengontrol ekspresiku yang mungkin sekarang kelihatan aneh.
“Mau ngobrol sebentar?” Lagi-lagi dia tersenyum lebar. Kenapa sih orang ini senyum melulu? Memangnya dia lagi syuting iklan pasta gigi?!
“Apaan lagi yang mau lo obrolin?”
Dari samping, Bagas maju selangkah. Aku tahu, apa yang ada di pikirian Bagas, tapi aku juga tidak mau terjadi keributan di hari seperti ini. Karena sungguh, di sini banyak anak-anak. Dengan satu gerakan cepat, aku menahan lengan Bagas. Berupaya agar dia tidak membuat masalah, juga menahan emosinya.
“Udah dua tahun kita nggak ketemu, banyak yang mau gue obrolin. Ngomong-ngomong, Bagas tambah tinggi.”
Sial. Itu adalah bahasan yang paling bikin Bagas sensitif. Kalau boleh aku ceritakan sedikit, dulu Bagas sering dikatai karena pendek. Dan sekarang, Andrian justru malah membahas hal itu kepada Bagas yang sekarang sudah tumbuh jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
“Kalau mau ngobrol, jangan di sini,” ucapku pelan.
Bagas menahan lenganku, dia menatapku dengan raut cemas. Tapi aku buru-buru mengangguk, meyakinkan Bagas kalau aku akan baik-baik saja. Lagi pula memangnya apa yang akan terjadi?
***
Aku melirik jam digital yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah dua menit sejak aku mengajak Andrian menjauh dari Bagas dan yang lain, dan sejak saat itu juga orang ini sama sekali belum bicara apa pun. Sumpah, rasanya aku mau teriak saking kesalnya. Kalau memang tidak mau ngomong, ngapain tadi dia mengajakku ngobrol.
“Kalau nggak ada yang mau lo omongin, mendingan kita balik. Lo buang waktu gue,” ucapku kesal.
“Lo masih belum berubah.”
Ah, s**l! Terus dia mau apa?! Mau bernostalgia?
“Jujur, gue senang banget bisa ketemu lo lagi,” ucapnya, lagi-lagi sambil tersenyum. “Gue minta maaf, Dis, atas apa yang dulu pernah gue lakuin. Waktu itu gue masih belum dewasa.”
“Kalau nggak ada hal penting yang mau lo omongin, gue cabut.”
“Dis! Gue tulus minta maaf sama lo.”
Aku terkekeh pelan, “Gue juga tulus maafin lo, gue nggak pernah nggak tulus waktu sama lo.”
Setelah itu aku pergi, meninggalkan Andrian yang masih terdiam di bawah pohon belimbing. Aku sudah tidak mau peduli, dia mau apa juga aku tidak akan peduli.
Setelahnya aku segera pamit pada Andaru juga Gerard yang masih ada di sana. Bagas dan Tiara juga ikutan pamit. Acara yang harusnya menyenangkan, malah jadi menyebalkan berkat kehadiran satu orang itu.
***
Setelah menempuh perjalanan pulang yang melelahkan, aku tiba di rumah dengan perasaan yang super berantakan. Suasana hatiku hancur parah, dan hal itu sukses membuatku enggan keluar kamar. Aku hanya keluar untuk mandi dan mengambil sebotol air kemudian membawanya ke kamar.
Sebenarnya aku tidak ingin mengingat ini, tapi demi keberlangsungan cerita ini, sepertinya aku harus menceritakannya. Semua berawal dari saat aku masih duduk di bangku SMP. Masih terlalu kecil memang untuk pacaran, tapi teman-teman sekelasku juga banyak yang pacaran. Jadi buatku saat itu, pacaran sudah bukan lagi hal yang tabu. Tapi aku sama sekali tidak tertarik.
Berkat Bagas yang selalu menempel padaku, tidak ada cowok yang mau mendekatiku. Kebanyakan dari mereka berpikir kalau, Bagas itu pacarku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengatakan apa pun, tapi sangat menguntungkan buatku yang sama sekali tidak tertarik untuk dekat apalagi pacaran dengan cowok mana pun. Karena serius, ditempeli satu cowok saja itu sudah cukup amat merepotkan.
Hingga seorang cowok, entah datang dari mana tiba-tiba mencoba mendekatiku. Tidak jauh beda dengan Bagas, sikapnya juga kadang menyebalkan sekali, hanya yang membedakan adalah perhatiannya. Dia sangat memperhatikanku. Bahkan ketika satu jerawat muncul di bawah hidungku, dia adalah satu-satunya orang yang menyadarinya. Orang itu adalah Andrian.
Awalnya aku cukup terganggu dengan kehadirannya. Bagas saja sudah cukup membuat hidupku repot, dan Andrian hanya akan membuat hidupku tambah repot. Itu yang aku pikirkan saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, perasaanku mulai berubah. Yah, lagi pula siapa, sih yang tidak luluh kalau diberi perhatian lebih terus-menerus? Aku yakin, semua cewek yang ada di muka bumi ini juga pasti akan luluh. Dan aku adalah salah satunya.
Setengah tahun Andrian mendekatiku, sampai akhirnya kami resmi pacaran. Bukan waktu yang singkat memang, tapi itulah aku. Aku memang agak susah didekati, apalagi aku yang saat itu memang tidak ada niatan untuk pacaran. Jadi boleh aku akui, usaha Andrian memang tidak main-main. Bagas sempat menolak keputusanku, tapi hal itu tidak berlangsung lama. Mana betah Bagas tidak menempeliku lama-lama? Tapi setelahnya, Bagas justru malah menjaga jarak.
Aku pacaran dengan Andrian selama lima bulan. Dan selama itu juga, tidak banyak hal yang terjadi, selain Bagas yang jadi jarang mengajak aku mengobrol. Hubunganku berjalan mulus, tidak ada pertengkaran, tidak ada adu mulut, hanya beberapa kali beda pendapat, tapi itu akan cepat teratasi. Aku benar-benar bahagia saat itu. Andrian adalah pacar pertama, sekaligus cinta pertamaku. Agak menjijikkan dan norak memang, tapi itulah yang aku rasakan saat itu.
Hingga suatu hari di siang yang panas, si Bagas mengajakku pergi ke belakang sekolah. Sebenarnya Bagas sudah beberapa kali memergoki Andrian ada di sana, tapi baru saat itu Bagas berani mengajakku. Kami mengintip dari balik pagar sekolah. Di sana ada Andrian dan teman-temannya, sedang ngobrol dan merokok. Tapi bukan itu yang aku permasalahkan.
Ada beberapa perkataan Andrian yang jujur, bikin aku sakit hati banget. Dari dia yang mengatakan kalau pacaran denganku itu sangat membosankan, lalu kenapa bertahan kalau memang membosankan? Pertanyaan itu yang bergelayut di pikiranku saat itu. Dia juga beberapa kali mengatai Bagas pendek dan menyebalkan, hingga fakta kalau Andrian memacariku hanya karena sebuah taruhan. Dia dapat uang seratus ribu dari teman-temannya kalau dia berhasil melewati satu bulan masa pacaran denganku. Dan itu sebenarnya yang jadi alasannya bertahan denganku yang membosankan. Jantungku berdebar dengan kencang saat itu, tentu karena hal yang lain.
Aku sangat marah waktu itu, sampai tanpa aku sadari air mataku menetes. Sampai tanpa aku sadari juga, aku sudah berdiri di hadapan Andrian dan minta putus saat itu juga. Ekspresi terkejut Andrian dan teman-temannya saat itu tidak pernah hilang dari ingatanku. Juga hari-hari saat Andrian terus-terusan menggangguku dengan kata maaf yang bagiku, itu sangat tidak berguna. Hatiku sudah terlanjur terluka, mau dia minta maaf sebanyak apa pun, hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka itu.
***