Bagai Tersambar Petir!

1122 Kata
“Saya pamit dulu, ya, Tu-an.” Aryan beranjak sejenak setelah berjibaku dengan laptopnya di sofa santai. “Apa Nona bawa kendaraan?” “Tidak, saya naik taksi.” Hana tak berani menatap lawan bicaranya. Ia pun tertunduk sejak Aryan memandangnya. “Kalau begitu … boleh saya antar?” tawar Aryan yang berdiri tak jauh dari wanita itu. Sementara di antara mereka ada seorang pelayan paruh baya yang berpura-pura tidak mendengar. Baginya, sebuah etika untuk tidak menguping urusan sang majikan. “Tidak perlu, Tu-an.” “Saya hanya ingin membalas kebaikan Nona.” “Ta-pi ….” “Tolong jangan menolaknya, Nona.” Hana memandang Aryan dan seorang pelayan bernama Laila silih berganti. “Bolehkah?” “Eung ….” Hana menghela nafas pelan. Jantungnya seketika bergemuruh kencang. “Tapi saya ga mau kalau hanya berdua saja.” Aryan mendelik. Tatapan Aryan menyorot ke arah Laila. Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh wanita itu. Aryan pun menyanggupinya. “Baiklah.” Aryan merentangkan tangan seolah meminta Hana berjalan lebih dulu. “Silakan.” “Terima kasih.” Sebelum meninggalkan ruangan, Aryan pun berpesan. “Tolong jangan tinggalkan Humaira sendiri, ya, Bi.” “Baik, Tuan. Mohon maaf sebelumnya.” Hana melihat wajah pria tampan itu sekilas. Tak ada sedikitpun guratan emosi. Justru terpancar sebuah kelembutan dan kehangatan. Namun, Hana mencaci diri dalam hati. Tidak sepantasnya mengagumi seseorang sementara ia telah bersuami. ‘Apa yang kamu pikirkan, Hana.’ Langkah kaki mereka berjalan berdampingan dengan jarak cukup jauh. Sepanjang jalan di selasar rumah sakit, Hana menunduk. “Halo, Vito. Tolong jemput di lobi, ya.” Hana menoleh ke arah Aryan. Ternyata pria itu tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon. Memandang wajah Aryan dari samping membuat Hana khawatir. Bagaimana tidak, ketampanan dan kelembutan pria itu membuat Hana seketika membandingkan suaminya. ‘Kalau saja Mas Axel ….’ Hana pun seketika tersadar. ‘Astagfirullah.’ Hana kembali tertunduk lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Apa ada yang salah, Nona?” “Eung?” Hana mendongak dan menyadari bahwa Aryan tengah memperhatikannya. Ketika rasa gugup menyelimuti dirinya, Hana pun tertunduk serta mengangguk pelan. “Tidak.” “Baiklah, ayo!” Lagi dan lagi Aryan mempersilakan Hana berjalan lebih dulu, sungguh sikap yang begitu manis. Hana melangkah pelan seraya menggenggam tas tangannya dengan erat. Sepanjang kaki melangkah, Hana terus tertunduk. Namun, ketika ia hampir tiba di sebuah pintu masuk rumah sakit, Hana menghidu aroma khas tubuh seseorang. ‘Aroma ini ….’ Hana bergumam dalam hati. Seketika jantungnya berdetak hebat. “Saya makan diluar. Jadi ga usah antar makan ke kantor, ya.” Entah mengapa perasaan Hana menjadi tak menentu. Hana tahu betul bahwa suaminya penyuka barang-barang limited edition. Tidak menutup kemungkinan bahwa aroma parfum itu hanya miliknya bukan? Hana lantas mendongak, lalu mengitari seluruh penjuru rumah sakit. Ia berharap perasaannya salah. “Ada apa?” tanya Aryan yang mengekori pandangan Hana kala itu. Tak memberikan sepatah kata jawaban pada Aryan. Hana menjauh dari posisi pria itu hingga membuatnya sedikit kebingungan. Hana berjalan mencoba menyusuri lobi rumah sakit itu ke arah lift. “Hei! Nona!” Aryan sedikit berteriak. Ia membuat seluruh padangan pengunjung tertuju padanya. Tepat saat Hana menjauh, mobil yang Vito bawa tiba di lobi. Aryan akhirnya meminta sang asisten menunggu. “Tunggu sebentar.” Aryan melangkah mengikuti jejak kaki wanita berhijab tersebut. Dari belakang, pria itu melihat gelagat kekhawatiran yang tercipta. ‘Apa apa? Kenapa kamu terlihat begitu khawatir?’ Dengan santai ia terus mengekori langkah kaki wanita itu. Disisi lain, Hana melangkah sambil terus mengitari pandangannya. Hingga tiba-tiba jejak kaki itu berhenti. Sorot matanya menatap seorang pria yang tengah membahu wanita ke ruang konsultasi …. Saat Hana melihat papan di pintu tersebut, seketika itu pula tulang kakinya melunak. Tanpa perintah, Aryan langsung menahan bahu wanita itu dari belakang. “Are you okay?” Hana menggeleng. Rasanya bagai tersambar petir ketika ia melihat sang suami dengan wanita yang tak lain adalah sekretarisnya disana. Dan yang membuat Hana tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ketika mereka memasuki ruang konsultasi poli obgyn. Jantung seolah diremas kuat dan kepala berdenyut hebat. “Tolong bawa saya pergi,” lirih Hana. Aryan tetap membahu wanita itu. Hana terlihat kesulitan berjalan karena tungkai kakinya yang lemah. Bahkan dilihat dari tatapan mata, wanita itu seolah menyimpan beribu kesedihan. ‘Ya Allah … kenapa Mas Axel dan Mbak Valerie ada disana?’ Tiba di dalam mobil, baik Aryan maupun Hana tak memberi instruksi akan menuju kemana. Sehingga Vito terpaksa bertanya melalui isyarat mata di kaca spion. Saat itu matanya tengah beradu pandang dengan sang majikan. “Jalan dulu saja.” “Baik.” Sepanjang jalan terasa hening. Hana bahkan terlihat seperti menahan tangis. Ia terus memandang ke luar jendela. Meski begitu, Aryan seolah tahu apa yang membuatnya begitu terpukul. Bukan seperti wanita yang ia temui saat bersama putrinya, Hana kini terlihat begitu murung. Tiga puluh menit Vito berjalan mengitari ruas jalan ibukota, Hana tetap bergeming. Aryan ragu haruskah ia memulai sebuah pertanyaan? Atau membiarkan wanita itu menenangkan pikiran? Aryan dan Vito saling bertatap melalui pantulan kaca. “Eung ….” Aryan berdesis, hendak mengucapkan sebuah kalimat, namun seketika tertahan ketika Hana berbalik menatap kedua pria disana secara bergantian. “Tolong antar saya ke panti asuhan Karunia Suci, ya.” “Oh … baik, Nona.” Vito mendelik sementara Aryan membisu. Sekilas ia melihat wajah Hana yang mulai membasah. “Sepertinya Nona butuh ini,” tawar Aryan mengulurkan selembar sapu tangan. Hana menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada sapu tangan itu, lalu menatap wajah Aryan yang begitu teduh. Perlahan ia ragu. Tapi hatinya sudah mulai membeku. Entah harus sampai kapan ia berpura-pura bodoh atas perselingkuhan suaminya. Hampir kesekian kali ia menangkap basahi sang suami bersama sekretarisnya itu. Namun yang paling membuatnya terluka adalah kali ini. Ketika ia melihat Axel dan Valerie memasuki ruang konsultasi poli obgyn. Waktu berlalu dengan cepat hingga mengantarkan mobil mereka sampai ke tempat tujuan, yaitu sebuah panti asuhan. Hana pun berpamitan, menunduk pelan seraya memberi salam. “Terima kasih atas tumpangannya, Tuan.” “Sama-sama.” Hana menarik handles pintu itu. Namun sebelum beranjak tubuhnya tertahan. “Nona,” panggil Aryan dan Hana pun menoleh pelan. “Ya?” “Nama saya Aryan Malik Kartawijaya. Ini kartu nama saya, kalau butuh sesuatu Anda boleh hubungi saya.” Hana bergeming menatap sebuah kartu nama di hadapannya. Aryan menyodorkan selembar kertas kecil itu. “Ambillah,” pinta Aryan setelah beberapa detik tak ada respon dari wanita tersebut. “Terima kasih.” Hana pun berlalu tanpa basa-basi membuat Aryan terus mengekori pandangannya ke arah wanita tersebut. Setelah punggung Hana hilang di balik pintu pagar, Aryan pun meminta Vito untuk mencari tahu tentang wanita itu. “Tolong cari tahu semua tentang wanita itu.” “Oh, baik, Tuan.” Aryan menatap papan nama panti asuhan itu sebelum mobil melaju meninggalkan tempat tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN