Bagas Kerasukan

1083 Kata
Aku tidak tahu sejak kapan, minum es kelapa di siang hari yang luar biasa panas begitu menyegarkan. Setelah ditodong cerita oleh Tiara, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi juga. Kalau kuingat lagi, ekspresi terkejut Tiara saat tahu kalau adiknya Andaru itu mantan pacarku itu benar-benar kocak. Ini memang cukup mengejutkan buat Tiara, jangankan dia, aku sendiri pun sebenarnya terkejut. Hingga badan bongsor Bagas tiba-tiba saja menempel di sebelahku dan mengacaukan sesi minum es kelapaku. “Duh, jangan deket-deket! Panas!” omelku sembari mendorong Bagas menjauh.  “Bagi dong.” “Beli sendiri,” sahutku sambil menunjuk warung es kelapa Mang Bewok. “Dis, menurut lo, cewek itu paling suka dikasih apa?” tanya Bagas tiba-tiba. Aku yang sedang mengunyah kelapa, berusaha sekuat tenaga untuk tidak tersedak. Pertanyaan Bagas kali ini luar biasa aneh. Maksudku, Bagas memang random, tapi baru kali ini dia membicarakan perihal cewek. Akhir-akhir ini juga penampilan Bagas lumayan rapi. Dan bahkan Sabtu kemarin, Bagas menyempatkan diri mencuci sepatu buluknya. Apa jangan-jangan ..., aku refleks menutup mulut dengan kedua tangan, dan kegiatanku itu sukses membuat Bagas menatapku heran. “Apa? Jawab pertanyaan gue,” ucapnya yang entah kenapa malah jadi kesal. “Gas, lo ... lagi suka sama cewek?” tanyaku setengah berbisik, “coba kasih tau gue, cewek malang mana yang bisa-bisanya disukai sama makhluk macam lo.” Aku tertawa, Bagas cemberut. Untungnya suasana kantin di jam pulang sekolah ini sudah cukup sepi, jadi setidaknya suara tawaku yang menggelegar tidak terlalu menyakiti telinga banyak orang. “Ah, ngomong sama lo mah nggak nolong,” ucap Bagas, sebelum akhirnya bangkit. “Eh, mau kemana?!” “Pulang!” Aku ketawa lagi. Melihat Bagas kesal adalah kebahagiaan yang hakiki. Karena serius, suasana hatiku yang sempat rusak karena sesi minum es kelapaku diganggu, kini sudah pulih seketika. *** “Gas, lo masih belum mau cerita?” tanyaku sembari duduk di samping Bagas. Sejak sampai di rumah, Bagas sama sekali belum mau bicara. Di jalan juga, dia yang biasanya membicarakan apa saja, tadi mendadak diam. Jadi, setelah pemikiran panjang yang aku lakukan di toilet tadi, aku putuskan untuk mengajak Bagas bicara. Sekarang Bagas sedang duduk sendirian di ruang tengah sembari menonton TV. Tidak ribut seperti biasanya, Bagas terlihat tidak fokus, pikirannya seperti sedang di tempat lain. “Bagas!” panggilku sekali lagi, kini sambil menepuk-nepuk bahunya. “Apa?!” Bukan jawabannya barusan yang bikin aku bungkam, tapi tatapan mengerikan yang Bagas tujukan kepadaku. Memangnya salah aku apa, sampai dia harus memelototiku seperti itu. “Kok lo marah?” Ucapanku barusan sukses membuat Bagas menarik napas pelan. “Lo mau gue cerita apa? Lo sendiri masih hutang cerita sama gue.” Aku kembali diam, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang belum aku ceritakan pada Bagas. “Oh iya, tadi pup gue keras banget, kayaknya gue kurang makan sayur deh,” ucapku yang malah dapat jeweran dari Bagas. Serius, ini sepertinya Bagas ada dendam sama aku sampai-sampai dia menarik telingaku pakai tenaga dalam. “Sakit, Bagas!” “Ya lagian, gue tanya serius lo malah jawab begitu.” Bagas menarik napasnya sekali lagi, kini sambil menyibak asal rambut kusutnya. “Maksud gue, ceritain, kemaren lo ngobrol apa aja sama Andrian.” “Ohhh.” aku mengangguk-angguk, “dia cuma minta maaf. Kekurangan stok maaf kali, tiap ketemu gue minta maaf melulu.” Bagas terkekeh pelan, ini reaksi yang amat-sangat jarang terjadi. Karena biasanya, kalau aku cerita begini Bagas akan heboh sendiri atau mungkin bersikap menyebalkan seperti biasanya. Sungguh, kali ini benar-benar aneh. “Tapi lo baik-baik aja, kan? Dia nggak macem-macem sama lo, kan?” tanya Bagas lagi, yang hanya aku balas dengan gelengan. Setelahnya, Bagas hanya diam. Begitu juga aku yang entah kenapa malah jadi kehabisan kata-kata. Daripada pusing dengan sikap Bagas yang luar biasa aneh, aku mencoba mengalihkan perhatian pada sinetron di TV yang entah menceritakan apa. Suasananya malah jadi aneh, aku sendiri malah jadi bingung mau berbuat apa. Sampai Mas Tama keluar dari kamarnya sambil bersenandung tidak jelas. “Ayo, Gas!” ucapnya sembari mengambil kunci motor. Tanpa bicara, Bagas hanya bangkit kemudian mengambil jaketnya yang tersampir begitu saja di sofa. Apa lagi ini? Sepertinya mereka sudah merencanakan hal jahat di belakang gue. “Mau kemana?” “Kepo~” Hampir saja aku melempar remote ke wajah Mas Tama, kalau Bagas tidak keburu menjelaskan. “Mau beli tanaman hias, lusa Bunda ulang tahun.” Setelah mengucapkan satu kalimat itu, Bagas keluar begitu saja. Jadi lusa Bunda ulang tahun, ah aku hampir saja lupa. Bukan, aku memang benar-benar lupa! Pantas saja sikap Bagas aneh seharian. Sekadar informasi, selain saat peringatan kematian ayahnya, Bagas juga akan bersikap aneh kalau Bunda mau ulang tahun. Alasannya sederhana, si Bagas hanya sentimental perihal Bundanya yang bertambah umur, tapi anak satu-satunya malah tambah b**o. Harusnya aku sadar, sejak Bagas menanyakan pertanyaan aneh tadi di sekolah. Tapi dengan kebodohan Bagas yang menular itu, aku malah berpikiran yang aneh-aneh. Aku jadi malah membuang-buang waktu dengan memikirkan perihal si Bagas. *** “Terus lo udah siapin hadiah apa?” tanya Tiara sembari menatapku. “Paling besok bikin kue aja sama Ibu,” jawabku asal. Saat ini, aku bersama Tiara sedang makan sekoteng di pinggir lapangan kompleks rumah Tiara. Sebenarnya kita baru saja menyelesaikan tugas kelompok, dan mendadak aku kepingin jajan. Jadi di sinilah kita. Sejak sore tadi, hujan deras sudah mengguyur, itu sebabnya cuaca malam ini cukup dingin dan cocok sekali kalau dingin begini makan sekoteng. Selain bisa menghangatkan tubuh, suasana malam yang syahdu juga cukup membuat perasaanku membaik. Sebelumnya, aku juga sempat cerita ke Tiara soal sikap Bagas yang persis orang sedang kesurupan. Bedanya, saat kesurupan Bagas malah jadi pendiam dan kalem. Bukannya lompat-lompatan macam kuda lumping. “Padahal tanaman hias lagi viral sekarang, kenapa lo nggak kasih hadiah itu aja buat Bundanya Bagas?” tanya Tiara sambil sesekali menyeruput kuah sekoteng miliknya. “Bagas sama Mas Tama udah beli itu kemarin.” Tiara hanya mengangguk, sebelum kemudian bertanya lagi, “Oh iya, Bundanya Bagas bukannya lagi dinas di Bogor?” “Iya, kebetulan pas Bunda ulang tahun emang jadwalnya pulang. Makanya si Bagas mendadak jadi rajin bersihin rumah,” jawabku santai. “Emang keterlaluan si Bagas,” ucap Tiara sambil tertawa girang. Kalau tidak karena aku paksa, Bagas tidak akan mau cerita perihal ini. Jadi kemarin, setelah pulang membeli tanaman hias, Bagas kuhadang di depan pintu dan tidak aku biarkan masuk sebelum dia memberi tahuku apa yang terjadi. Karena serius deh, sikap sentimentalnya itu sama sekali tidak berguna. Toh dengan begitu juga kadar kebodohan yang ada dalam dirinya tidak akan berkurang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN