Pengalaman Terburuk

1072 Kata
Siang, terik, panas, dan di luar ada ramai-ramai yang berisiknya mengalahkan pasar induk! Aku yang sama sekali tidak peduli dan tidak mau tahu, hanya duduk di kelas menghabiskan sisa waktu istirahatku bersama dua i***t Bagas dan saga yang kini sedang bikin video t****k bersama Ucup. Tiara sudah keluar sejak tadi. Entah dia pergi ke mana, padahal aku berniat menceritakan apa yang terjadi padanya. Ini terlalu krusial untukku dan otak kecilku yang sepertinya enggan berkembang. “Dis, liat deh, mukanya Saga kayak monyet!” ucap Bagas yang entah sejak kapan sudah berjongkok di sampingku sembari menunjukkan layar ponselnya yang masih memutar sebuah video. “b*****t! Muke lo yang kayak monyet! Hapus sini!” “Muka gue paling ganteng, kan?” tanya Ucup dengan pedenya. “Najis!” ucapku, Bagas dan Saga berbarengan. “Kompak amat.” “Mendingan lo ngepel lapangan sono, Cup. Lagi rame tuh,” ucap Saga yang masih berusaha merebut ponsel dari tangan Bagas. “Ide bagus.” Setelahnya, si Ucup benar-benar pergi ke luar. Entahlah apa dia benar-benar mau mengepel lapangan atau tidak, aku terlalu malas memikirkannya. Di lapangan sedang ramai sekali, padahal seingatku hari ini tidak ada perlombaan. Hingga satu pikiran melintas dalam benakku. “Gas, tadi gue ketemu Iwan.” “Iwan siapa?” tanya Saga yang kini sudah menatapku penasaran. “Lo mau ngomong, i wanna be youre girlfriend, ya? Gombalan gue, tuh!” sahut Bagas tidak terima. “Iwan beneran, b**o! Iwan yang anak IPA!” ucapku kesal. “Tadi gue nolongin dia pas lagi dipukulin sama Andaru,” jelasku. “Andaru? Siapa tuh?” “Kakak kelas itu loh, yang kemaren. Si Galaksi-Galaksi itu,” ucapku yang segera dapat jawaban ‘Oh’ dari Bagas. “Yang lagi lari di lapangan itu?” tanya Saga yang membuatku refleks berdiri dan melihat keluar jendela. Benar, dia Andaru yang itu. Apa jangan-jangan dia dihukum karena aku? Ah, tidak mungkin. Dia dihukum karena kesalahannya sendiri. Dia memukuli Iwan! Dan dia pantas dihukum karena melakukan tindak k*******n di sekolah. Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganku. Semoga. “Dis, lo nggak buat masalah sama dia, kan?” tanya Saga, dari nadanya terdengar khawatir. “Gue yang ngaduin dia ke Pak Ri waktu lagi mukulin Iwan. Gue nggak tahu perbuatan gue itu udah seratus persen benar atau enggak.” “Tenang, ada Bagas,” ucap Bagas sambil menepuk d**a. “Bagas akan melindungi Ladis.” “Kok gue geli ya dengernya,” ucap Saga sembari bergidig. “Gue lebih jijik, Ga!” *** Bel masuk sudah berbunyi, Bagas dan Saga sudah tidak lagi mengacau di kelasku. Hanya saja, guru yang seharusnya mengajar di kelasku tidak kunjung datang. Meskipun tanpa Bagas dan Saga, Ucup sendiri saja sudah cukup membuat kelas riuh ramai dengan kelakuannya yang super aneh dan bodoh. Aku sama sekali tidak mengerti dengan orang-orang macam mereka yang kelakuannya di luar batas. Maksudku, hidup tenang dengan menjadi orang normal saja itu, kan, lebih baik. Di sampingku, Tiara juga tidak henti-hentinya mengoceh. Gue sama sekali tidak menyimak pembicaraannya sejak tadi, karena pikiranku dipenuhi dengan jogetan Ucup. Yang kulihat memang cuma Ucup, jadi hanya goyangan tidak jelasnya saja yang terngiang dalam pikiranku. Sampai pintu kelasku terbuka lebar, membuat Ucup yang sebelumnya sedang duduk bersandar di pintu tidak sengaja tersungkur ke depan. Oke, yang ini agak sedikit lucu. Aku masih sibuk menertawakan kebodohan Ucup bersama seisi kelas, tanpa sadar siapa pelaku yang membuka pintu dengan bar-bar hingga membuat Ucup terjatuh. Sampai Tiara mendadak bergerak-gerak aneh macam orang kesurupan dengan jerit tertahan yang membuatku refleks menutup telinga. “Lo kenapa, sih? Kayak ulet sagu!” ucapku sambil menyingkirkan tangan Tiara yang masih memegangi lenganku. “Ada Kak Galaksi!” Buru-buru aku mengikuti arah pandang Tiara yang sudah tertuju pada seorang cowok acak-acakan yang kini sudah berdiri di depan kelasku. Dan kalau boleh jujur, penampilannya itu sukses membuatku sakit mata. Bagaimana tidak? Orang itu memakai seragam yang benar-benar berantakan, lusuh dan persis gembel. Kancing bajunya terbuka semua, menampakkan dengan jelas kaus hitam bertuliskan ‘Brooklyn’ yang tertulis besar sekali dengan warna putih. Rambutnya lepek berantakan, celana abu-abu yang ketat, serta sepatu kets buluk. Penampilan gembel yang sempurna. Mungkin kalau orang ini disandingkan dengan Bagas dan disuruh berdiri di pinggir jalan, aku yakin sekali mereka akan segera diangkut petugas. Dia tidak datang sendirian, ada dua orang lagi di belakangnya yang berpenampilan kurang lebih sama. Aku masih diam memperhatikan orang itu, saat mata elangnya mulai menyapu seluruh ruangan. “Sebelas IPS 3, gue cari yang namanya Ladis.” MAMPUS! Rasanya aku mau menghilang detik ini juga, saat menyadari bahwasannya aku sudah terlibat terlalu jauh dengan cowok mengerikan bernama Andaru. Saat aku masih tertunduk, dengan seisi kelas yang kuyakini sedang menatapku sekarang, suara Ucup tiba-tiba terdengar. “Saya ketua kelas di sini, kalau boleh tahu, Kakak ada perlu apa dengan Ladis?” tanyanya dengan nada yang tidak biasa. Tidak seperti Ucup yang kukenal. “Gue nggak ada urusan sama lo!” Andaru menarik kerah seragam Ucup, sebelum kemudian mendorongnya sampai terjatuh. Belum ada tiga puluh menit preman itu berada di kelasku, dan sudah dua kali dia membuat Ucup terjatuh dengan tidak keren. Entah apa yang ada di pikiranku saat ini, tapi tubuhku seolah mengatakan kalau aku harus berbuat sesuatu. Jadi, sambil mengabaikan tatapan seisi kelas dan cengkeraman tangan Tiara di lenganku, aku bergegas bangkit dari kursi. Menatap tajam mata elang Andaru yang mematikan. “Gue orang yang lo cari. Silakan bilang ada urusan apa, dan segera pergi. Jangan ngerusuh di kelas gue,” ucapku.   Kulihat, si Andaru malah tertawa pelan sebelum kemudian kembali menatapku tajam. “Berani juga lo.”  “Nggak usah kebanyakan basa-basi, ada perlu apaan, Kak Galaksi?” tanyaku penuh penekanan, terutama pada kata terakhir. “Ikut gue!” Tanpa menunggu jawabanku, Andaru sudah berlalu. Lagi-lagi Tiara memegangi lenganku, menahan agar aku tidak keluar mengikuti Andaru. Tapi aku buru-buru menggeleng. Ini salahku, jadi aku sendiri yang harus meluruskan urusanku bersama berandalan bernama Andaru. Harusnya aku tidak ikut campur tadi pagi, dan harusnya aku langsung lari setelah melapor pada Pak Ri, hingga hal seperti ini tidak perlu terjadi. Tapi aku menggeleng pelan, menyesal sekarang tidak akan membuat perubahan apa pun, jadi aku hanya harus menghadapinya. Meski sedikit ragu, tapi aku harus. “Kalau sampai bel pulang gue belom balik juga, bilang Bagas, suruh dia cari gue sampai ketemu,” ucapku sambil menepuk bahu Tiara. Tiara mengangguk pelan, sebelum akhirnya melepaskan pegangannya di lenganku. Setidaknya kalau aku tidak selamat, Bagas harus menemukan mayatku dulu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN