Hari ini adalah hari ulang tahun Bunda. Sejak pagi, aku sudah sibuk membantu Ibu di dapur. Kue untuk Bunda sudah siap dari semalam, dan sudah tersaji cantik di dalam kulkas, itu pun kalau tangan laknat Bagas atau Mas Tama tidak menyentuhnya. Bagas dan Mas Tama juga sudah sibuk dengan tanaman hias yang kemarin mereka beli. Aku hanya bisa berdoa semoga tanaman itu tidak mati ketika Bunda pulang nanti.
"Dis, ini kamu siapin di meja makan, ya. Ibu mau cuci perabot yang kotor."
Aku hanya mengangguk, kemudian menerima sepiring ayam goreng yang sudah matang kemudian menaruhnya di meja makan. Tadi pagi, Bagas sudah menelepon Bunda dan katanya Bunda sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Jadi Ibu, dengan ide yang sangat brilian mengusulkan untuk makan bersama di rumahku. Sekalian merayakan ulang tahun Bunda, katanya. Aku masih sibuk menata lauk-pauk di piring sampai si Bagas tiba-tiba saja masuk sambil bicara di telepon.
"Dis, Bunda udah sampe di kantornya. Gue mau jemput dulu," ucapnya.
"Yaudah."
Harusnya Bagas langsung pergi, tapi entah kenapa si bodoh itu masih berdiri di sana, menatapku.
"Udah sana, katanya mau jemput Bunda?" kataku, yang heran dengan sikap tidak jelas Bagas.
Bagas masih diam saja, gelagatnya terlihat aneh. Ditambah kaus merah bertuliskan "I Love Bunda" itu membuatnya dua kali terlihat makin aneh. Bagas memang selalu bisa membuat otakku tidak berhenti berpikir.
"Apaan lagi, sih, Gas! Gue lagi males mikir, jadi cepetan ngomong lo mau apa?!" ucapku kesal.
Bagas kelihatan salah tingkah, dia kemudian menggaruk kepalanya persis monyet sebelum akhirnya berkata, "gue ganteng nggak?"
Yang segera aku jawab dengan, "nggak sama sekali. Pergi lo!"
Setelah mengambil kunci motor, Bagas pergi sambil menghentakkan kakinya persis anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan. Lagian, memangnya aku sudah gila, sampai-sampai harus mengatai Bagas ganteng? Aku benar-benar bisa kehabisan akal, entah bagaimana menghadapi Bagas tidak sampai lima menit saja sudah menguras banyak energiku.
***
Dua puluh menit berlalu, akhirnya Bagas tiba bersama Bunda. Aku yang begitu kangen dengan Bunda, segera menghambur ke pelukannya. Selain satu tas besar, Bunda membawa bungkusan lain di tangannya. Aku sungguh tidak mengharap oleh-oleh atau apa pun dari Bunda, sih. Tapi kalau Bunda memang mau memberi oleh-oleh, tidak akan aku tolak.
"Ladis kangen banget, Bunda!" ucapku, masih sambil memeluk Bunda.
"Bunda juga kangen kamu, sayang." Bunda mengelus rambutku pelan. Sungguh, aku tidak ingin Bunda pergi lagi. Alasannya sudah cukup jelas, kan? Supaya setidaknya, aku tidak harus tinggal satu rumah dengan Bagas dan kegoblokannya.
"Bunda nggak bawa oleh-oleh?" tanya Bagas, menghancurkan suasana melankolis antara aku dan Bunda.
"Bawa, nih," ucap Bunda sambil memberikan kantung kertas di tangannya pada Bagas. "Buat Ladis juga ada."
"Buat Tama nggak ada, Bun?"
Yang barusan itu Mas Tama. Aku hanya bisa menatapnya geli, dengan tangan berlumur tanah dan pupuk, Mas Tama masuk begitu saja. Untungnya Ibu segera keluar dan berhasil menjinakkan Mas Tama.
"Tama, jorok banget itu! Cuci tangan dulu!"
Setelahnya, Ibu justru memeluk Bunda. Sampai menangis segala, mungkin Ibu sudah merasakan betapa beratnya merawat Bagas. Padahal dulu Ibu sudah pernah aku peringatkan, tapi malah lebih membela Bagas ketimbang anak sendiri. Hidup memang kadang semenyedihkan itu.
"Yuk, makan dulu," ucap Ibu setelah acara nangis-nangis dramanya selesai.
Bunda mengangguk pelan, sedangkan Bagas, aku tidak tahu kapan dia berpindah tempat. Karena begitu aku sadari, Bagas sudah duduk manis di kursi meja makan.
"Ladis udah bikinin kue juga untuk Bunda. Selamat ulang tahun, Bunda," ucapku sambil membawa kue ulang tahun yang semalam aku buat bersama Ibu.
"Ya ampun, makasih, sayang." Bunda memelukku lagi.
"Bagas juga punya hadiah buat Bunda."
"Udah nanti aja, kita makan dulu." Ucapan Ibu barusan, sukses membuat Bagas tertunduk.
Di sisi lain, aku hanya bisa cekikikan sendiri. Lagian siapa suruh beli hadiah tanaman begitu, meskipun qku tahu Bunda bakalan senang, tapi sepertinya Ibu tidak akan mengizinkan kalau Bagas memberikannya di tengah-tengah sesi makan bersama.
"Oh iya, Bagas ada bikin masalah nggak?" tanya Bunda tiba-tiba.
"Jangan ditanya, Bun!" sahut Mas Tama.
Sambil mengunyah ayam goreng, aku tersenyum samar. Sebentar lagi pasti akan ada drama murahan, lihat saja. Ibu dan Bapak saja masih saling diam, sama sepertiku, menunggu Bagas memainkan dramanya.
"Bagas nggak bikin masalah kok, Bun! Serius!" ucap Bagas memelas.
"Yang bener? Mbak, Bagas nggak aneh-aneh, kan?" tanya Bunda lagi sembari menatap Ibu.
"Enggak dong, Bagas, kan, anak baik, rajin, ganteng."
Oke, untuk yang terakhir sepertinya Ibu terlalu berlebihan.
"Dih, Ibu nggak pernah muji-muji Tama begitu!" omel Mas Tama. Meski begitu, mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Ibu kalau muji anak sendiri nggak pernah di depannya langsung, nanti yang ada kamu kepedean."
Aku ketawa, "Lagian Mas Tama apa bagusnya sampe minta dipuji?" Aku bertanya asal, yang malah dapat tatapan laser Mas Tama.
Sesi makan siang kali ini diisi dengan banyak tawa. Ramai dan hangat. Mungkin karena ada Bunda, atau mungkin juga karena semua sedang merasa bahagia. Jujur saja, aku juga senang. Selain karena Bunda sudah kembali, seharian Bagas juga diledeki terus oleh Mas Tama. Asli, melihat Bagas menderita begitu adalah kebahagiaan mutlak buatku.
***
Acara makan selesai dengan aku yang bertugas mencuci piring. Harusnya hari ini jadwalnya Mas Tama yang cuci piring, tapi manusia menyebalkan itu langsung melesat ke halaman bersama Bagas. Entah kenapa hanya karena satu pot tanaman hias itu, berhasil mengalihkan perhatian semua orang. Bahkan Bapakku ikut-ikutan keluar dan melihat. Ampun, deh, itu hanya tanaman yang isinya daun semua, bahkan tidak berbunga apalagi berbuah. Akan lebih bermanfaat kalau Bagas memberikan pohon cabai untuk Bunda.
Aku masih lanjut cuci piring, sambil misuh-misuh sendiri sampai Bunda tiba-tiba saja sudah ada di sebelahku.
"Bunda bantuin, ya?" ucapnya yang buru-buru kutolak.
"Enggak usah, Bunda! Udah mau selesai, kok!" jawabku sembari menahan tangan Bunda agar tidak menyentuh piring-piring kotor.
Aslinya, aku sebenarnya bahagia sekali kalau ada yang mau membantu. Tapi karena hari ini adalah hari kepulangan Bunda sekaligus ulang tahunnya, tidak pantas rasanya kalau aku membiarkan Bunda mencuci piring di sini.
"Makasih ya, sayang. Bagas pasti udah banyak bikin kamu susah. Bunda bersyukur banget, ada kamu di dekat Bagas," ucap Bunda. Matanya berkaca-kaca.
"Bunda apaan, sih. Kayak sama siapa aja," Aku terkekeh pelan. "Lagian Ladis udah biasa, kalo nggak ada Bagas mungkin Ladis akan ngerasa ada yang hilang."
Bunda tersenyum, kemudian mengelus pelan rambutku. Kalau ini bukan hari spesial Bunda, mungkin aku akan mengeluh tentang segala kebegoan Bagas yang sukses membuat kepalaku pening. Tapi kali ini, aku hanya akan bicara yang baik-baik saja pada Bunda. Aku hanya tidak ingin melihat Bunda sedih di hari spesialnya, karena aku yakin betul kalau Bunda juga sudah lelah dengan pekerjaannya. Ah, Bagas harus berterimakasih padaku.
Setelah itu, Bunda pergi ke ruang tengah untuk berkumpul dengan Ibu dan Bapak. Cucian piring laknat ini juga sudah hampir semua aku selesaikan. Sampai suara deheman menjijikkan terdengar dari arah samping. Ternyata si Bagas sudah berdiri di sana dengan pose menggelikan. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, Bagas memasang tampang sok ganteng yang di mataku justru terlihat sangat ... ah, aku terlalu geli untuk menjelaskan ekspresi Bagas.
"Jadi kalo gue nggak ada, lo bakal ngerasa kehilangan?" tanyanya yang sukses membuat atensiku teralih sepenuhnya.
"What?"
Bagas terkekeh pelan, ekspresinya persis seperti orang yang sedang menahan buang air besar. "Gue dengar obrolan lo sama Bunda tadi."
Aku hanya mengangguk-angguk sambil membersihkan tangan aku yang penuh busa. Tanpa berniat menjawab Bagas, aku meninggalkan dapur beserta Bagas yang justru mengikutiku ke teras.
"Jadi lo bakal kehilangan gue kalau gue nggak ada?" tanyanya lagi yang kini sukses bikin aku menghela napas.
"Tau ini apaan?"
Bagas menggeleng, menatapku yang tengah memegangi sendal jepit kesayanganku. Sendal ini baru aku beli, setelah sendal kesayanganku sebelumnya putus karena nyebur got waktu Bagas hilang beberapa bulan lalu.
"Ini sendal, kok lo b**o, sih!" ucapku yang buru-buru disela oleh Bagas.
"Iya gue tau itu sendal, terus apa hubungannya sama pertanyaan gue?"
"Gue udah biasa pake sendal ini, jadi kalo misalnya sendal ini hilang atau putus, pasti gue akan merasa ada yang beda. Itu juga berlaku sama lo, karena lo udah terbiasa nempel sama gue kayak sendal ini. Paling kalau lo nggak ada, perasaan gue ya sebatas itu. Ada yang hilang," jawabku.
"Jadi lo nyamain gue sama sendal?!" Bagas memelototiku, "gue nggak habis pikir sama lo."
"Lebay."
"Pokoknya gue ngambek!"
Aku menghela napas sekali lagi, sambil menatap Bagas yang kini sudah memunggungiku sambil melipat tangannya di d**a. Aku sudah bisa menebak ekspresinya saat ini, mata melotot dengan bibir maju dua senti. Bagas bahkan lebih ribet dari anak perawan kalau sudah ngambek. Aku saja yang benar-benar anak perawan, tidak segitunya.
"Tapi sendal jepit itu penting buat gue. Lo paham maksudnya, kan?"
Yang tadinya masih ngambek dengan ekspresi menjijikkan, kini manusia laknat itu sudah menatapku dengan wajah berbinar. Ah, Lagi-lagi aku salah bicara. Tapi biar saja, lah. Aku tidak ingin, hanya karena perkara sendal, Bagas akan bersikap menyebalkan selamanya.
"Berarti gue penting buat lo?"
"Iya." Aku mengangguk pelan. "Biar cepet."
***